Gen Z dan White Supremacy, Haruskah Kita Mulai Gelisah?

kumparan.com
9 jam lalu
Cover Berita

Pada 23 Desember 2025, Detasemen Khusus (Densus) 88 Anti Teror menangkap seorang pelajar SMK berusia 18 tahun yang diduga terpapar paham neo-Nazi. Operasi ini menandai pergeseran signifikan dalam pola radikalisasi di kalangan anak muda dari ideologi jihadis menuju ekstremisme sayap kanan.

Di samping barang bukti yang mengindikasikan keterlibatannya dalam jaringan digital yang menyebarkan konten ekstrem berbahaya, pelajar ini dikenal oleh tetangga sebagai individu yang menguasai beberapa bahasa asing—dilaporkan dapat berbicara Jepang, Arab, dan diduga menguasai hingga 7 bahasa asing.

Operasi ini diduga merupakan bagian dari rangkaian penyidikan terkait ledakan bom yang terjadi di SMA Negeri 72 Jakarta pada 7 November 2025.

Tragedi di SMAN 72 memang sudah lewat, tetapi ia meninggalkan jejak yang lebih mengerikan daripada sekadar kerusakan fisik. Di antara puing dan kepanikan, terselip simbol-simbol yang seharusnya asing bagi ekosistem tropis kita, yaitu ikonografi supremasi kulit putih.

Mungkin membingungkan. Bagaimana mungkin simbol kebencian rasial yang diimpor dari belahan bumi Barat bisa mendarat di di Jakarta. Polisi menyimpulkan ini sebagai aksi peniruan kekerasan akibat obsesi pribadi. Diagnosis ini menyingkap celah kerentanan baru.

White supremacy kini tidak lagi menonjolkan ideologi berbasis ras an sich. Ia kini berlindung di balik cover subkultur estetik yang dekat dengan generasi hari ini. Dan untuk itu, kita harus mulai gelisah.

Jebakan Simbol dan Momentum untuk Diakui

Julia Ebner dalam bukunya “Going Dark: The Secret Social Lives of Extremists” (2020) menemukan sebuah pola radikalisasi paham supremasi kulit putih. Anak-anak muda masuk ke dalam grup obrolan ekstremis bukan karena mereka rasis sejak lahir, melainkan karena tertarik pada simbolisasi dari subkultur yang tampak keren.

Simbol-simbol fasisme dibungkus dengan ironi dan humor gelap. Ideologi ini masuk melalui meme, budaya internet, dan hasrat pemuda untuk terlihat keren atau edgy.

Meme adalah medium komunikasi budaya yang sebenarnya netral. Limor Shifman (2014) menyebut meme sebagai elemen subkultur yang membentuk komunitas dengan norma dan nilai bersama. Itulah yang membuatnya menjadi alat radikalisasi yang kuat.

Bagi orang tua atau orang awam, gambar “Pepe the Frog” mungkin terlihat hanya sebagai gambar kartun bodoh atau humor internet biasa. Namun di balik kelucuan itu, ia muncul untuk menormalisasi ide kebencian dan kekerasan.

Ebner mencatat, otak generasi muda mulai teradikalisasi dalam hitungan minggu setelah terpapar lelucon yang mendehumanisasi kelompok lain lewat meme. Kelompok white supremacy memberi mereka rasa kebersamaan dan perasaan menjadi seorang yang berdaya.

Kasus Daniel Harris pada 2022 di Inggris menjadi ilustrasi nyata. Ia adalah penerus rekam jejak Payton Gendron, seorang teroris white supremacy. Baginya, mengadopsi simbol the great replacement bukan hanya soal membenci kulit hitam, tapi juga soal identitas, kuasa, dan karisma di mata orang lain.

Di dunia nyata, Harris hanyalah remaja 18 tahun biasa. Tapi di jejaring supremasi kulit putih, dia adalah pahlawan dan seorang propagandis yang dihormati.

Jejaring ekstremis dan teroris modern kini tidak lagi membutuhkan kamp pelatihan fisik di hutan atau pegunungan. Radikalisasi terjadi di ruang gema seperti Discord, Telegram, atau Twitch. Di ruang-ruang ini, kebencian direproduksi. Buku seperti The Turner Diaries karya William Luther Pierce atau teori konspirasi The Great Replacement diremajakan dan disesuaikan lewat meme.

Reproduksi ini melahirkan pola kekerasan yang saling meniru. Anders Breivik di Norwegia (2011) menginspirasi Brenton Tarrant di Christchurch (2019). Tarrant kemudian menginspirasi Payton Gendron di Buffalo (2022). Dan kini, riaknya sampai ke Jakarta Utara. Jejaring ini mungkin tidak saling kenal. Mereka disatukan oleh anatomi kebencian yang sama.

Dalam konteks SMAN 72, white supremacy hanyalah kemasan. Anatomi kebencian ini sebangun dengan ekstremisme agama atau etnonasionalisme yang jamak kita temui. Logo Black Sun (Sonnenrad), swastika, atau for agartha menjadi simbolisasi yang menghubungkan pelaku dengan identitas global itu.

Tidak peduli apa merek ideologinya, di manapun kutubnya, selama ia mampu menambal isu eksistensial dan memberi validasi instan, ia akan segera “dibeli” oleh jiwa-jiwa muda yang sedang krisis. Dan sekali lagi, ideologi itu kini tanpa sadar dirangkul karena dikemas dalam simbolisasi yang gen-Z friendly.

Chris Buckley, seorang mantan anggota Ku Klux Klan (KKK) yang kini menjadi aktivis perdamaian, pernah membocorkan taktik perekrutan mereka,

Anak muda yang merasa terpinggirkan, yang merasa maskulinitasnya terancam, atau yang tidak memiliki sense of belonging adalah mangsa empuk. Mereka membutuhkan wadah untuk menyalurkan kemarahan dan ketakutan akan hilangnya identitas.

Kita patut gelisah, bukan karena kita akan diinvasi ras Arya, tapi karena narasi kebencian kini dikemas begitu estetik untuk dikonsumsi oleh generasi yang diasuh oleh algoritma.

Kita perlu membuang kenaifan bahwa simbol-simbol aneh yang dikonsumsi anak hanyalah konten iseng. Jika anak mulai menggambar simbol Black Sun, atau membuat lelucon tentang genosida dan supremasi ras, itu adalah sinyalemen kedaruratan.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Hingga Akhir 2025, 1,1 Juta Warga Lampung Terima Layanan Cek Kesehatan Gratis
• 17 jam lalukumparan.com
thumb
Prakiraan Cuaca Malam Pergantian Tahun 2026, Sejumlah Wilayah Akan Diguyur Hujan Lebat
• 5 jam lalunarasi.tv
thumb
Menperin Kirim Surat ke Purbaya, Usul Lanjutkan Insentif Otomotif di 2026
• 21 jam lalukatadata.co.id
thumb
Zero Attack, Densus 88 Tangkap 51 Tersangka Terorisme Sepanjang 2025
• 22 jam lalurctiplus.com
thumb
Top 3 News: Jawaban Polisi soal Sosok di Balik Kematian Anak Politikus PKS di Cilegon
• 5 jam laluliputan6.com
Berhasil disimpan.