JAKARTA, KOMPAS — Judul berita utama Harian Kompas selama tahun 2025 menggambarkan suasana Indonesia yang diwarnai kekhawatiran. Di sisi lain pemilihan headline sepanjang tahun menyimpan harapan. Gambaran ini terlihat dari sentimen dan mood terhadap 339 berita utama sepanjang tahun ini.
Untuk mendapatkan gambaran ini, Tim Jurnalisme Data Harian Kompas menganalisis judul berita utama sejak 1 Januari hingga 24 Desember 2025. Judul-judul berita utama dikelompokkan ke beberapa topik, lalu tim penulis memberi nilai sentimen dan mood.
Contohnya, berita headline, Minggu (23/2/2025), berjudul ”Konstitusi Jamin Hak Warga Berekspresi” masuk kategori topik ”politik” dengan sentimen ”positif” dan mood ”gembira/optimistis”. Adapun berita pada Sabtu (8/3/2025) berjudul ”Dunia Usaha Khawatirkan Pelemahan Rupiah” dari topik ”ekonomi” mendapat sentimen ”negatif” dengan mood ”khawatir”.
Dalam analisis ini, headline dibaca sebagai penanda isu yang paling sering hadir di ruang publik. Sementara pola sentimen di sini bukan untuk mengkaji pilihan redaksional, melainkan sebagai gambaran dinamika suasana sosial.
Sepanjang 2025, berita dengan sentimen negatif mendominasi keseluruhan berita (44 persen), disusul netral (33 persen), dan sentimen positif (23 persen).
Topik ekonomi (24,2 persen), politik (20,1 persen), dan internasional (16,2 persen) paling banyak muncul. Sementara topik lain, seperti hukum, bencana, sosial, pendidikan, olahraga, seni budaya, dan gaya hidup, di bawah 10 persen.
Di luar topik kriminalitas dan bencana yang secara alamiah bernada negatif, sejumlah topik memperlihatkan porsi sentimen negatif yang lebih besar dibandingkan sentimen positif dan netral. Pola ini menunjukkan suasana publik sepanjang 2025 tidak hanya dipicu peristiwa krisis, tetapi juga persoalan kebijakan dan arah pembangunan yang membentuk rasa khawatir dan waspada.
Pada topik lingkungan, hukum, dan ekonomi, porsi sentimen negatifnya bahkan lebih dari 50 persen. Di bawahnya, topik pendidikan dan internasional juga masih kuat bernada negatif.
Sebaliknya, topik seni budaya, olahraga, dan sosial lebih banyak muncul dengan sentimen positif, sedangkan topik kesehatan mendapat sentimen berimbang. Sementara itu, topik politik yang lebih banyak menampilkan proses dan kebijakan lebih banyak tampil netral dengan porsi sentimen negatif dan positif yang berimbang.
Sentimen negatif yang banyak diperoleh berita ekonomi bukan sesuatu yang mengherankan, menurut pandangan warga Berbah, Sleman, Yogyakarta, Handriva Fauzi (33). Menurut Handriva, kondisi ekonomi dirasakan kian menekan kehidupan.
Di luar kesibukannya sebagai mahasiswa S-2, ia kerja serabutan sebagai penyortir barang, untuk membiayai keluarga. Jika hanya bersandar pada gaji istrinya yang bekerja di lembaga bimbingan belajar, tak cukup untuk kebutuhan sehari-hari.
Orang-orang cenderung menahan belanja. Pengeluaran diusahakan sehemat mungkin, sebatas untuk kebutuhan pokok harian.
”Sekarang apa saja saya kerjakan asal dapat uang,” kata Handriva, Jumat (26/12/2025).
Orang-orang cenderung menahan belanja. Pengeluaran diusahakan sehemat mungkin, sebatas untuk kebutuhan pokok harian.
Hal serupa ia dengar dan saksikan dari sekitar. Orang-orang cenderung menahan belanja. Pengeluaran diusahakan sehemat mungkin, sebatas untuk kebutuhan pokok harian.
