Batik dan Doa di Kauman: Harmoni Budaya dan Religi di Jantung Kota Solo

kumparan.com
12 jam lalu
Cover Berita

Aroma malam panas menyeruak dari salah satu sudut Kampung Batik Kauman Surakarta, Jumat (19/09/2025) siang itu. Di antara deretan rumah bergaya kolonial, ada beberapa laki-laki tampak tekun menorehkan cap ke atas kain mori. Suara azan asar dari Masjid Agung Surakarta bersahut dengan desis malam yang mendidih di wajan kecil, seolah mengingatkan bahwa di kampung ini, seni dan religiusitas menyatu dalam setiap helai batik.

Di Kampung Batik Kauman Surakarta, membatik bukan hanya sebagai pekerjaan, melainkan warisan budaya dan ibadah yang kental dalam kehidupan sehari-hari. Setiap titik dan garis motif yang ditorehkan memiliki makna filosofis yang dalam tentang kesabaran, ketulusan, dan keyakinan pada Sang Pencipta. Di sinilah tradisi turun-temurun membatik menjadi simbol keteguhan identitas warga Kauman di tengah modernisasi Kota Surakarta.

Meski demikian, adanya interaksi sosial juga menimbulkan berbagai tantangan. Sebagian warga khawatir akan arus modernisasi dapat menggeser nilai tradisi. Kehadiran orang luar memang membawa manfaat secara ekonomi, tetapi sekaligus menuntut adaptasi. Misalnya, generasi muda Kauman kini lebih banyak yang memilih jalur pendidikan formal dan profesi modern, ketimbang melanjutkan usaha batik orang tua. Akibatnya, jumlah penerus pengrajin batik tulis berkurang.

Warisan Keluarga

Sejak dahulu anak-anak di kampung Kauman telah mengenal teknik dasar dalam membatik yang sudah akrab dengan malam, canting, dan kain mori. Anak-anak biasanya mulai belajar membatik sejak usia sekolah dasar, ujar Mohammad Tohir, Ketua RW 03 Kampung Kauman, saat ditemui di kediamannya, Jumat (19/09/2025). Pada usia itu, mereka belum dituntut menghasilkan karya yang sempurna. “Yang penting mereka belajar mengenal malam, memegang canting, dan memahami pola dasar,” lanjut Tohir.

Dahulu rumah-rumah tua di Kampung Batik Kauman berfungsi ganda yaitu sebagai tempat tinggal sekaligus ruang produksi batik. Di halaman belakang rumah, warga biasa menjemur lembaran kain yang baru dicelup. Di sinilah proses belajar berlangsung secara turun-temurun, anak-anak mengamati ibu, kakak, atau nenek mereka yang sehari-hari membatik.

Pada masa kejayaan industri batik abad ke-19 hingga awal abad ke-20, hampir 90 persen penduduk Kampung Batik Kauman Surakarta terlibat dalam usaha batik. Aktivitas ini bukan hanya menopang ekonomi keluarga, tetapi juga menjadi simbol kebanggaan sosial dan kultural masyarakat Kampung Batik Kauman Surakarta.

Batik dan Wisata

Saat ini, belajar membatik tidak hanya dapat dilakukan dari rumah. Setelah tren wisata budaya meningkat pasca tahun 2010, warga Kampung Batik Kauman Surakarta mulai membuka pelatihan membatik bagi pelajar dan wisatawan. Public Relations Manager Batik Gunawan Setiawan, yakni Arnita, mengungkapkan wisatawan mengunjungi Kampung Batik Kauman Surakarta sebagai tempat edukasi bagi mereka. “Wisatawan asing sering datang untuk belajar langsung, dari membuat pola sampai mencelupkan kain ke pewarna alami,” ungkapnya saat ditemui di Restoran Jawa Wesja Indonesia, Kauman, Surakarta, Jumat (4/10/2025).

Bagi para pembatik senior, membatik bukan sekadar keterampilan teknis, tetapi juga membutuhkan kesabaran dalam pengaplikasian setiap motifnya. Ia mencontohkan motif parang yang mana sebagai simbol ketangguhan atau kekuatan seorang raja. “Maknanya dalam sekali. Di Kauman, membatik itu seperti berdoa,” ujarnya.

