Kisah Inspiratif: Anak Bebek Kuning Belajar Berenang

erabaru.net
3 jam lalu
Cover Berita

EtIndonesia. Musim semi tiba, bunga-bunga bermekaran, dan sungai kecil mengalir riang dengan suara gemericik. Ibu bebek mengajak anak-anaknya ke tepi sungai untuk belajar berenang.

Di daratan, bunga-bunga mekar dengan indah dan berwarna-warni. Rumput hijau segar, dedaunan tampak subur. Anak bebek kuning berbaring di balik rerumputan sambil berlatih berenang—plung, plung—menggerak-gerakkan sayapnya di udara.

“Anakku, kemarilah, belajar bersama Mama,” panggil ibu bebek kepada anak bebek kuning yang masih berlatih di atas rumput.

“Mama, bukankah aku sudah bisa berenang?” jawab si anak bebek sambil meniru gerakan ibunya, mengepakkan kedua sayapnya dengan penuh semangat.

“Kalau ke air, barulah benar-benar bisa berenang,” kata ibu bebek sambil berenang ke tepi sungai dan mengulurkan sayapnya yang lebar dan kuat untuk menjemput anaknya.

Anak bebek mundur selangkah. Tanpa disangka, tubuhnya oleng, kakinya terpeleset.

“Ahhh!”

 Byur!

Dia jatuh ke dalam sungai. Air muncrat ke mana-mana. Anak bebek kuning panik dan langsung memeluk leher ibunya.

“Tolong… tolong!” teriaknya.

Leher ibu bebek terpelintir karena cengkeraman itu. Seketika, lehernya bengkak dan muncul benjolan merah besar.

“Anakku, pegang rumput di tepi sungai!” seru ibu bebek sambil menahan sakit dan mendorong anaknya ke darat.

“Anakku, pegang rumput di tepi sungai!”

 Dengan sisa tenaga, ibu bebek akhirnya berhasil mendorong anaknya naik ke darat.

Anak bebek menunduk saat berjalan pulang bersama ibunya. 

Dalam hati, dia bertekad kuat: “Aku pasti bisa belajar berenang!”

Keesokan harinya, dia bertemu dengan Pak Katak yang sedang bersantai di atas daun teratai sambil bersiul.

“Pak Katak, maukah Anda mengajariku berenang?” tanya anak bebek dengan penuh harap.

“Tidak masalah!” jawab Pak Katak sambil menjentikkan jari dengan mantap.

“Tarik, balik, dorong, jepit!”

 Pak Katak memberi contoh gerakan di dalam air.

Anak bebek kuning belajar dengan sungguh-sungguh. Dia membuka sayapnya, berusaha mengayuh air sekuat tenaga. Meski gerakannya jauh dari sempurna dan tidak menyerupai gaya renang Pak Katak, dia tetap berusaha keras.

Hingga akhirnya, sayapnya kram, kakinya pegal dan mati rasa, hidungnya kemasukan air, air mata dan ingus bercampur jadi satu—barulah dia berhenti.

Melihat anak bebek tersedak air sampai tampak mual, Pak Katak menggelengkan kepala dan pergi begitu saja.

“Tunggu, Pak Katak!”

 Anak bebek tenggelam sebentar, lalu muncul lagi ke permukaan. Namun Pak Katak sudah tak terlihat lagi.

Tak lama kemudian, lewatlah Kakak Anjing yang baik hati.

“Kak Anjing, maukah kamu mengajariku berenang? Aku akan berusaha keras!” pinta anak bebek.

“Tentu saja bisa!”

Kakak Anjing langsung menyelam ke air. Tak lama, dari bawah air muncul gelembung-gelembung.

“Lihat, seperti ini—gerakan maju-mundur bergantian,” kata Kakak Anjing sambil menengadah dan memperagakan gerakan.

Anak bebek berdiri di bagian sungai yang dangkal dan mengamati.

Dia meniru gerakan Kakak Anjing, mengayuh air dengan sayapnya ke depan dan ke belakang. Namun, sekeras apa pun dia mencoba, tubuhnya tetap tak seimbang. Dia terus tersedak air atau justru tak bisa masuk ke air dengan benar.

Kakak Anjing pun kelelahan. Akhirnya, dia berpamitan dengan alasan tertentu dan pergi.

“Aku ini bodoh sekali…”  Anak bebek malu dan menyembunyikan wajahnya di balik rumput.

“Kenapa tidak mencoba berenang telentang?”  Seekor berang-berang laut kecil yang sedang berwisata berkata dengan ramah. “Kalau mau, aku bisa mengajarimu.”

“Wah, bagus sekali!”  Anak bebek kembali melihat harapan.

Dia meniru berang-berang laut, berbaring telentang di air, mengayuh sayap ke depan dan ke belakang, sementara kedua kakinya menepuk air dengan kuat—plak, plak.

Namun belum beberapa kayuhan, percikan air dari sayapnya masuk ke hidung hingga dia sulit bernapas.

Berang-berang kecil berenang dengan stabil, tubuhnya meluncur tenang di atas air. Anak bebek menirunya, tetapi air justru masuk ke hidung dan mulutnya. Gerakannya menjadi kacau.

Byur!

Dia tenggelam lagi.

Berang-berang kecil segera menyelam dan menariknya ke atas. Berkali-kali kejadian yang sama terulang—entah hidung atau mulutnya selalu kemasukan air.

Akhirnya, berang-berang kecil pergi dengan rasa kecewa.

“Bebek kecil, dayunglah dengan tenang seperti mendayung perahu.”

Seekor ikan kecil berenang mendekat sambil menggerakkan siripnya perlahan di kedua sisi.

“Seperti ini.”

Anak bebek menatap kaki lebarnya: “Bukankah ini seperti dua buah dayung?”

Dia teringat cara ibunya mengajarinya dulu.

“Benar… memang seperti itu!”

Dia mulai mengayuh “dayung” itu dengan stabil. Dan perlahan, “perahu kecil” itu pun membawanya berenang.

“Aku bisa berenang!” serunya kegirangan. “Ini hadiah untuk Mama!”

Ibu bebek yang seharian tak melihat anaknya, keluar mencarinya. Tak disangka, dia justru melihat anak bebek kuningnya sudah bisa berenang.

Saking bahagianya, lehernya yang bengkak mendadak terasa sembuh. Dia pun melompat ke air dan berenang bersama anaknya dengan penuh sukacita.

Pesan hidup dari cerita ini: Setiap orang punya cara belajar yang berbeda. Gagal bukan berarti bodoh—hanya belum menemukan cara yang tepat. Selama tidak menyerah, suatu hari kita akan menemukan jalan kita sendiri.(jhn/yn)


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Bupati Aceh Tamiang Minta Fatwa Kemenhut soal Kayu Gelondongan: Mau Diapakan
• 10 jam lalukumparan.com
thumb
Bupati Aceh Tamiang Tanya ke Menhut: Mau Diapakan Kayu Ini, Apa Diserahkan ke Kami?
• 10 jam lalukompas.com
thumb
Ekspansi Bisnis, INDY Bentuk Anak Usaha Baru Bermodal Rp2,5 Miliar
• 9 jam laluidxchannel.com
thumb
Zaman Edan Versi 2.0: Ketika Era Digital Lebih Absurd dari Puisi Jawa Kuno
• 11 menit lalukumparan.com
thumb
Darma Henwa (DEWA) Tunjuk Satu Direktur Baru, Ini Susunan Terbaru Manajemen
• 12 jam laluidxchannel.com
Berhasil disimpan.