jpnn.com, JAKARTA - Pakar komunikasi sekaligus founder dan CEO Media Buffet, Bima Marzuki menyampaikan catatan refleksi akhir tahun 2025 khususnya komunkasi pemerintah terkait penanganan bencana alam.
Mas Bima sapaan akrab Bima Marzuki menilai komunikasi pemerintah soal bencana buruk sehingga banyak menimbulkan gejolak di publik.
BACA JUGA: Pemprov Jateng Kembali Pulangkan Warga Terdampak Bencana Aceh
Oleh karena itu, Bima Marzuki menawarkan enam framework untuk memperbaiki gaya komunikasi pemerintah soal bencana.
Keenam framework itu, yakni empati, aktual, urgensi, presensi, solusi, dan terkoordinasi.
BACA JUGA: Soal Bantuan Asing Buat Bencana Sumatra, Hasto: Sebaiknya Bisa Dibuka
Pakar komunikasi sekaligus founder dan CEO Media Buffet, Bima Marzuki. Foto: Source for JPNN.com
BACA JUGA: Kemkomdigi Percepat Pemulihan Layanan Komunikasi di Wilayah Terdampak Banjir Bandang
“Empati, artinya pemerintah mesti paham ketika kita ngomong, ketika kita ngelakuin sesuatu dalam periode bencana, itu pokoknya harus dengan empati. Apapun yang dia omongin harus dengan empati,” kata Bima saat ditemui di kantornya, Jakarta Selatan, belum lama ini.
Menurut Bima, pernyataan maaf dari pemerintah sangat terbatas. Berdasarkan pantauannya, baru Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka yang menyatakan permintaan maaf ke publik.
“Empati itu dengan pemilihan kata, dengan gestur, bukan seakan-akan nantang atau meremehkan,” ujar Bima.
Komponen kedua, yakni aktual. Bima menyatakan bahwa aktual maksudnya adalah dalam kondisi bencana, selalu ada dinamika dan perubahan di lapangan.
“Baik itu perubahan lebih baik, apapun lebih buruk. Jadi pemerintah dalam hal ini aktual, pemerintah pasti paham bahwa sebelum informasinya diambil sama orang lain, maka dia harus lebih dulu menginformasikan secara aktual. Kan itu permasalahannya,” ujar Bima.
Komponen ketiga adalah urgensi. Bima menyebut urgensi merupakan skala prioritas yang harus dilakukan.
Ketika ada seorang presiden, ini kan seorang ayah. Ayah dari anak-anak (penduduk).
“Ketika ada anaknya sekian ribu rumahnya hancur, lalu dia datang ke acara ulang tahun partai, maka pemerintahnya dianggap kok tidak bisa menempatkan prioritas, mana yang urgen, mana yang enggak,” ujar Bima.
Bima juga menyebut seharusnya para ketua partai memahami ketika membuat acara maka harus siap tidak dihadiri presiden, mengingat skalanya lebih diperlukan di daerah bencana.
Komponen keempat, yakni presensi yang dikaitkan dengan kehadiran negara baik secara fisik maupun informasi.
“Nah, jadi kehadiran itu penting sebenarnya. Selain kehadiran fisik, juga kehadiran secara informasi. Jadi bagaimana pemerintah mengisi informasi,” ujar Bima.
Komponen berikutnya yang kelima yakni solusi. Menurut Bima, solusi yang dilakukan pemerintah harus bisa terinformasikan dengan jelas agar para korban bencana menjadi nyaman dan tenang.
Komponen terakhir ialah terkoordinasi. Bima menyebutkan aspek ini sangat penting dalam komunikasi publik agar tidak terkesan brutal dan asal keluar.
“Artinya, ketika masa bencana ini harus ada peran komando komunikasinya. Komando komunikasi dan komando action dari penanggung bencana. Leader-nya siapa, itu harus jelas. Nah, sekarang ini seperti tidak terkoordinasi, baik dalam hal action-nya ataupun dalam hal komunikasi,” ujar Bima.(fri/jpnn)
Jangan Sampai Ketinggalan Video Pilihan Redaksi ini:
Redaktur & Reporter : Friederich Batari


