EtIndonesia. Apa hal terbaik yang dimiliki manusia? Bukan kejayaan kemarin, bukan pula harapan esok hari, melainkan hari ini—saat ini juga.
Di Kuil Eihei-ji, terdapat seorang biksu Zen tua yang usianya telah lebih dari delapan puluh tahun. Pada suatu hari yang terik, dia terlihat menjemur jamur shiitake di bawah matahari.
Melihat itu, sang kepala biara, Dōgen, merasa iba dan berkata : “Yang Mulia, usia Anda sudah begitu lanjut. Mengapa masih melakukan pekerjaan seberat ini? Tidak perlu bersusah payah, saya bisa meminta orang lain menggantikannya.”
Biksu tua itu menjawab tegas : “Orang lain bukanlah aku.”
Dōgen melanjutkan : “Memang benar, tetapi jika harus bekerja, bukankah tak perlu memilih waktu di bawah matahari seterik ini?”
Biksu tua itu tersenyum tipis dan berkata : “Jika tidak menjemur jamur saat cuaca cerah, apakah harus menunggu hari mendung atau hujan?”
Dōgen pun terdiam—tak mampu membantah.
Kita sering mendengar ungkapan: “Pekerjaan hari ini, selesaikan hari ini.”, “Urusan sendiri, kerjakan sendiri.”
Kata-katanya sederhana, tetapi pelaksanaannya tidak mudah.
Manusia selalu pandai mencari alasan untuk menunda atau bergantung pada orang lain. Namun hasil akhirnya tak pernah berbohong—yang tertipu, pada akhirnya, adalah diri kita sendiri.
Sesungguhnya, ada dua hal yang tidak boleh dilakukan sepanjang hidup:
- Menunggu — jangan menunggu hari esok.
- Bergantung — jangan bergantung pada orang lain.
Jika hidup dihabiskan dengan menunggu dan bergantung, maka hidup itu sia-sia.
Pendiri aliran Buddhisme Tanah Suci Jepang, Shinran, kehilangan kedua orangtuanya sejak kecil.
Pada usia sembilan tahun, dia telah bertekad untuk menjadi biksu. Dia menemui Guru Jichin dan meminta untuk ditahbiskan.
Sang guru bertanya : “Kamu masih begitu muda. Mengapa ingin menjadi biksu?”
Shinran kecil menjawab dengan tenang : “Meski aku baru sembilan tahun, orangtuaku telah tiada. Aku tidak mengerti mengapa manusia harus mati, dan mengapa aku harus berpisah dengan ayah dan ibu. Untuk mencari jawaban itulah aku ingin menjalani kehidupan keagamaan.”
Guru Jichin sangat terkesan dan berkata : “Baik. Aku mengerti. Aku bersedia menerimamu sebagai murid. Namun hari ini sudah terlalu malam. Besok pagi aku akan menahbiskanmu.”
Mendengar itu, Shinran kecil segera menjawab : “Guru, meski Anda mengatakan besok pagi, aku masih anak-anak dan tak bisa menjamin tekadku akan bertahan sampai esok hari. Lagipula, Guru sudah lanjut usia—Anda pun tak bisa memastikan apakah besok pagi masih hidup atau tidak.”
Mendengar jawaban itu, Guru Jichin bertepuk tangan dengan gembira : “Luar biasa! Kata-katamu benar sekali. Kalau begitu, sekarang juga aku akan menahbiskanmu.”
Jika esok masih ada, bagaimana kamu akan menghias wajahmu hari ini? Jika esok tidak datang, bagaimana kamu akan mengucapkan perpisahan?
Setiap orang pasti menghadapi lahir, tua, sakit, dan mati. Anak kecil tak tahu apakah tekad hari ini bisa bertahan sampai esok. Orang tua tak tahu apakah hidupnya masih berlanjut hingga pagi. Lalu, kita—dapatkah kita menjamin rencana hari ini masih kita ingat besok?
Tak seorang pun mampu meramalkan masa depan. Tak ada yang tahu apakah esok membawa harapan baru, atau justru keputusasaan yang tak terduga.
Karena itu, hiduplah dengan sungguh-sungguh hari ini. Jangan biarkan hari ini berlalu hanya menjadi bagian dari masa lalu tanpa makna.


:strip_icc()/kly-media-production/medias/4831162/original/059818400_1715666476-IMG_8379.jpeg)