Antusiasme pengunjung membuat Kampung Batik Kauman Surakarta berhasil bangkit setelah lesu dari keterpurukan industri batik pada 1980-an. Revitalisasi kawasan pada tahun 2011 menjadikan kampung ini hidup kembali. Wisatawan tak hanya datang membeli batik, tapi juga ingin merasakan pengalaman spiritual di balik prosesnya

Perempuan Penjaga Api

Menurut sejarah, Kauman memegang peranan sangat penting dalam menjaga keberlanjutan tradisi membatik. Sejak dulu, para perempuan di kampung ini dikenal sebagai penjaga keterampilan tangan yang diwariskan dari generasi ke generasi. Mereka adalah tulang punggung ekonomi keluarga, pengatur jalannya produksi batik, sekaligus pendidik bagi anak-anak di rumah. Di sela hiruk-pikuk kehidupan, mereka tetap setia menunduk di atas kain mori, menggoreskan malam dengan penuh kesabaran. Setiap titik, garis, dan lengkung pada kain bukan sekadar pola, melainkan simbol doa dan keteguhan hati. Dalam diam, mereka berbicara lewat karya tentang cinta, ketekunan, dan ketulusan hidup.

Kini, perubahan zaman membawa warna baru bagi kehidupan mereka. Generasi muda Kauman mulai menemukan cara baru untuk menjaga tradisi, yakni dengan memadukan keindahan batik klasik dan dunia digital. Media sosial menjadi galeri virtual tempat mereka memperkenalkan karya, berbagi proses pembuatan, hingga menjual produk ke berbagai daerah. Dari dapur rumah hingga layar gawai, semangat mereka tetap sama: menjaga api tradisi agar tidak padam. Mereka membuktikan bahwa teknologi bukan musuh budaya, melainkan jembatan untuk membuatnya dikenal lebih luas.

Lebih dari sekadar perajin, perempuan Kauman adalah penjaga nilai. Mereka memahami bahwa setiap motif batik menyimpan makna dan filosofi yang dalam—tentang alam, doa, dan kehidupan manusia. Karena itu, mereka berupaya mempertahankan keaslian corak serta teknik tradisional, meskipun bahan dan alat semakin modern.

Di sela tanggung jawab sebagai ibu dan istri, mereka tetap membatik, mengajarkan anak-anak untuk menghargai proses, serta menanamkan kesadaran bahwa budaya tidak boleh berhenti di satu generasi. Beberapa dari mereka bahkan menjadi penggerak komunitas batik lokal, mengadakan pelatihan untuk anak muda dan perempuan lain agar keterampilan membatik tetap hidup di tengah masyarakat.

Di era yang serba cepat ini, perempuan Kauman menunjukkan bahwa keteguhan bisa berjalan beriringan dengan kemajuan. Mereka beradaptasi tanpa kehilangan akar, berinovasi tanpa menghapus makna. Dari tangan-tangan mereka lahir batik yang bukan hanya indah, tetapi juga sarat cerita dan nilai spiritual.

Napas Religius

Nama "Kauman" sendiri berasal dari kata kaum atau tempat tinggalnya para kaum, yang merujuk pada para ulama atau abdi dalem pamethakan yang mengurusi urusan agama dan kemasjidan. Sejak awal berdirinya, kampung ini memang lekat dengan Masjid Agung Surakarta yang dibangun pada 1757. “Masjid Agung bukan hanya pusat ibadah, tetapi juga pusat dakwah, pendidikan, dan pengembangan tradisi Islam,” ujar Muhammad Soim, penyusun buku Kauman Religi, Tradisi & Seni, saat ditemui di kediamannya, Minggu (21/09/2025).

Kehidupan religius di Kauman masih sangat kental. Hingga kini, kegiatan pengajian rutin masih berlangsung di berbagai langgar (mushola kecil) seperti Langgar Winongan, Gontoran, Sememen, hingga Trayeman. Tradisi ini sudah ada sejak masa kolonial dan masih terus berlanjut hingga sekarang. Peran masjid sangat besar dalam membentuk identitas Kauman.

Masjid Agung tidak hanya menjadi pusat keagamaan, tetapi juga pusat sosial. Di sinilah warga Kauman sejak dahulu terikat oleh aturan religius, termasuk larangan keras melakukan maksiat atau tindakan yang merusak agama. Peraturan itu membuat Kauman dikenal sebagai kampung yang religius dibandingkan kampung lain di Surakarta.