Ia berharap pemerintah meninjau ulang sejumlah program yang menyita banyak anggaran, tetapi menggerus kebutuhan konkret warga, seperti beasiswa dan dana riset di perguruan tinggi. ”Sayang saja kalau kemudahan yang biasanya diperoleh mahasiswa dan para akademisi harus berkurang jumlahnya,” katanya.
Selain menganalisis sentimen, Tim Jurnalisme Data Kompas juga menganalisis aspek mood atau suasana batin. Untuk memudahkan pengolahan data, setiap kategori mood dikonversi menjadi skor numerik.
Mood khawatir dan sedih diberi skor -1, marah -2, gembira/optimistis +1, dan netral 0. Ini kemudian digunakan sebagai basis penghitungan distribusi dan rata-rata mood per bulan.
Sepanjang 2025, mood khawatir, sedih, dan marah mendominasi sebanyak 46,6 persen, disusul netral 35,4 persen, dan gembira/optimistis 18 persen.
Jika ditilik lebih dalam, topik kriminalitas 100 persen memperlihatkan mood khawatir, sedangkan pada topik bencana sebanyak 88 persen berita utama bernada sedih dan khawatir. Sementara topik lingkungan dan hukum memperlihatkan lebih dari separuh berita utama mendapat mood khawatir dan marah, yang menandakan adanya keresahan publik terhadap isu-isu terkait.
Pada topik ekonomi, mood khawatir paling menonjol, mencapai 56 persen, sedangkan untuk topik politik, mood netral (56 persen) meredam mood khawatir dan marah dengan total 27 persen.
Sebaliknya, ruang emosi yang lebih ringan diperlihatkan topik olahraga dan gaya hidup, dengan lebih dari tiga perempat berita utama memberikan mood netral dan gembira/optimistis. Adapun topik kesehatan dan pendidikan memperlihatkan komposisi mood yang lebih berimbang.
Untuk menangkap dinamika emosi publik, dibuatlah rata-rata skor mood per bulan yang kemudian diklasifikasikan ke dalam spektrum negatif kuat, sedang, ringan, netral, hingga positif kuat.
Hasilnya, mayoritas bulan berada dalam spektrum negatif ringan, yakni bulan Januari, April, Mei, Juni, Juli, Agustus, November, dan Desember. Sementara itu, bulan Maret masuk kategori mood negatif sedang, sedangkan Februari, September, dan Oktober masuk spektrum mood netral. Tidak ada bulan yang masuk spektrum mood positif, baik ringan, sedang, maupun kuat.
Soal mood, menurut Handriva, dirinya mengaku lebih condong dengan mood khawatir yang berangkat dari pengalamannya sendiri. Di tengah maraknya pemutusan hubungan kerja (PHK) dan sulitnya mencari kerja, ia khawatir sulit mendapatkan pekerjaan layak selepas menamatkan pendidikan S-2 karena masalah umur.
”Saya berharap pemerintah bisa mendorong perusahaan lebih inklusif dalam menerima calon karyawan. Tidak hanya untuk fresh graduate, tetapi juga untuk yang mulai berumur seperti saya,” tambahnya.
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Padjadjaran, Bandung, Yogi Suprayogi Sugandi, menilai, berita utama Kompas selama 2025 sejalan dengan realitas publik. Sentimen negatif yang dominan, menurut Yogi, bukan semata persepsi publik, tetapi dipicu kinerja pemerintah yang belum solid, terutama lemahnya koordinasi antarkementerian.
”Saya melihat sepanjang tahun ini belum ada sinkronisasi antara satu kementerian dan kementerian lain, apalagi dengan pemerintah daerah. Kejadian paling nyata waktu awal bencana kemarin,” kata Yogi, Sabtu (27/12/2025).
