Lembang Park & Zoo adalah kebun binatang edukatif yang berdiri di atas lahan seluas 25 hektare. Tempat ini menjadi rumah bagi sekitar dua ratus jenis satwa dari berbagai penjuru dunia. Di antara penghuni-penghuni itu, ada dua sosok yang mencuri perhatian: macan benggala putih dan macan albino. Keduanya sama-sama memesona, sama-sama langka, dan sama-sama membuat pengunjung berhenti lebih lama di depan kandang. Namun, di balik kemiripan warna bulunya, tersimpan cerita yang jauh lebih unik, tentang identitas, genetika, dan misteri alam yang belum banyak dipahami.
Macan hadir sebagai simbol kekuatan, kesunyian, dan keanggunan liar yang memikat imajinasi manusia. Namun, di antara semua kisah tentangnya, macan albino muncul sebagai figur yang sering disalahpahami. Banyak orang mengira ia hanya “versi lain” dari macan putih, padahal keduanya berbeda secara biologis dan genetik. “Aku bukan bayangan saudaraku,” seolah bisik makhluk langka bermata merah itu. Melalui tulisan ini, pembaca diajak menyelami perbedaan macan putih dan macan albino secara ilmiah, kultural, dan ekologis. Menelusuri fakta, mitos, serta realitas yang menyelimuti dua sosok eksotis yang sama-sama menakjubkan.
Secara ilmiah, macan termasuk genus Panthera dalam keluarga besar Felidae. Menurut Nowell dan Jackson dalam Wild Cats (1996), terdapat enam subspesies macan modern yang masih bertahan. Subspesies tersebut meliputi macan benggala, siberia, sumatra, malaya, indocina, dan cina selatan. Macan putih bukanlah spesies baru, melainkan variasi genetik dari macan benggala. Sementara itu, macan albino merupakan bentuk mutasi yang jauh lebih langka. Perbedaan ini penting agar pemahaman publik tidak terjebak pada kesalahan populer.
Sejarah mencatat macan putih pertama ditemukan di India pada tahun 1951. Pugdundee Safaris mencatat individu tersebut bernama Mohan, ditemukan di Hutan Bandhavgarh. Mohan menjadi leluhur sebagian besar macan putih modern di dunia. Tubuhnya putih bersih dengan garis hitam tegas dan mata biru yang mencolok. Penampilannya membuat banyak orang terpesona dan menganggapnya makhluk mistis. Dari sinilah kisah macan putih menyebar ke berbagai penjuru dunia.
Macan albino memiliki kisah berbeda dan jauh lebih jarang ditemui. Ia mengalami kondisi genetik bernama albinisme, yaitu ketiadaan pigmen melanin. Akibatnya, seluruh tubuh tampak pucat tanpa pola belang yang jelas. Matanya berwarna merah muda karena pembuluh darah terlihat langsung. Penelitian Xu dan kolega pada 2013 menjelaskan peran gen SLC45A2 dalam proses ini. Kondisi tersebut membuat macan albino sangat rentan terhadap cahaya dan lingkungan.
Secara fisik, macan putih umumnya berukuran lebih besar dibanding macan oranye. Panjang tubuh jantan dapat mencapai 270 sentimeter dengan berat lebih dari 220 kilogram. Betina sedikit lebih kecil, namun tetap terlihat kokoh dan berotot. Macan albino diperkirakan memiliki ukuran serupa, meski data ilmiahnya sangat terbatas. Tubuh mereka tampak seperti pahatan marmer yang hidup. Keindahan ini sering menipu, karena menyimpan kerentanan biologis.
Perbedaan paling mencolok terlihat pada mata. Macan putih bermata biru, mampu melihat dalam kondisi minim cahaya. Sebaliknya, macan albino memiliki mata merah muda yang sangat sensitif terhadap cahaya. “Cahaya melukaiku,” seakan keluh matanya yang rapuh. Kondisi ini menghambat kemampuan berburu secara alami. Akibatnya, macan albino sulit bertahan hidup di alam bebas. Keunikan justru menjadi kelemahan yang mematikan.
Sebagai predator soliter, macan mengandalkan keheningan dan kamuflase. Mereka mendiami hutan lebat dengan wilayah jelajah luas. Mangsa utamanya meliputi rusa, babi hutan, dan banteng muda. Aktivitas berburu biasanya dilakukan saat malam tiba. Macan putih masih mampu berkamuflase dalam cahaya redup. Macan albino justru tampak mencolok di bawah sinar bulan. Kondisi ini memperkecil peluang sukses berburu.
Proses reproduksi macan berlangsung sekitar 103 hari masa kehamilan. Seekor induk biasanya melahirkan dua hingga empat anak. Pada macan putih, kedua induk harus membawa gen resesif yang sama. Brakefield dalam Big Cats (2012) menyebut peluang kelahiran sangat kecil. Macan albino bahkan lebih jarang karena mutasi ekstrem. Banyak anak albino lahir dengan gangguan kesehatan. Inilah sebab populasi mereka hampir tidak pernah stabil.
Saat ini, sebagian besar macan putih hidup di penangkaran manusia. Banyak dihasilkan melalui perkawinan sedarah demi mempertahankan warna unik. Praktik ini mendapat kritik keras dari komunitas konservasi global. Association of Zoos and Aquariums melarangnya sejak 2011. Macan albino bahkan tidak menjadi fokus konservasi resmi. Mereka dianggap anomali biologis, bukan target pelestarian. Dilema etika pun muncul dari praktik tersebut.
Dalam budaya Sunda, macan putih dikenal sebagai maung bodas. Ia dianggap simbol kekuatan spiritual dan penjaga alam. Legenda Prabu Siliwangi sering mengaitkannya dengan kesucian dan perlindungan. “Ia datang saat alam ingin menegur manusia,” tutur cerita rakyat. Macan albino pun kerap diselimuti makna gaib serupa. Mitos memberi makna, meski sains memberi batas. Keduanya hidup berdampingan dalam kesadaran manusia.
Secara ilmiah, warna putih bukan keunggulan evolusioner bagi macan. Warna tersebut justru mengurangi kemampuan bertahan hidup di alam. Macan albino adalah anomali genetik yang sangat rapuh. Macan putih masih memiliki peluang hidup, meski terbatas. Keindahan tidak selalu sejalan dengan ketahanan biologis. Alam bekerja melalui keseimbangan, bukan keistimewaan visual. Dari sini, manusia belajar tentang batas intervensi.
Macan albino dan macan putih mengajarkan makna keajaiban dan keterbatasan alam. Mereka bukan sekadar objek kekaguman atau hiburan visual. Mereka adalah pengingat tentang tanggung jawab manusia terhadap kehidupan liar. “Biarkan alam berjalan dengan hukumnya,” pesan para konservasionis. Dengan memahami perbedaannya, kita belajar menghargai tanpa mengeksploitasi. Keindahan sejati lahir dari keseimbangan, bukan dari paksaan manusia.