Dominasi sentimen dan mood negatif, menurut Yogi, disebabkan kondisi ekonomi yang cenderung stagnan. Kebijakan efisiensi anggaran justru dirasakan timpang. Pemerintah daerah diminta melakukan efisiensi, tetapi pemerintah pusat tidak memberi contoh dengan membengkaknya kabinet.
Pemangkasan belanja yang dirasakan daerah mengganggu perputaran ekonomi. Ia berharap efisiensi ke depan lebih mempertimbangkan rasa keadilan. ”Efisiensi itu sebenarnya mengganggu flow pertumbuhan ekonomi daerah,” katanya.
Di sisi lain, Yogi menilai kebijakan di bidang keamanan, belanja pertahanan, dan penegakan hukum sudah cukup baik. Salah satunya dengan diprosesnya kasus megakorupsi, seperti BBM ”oplosan”, yang merugikan negara ratusan triliun rupiah. ”Ini bagus dan harus diungkap terus. Terkait kasus-kasus korupsi, Kompas juga bisa mengulasnya lebih dalam,” ujarnya.
Sosiolog dari Universitas Indonesia, Ida Ruwaida, berpendapat, topik bersentimen negatif pada headline Kompas secara umum sejalan dengan situasi 2025. Menurut Ida, pada situasi dalam negeri, sentimen negatif layak diberikan pada topik ekonomi, hukum, politik, kemudian bencana.
”Bagi saya, bencana Sumatera wujud nyata berkelindannya tiga topik pertama, yakni ekonomi, hukum, dan politik,” ujarnya, Sabtu (27/12/2025).
Ida sepakat, sentimen negatif terhadap topik ekonomi nasional berawal dari berbagai kebijakan efisiensi yang sebagian kontradiktif. Sentimen negatif lain muncul dengan mencuatnya kasus-kasus korupsi yang merugikan keuangan negara. ”Pada poin ini, sentimen pemberitaan negatif dengan suasana batin publik sejalan,” kata Ida.
Pengamatannya di media sosial, mood atau suasana batin publik cenderung khawatir atau cemas. Bahkan, dalam sebulan terakhir, publik seakan mulai putus asa melihat respons pemerintah terkait dengan bencana di Sumatera.
”Kebijakan lain yang mencemaskan adalah tidak proporsionalnya pemerintah dalam mengalokasikan anggaran pembangunan,” ungkapnya.
Keluarnya kebijakan publik yang tidak pro-kepentingan publik, menurut Ida, disebabkan kaburnya batas antara negara dan pasar dalam situasi tertentu. Misalnya, adanya pelaku usaha yang menjadi politisi dan penyelenggara negara.
Dalam situasi seperti ini, warga dapat menjadi kekuatan penyeimbang. ”Di era digital, kekuatan publik tidak bisa diremehkan. Ini tecermin dari pendekatan no viral no justice,” katanya.
Seiring dengan kondisi itu, Ida meminta Kompas membuka ruang interaktif karena media merupakan salah satu pilar demokrasi. Warta gembira selayaknya lebih banyak dikabarkan. ”Namun, sikap kritis Kompas sebagai media independen tetap harus dikedepankan agar publik lebih melek media,” ujarnya.
Menanggapi hasil analisis Tim Kompas, menurut dosen jurnalistik Universitas Multimedia Nusantara, Ignatius Haryanto, tugas pers memang untuk mengontrol jalannya kekuasaan dan menunjukkan kekurangan pemerintahan.
”Tugas pers menunjukkan mana yang harus diperbaiki. Kalaupun ada hal-hal yang dianggap negatif, pemerintah mesti menganggapnya sebagai masukan untuk memperbaiki situasi,” ucapnya.
Sebagai salah satu anggota Ombudsman Kompas, Ignatius menilai dalam beberapa hal Kompas terasa agak malu-malu atau sungkan dalam mengkritik. ”Tetapi tetap harus ada pihak tertentu yang memberikan kritisisme terhadap apa yang dilakukan pemerintah,” katanya.