Anak muda Kauman masih banyak yang aktif dalam kegiatan masjid, seperti pengajian remaja, TPQ, dan peringatan hari besar Islam. Meski modernisasi mengubah orientasi hidup mereka, ikatan dengan masjid tetap menjadi ciri khas Kauman. Hal inilah yang membuat Kauman berbeda dengan kampung batik lainnya. Jika Laweyan lebih dikenal dengan semangat wirausaha dan perlawanan politiknya, maka Kauman menonjol dengan karakter religius yang melekat pada tradisi batiknya.

Harmoni Kauman

Kampung Batik Kauman Surakarta merupakan contoh nyata bagaimana budaya dan religiusitas dapat berjalan berdampingan tanpa saling meniadakan. Di tengah arus modernisasi dan globalisasi, Kauman justru mampu mempertahankan nilai-nilai Islam yang kuat sekaligus membuka diri terhadap inovasi dan wisata budaya. Di kampung ini, kehidupan warga berjalan dalam keseimbangan. Di satu sisi mereka pengrajin batik yang menekuni seni, dan di sisi lain mereka umat yang taat menjaga tradisi keagamaan.

Harmoni itu terlihat dari tata ruang sosial dan budaya kampungnya. Masjid Agung Surakarta berdiri megah di utara kampung sebagai pusat spiritual, sementara deretan rumah batik di sekitarnya menjadi pusat aktivitas ekonomi dan budaya. Keduanya tidak dipisahkan tembok nilai, melainkan saling menguatkan. Para pengrajin sering kali memulai aktivitas membatik setelah salat subuh atau zuhur, menjadikan kerja mereka bukan sekadar produksi, tetapi juga bentuk ibadah.

Menurut Soim, keseimbangan inilah yang membentuk karakter masyarakat Kauman. “Sejak dulu, warga Kauman berpegang pada prinsip nguri-uri budaya tanpa ninggal syariat. Artinya, menjaga tradisi tapi tetap dalam bingkai ajaran Islam,” ujarnya. Prinsip itu menjadi landasan moral warga dalam berdagang, berproduksi, maupun menerima wisatawan, etika religius tetap dijaga. Tidak heran jika suasana kampung ini terasa teduh dan penuh tata krama. Harmoni juga tampak dalam pola sosial antarwarga.

Kegiatan ekonomi seperti produksi batik tidak menghapus gotong royong dan rasa kebersamaan. Saat bulan Ramadan atau peringatan Maulid Nabi, warga yang biasanya sibuk di rumah produksi akan berhenti sejenak untuk mengikuti pengajian bersama di langgar (musala). Tradisi seperti kenduren, slametan, dan nyadran masih dilakukan dengan nuansa Islam yang kuat, mencerminkan perpaduan antara spiritualitas dan kebudayaan Jawa.

Selain itu, generasi muda Kampung Batik Kauman Surakarta kini menjadi jembatan antara tradisi dan kemajuan digital. Mereka menggunakan media sosial untuk mempromosikan batik, membuat konten edukasi budaya, hingga mengadakan workshop kreatif yang melibatkan wisatawan. Meski menggunakan teknologi modern, semangat yang mereka bawa tetap sama yaitu memperkenalkan batik sebagai identitas budaya sekaligus warisan religius.

Melalui keseimbangan ini, Kauman bukan hanya kampung batik biasa, melainkan ruang hidup yang mempraktikkan “Islam kultural” yakni pemahaman agama yang berpadu harmonis dengan nilai lokal dan kreativitas masyarakat. Setiap tetes malam dari canting tak hanya membentuk motif indah, tapi juga menyulam doa, etika, dan rasa syukur. Itulah yang membuat Kauman tetap hidup dan relevan, bahkan di tengah perubahan zaman.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Pidsus Kejagung RI Setor Rp19,1 Triliun ke Negara Sepanjang 2025
• 7 jam laluidntimes.com
thumb
Transformasi Digital Energi Surya Permudah Kelola Proyek Industri
• 21 jam lalumetrotvnews.com
thumb
10.063 Wisman Masuk Batam selama Nataru, Didominasi Singapura dan Malaysia
• 16 jam lalubisnis.com
thumb
Foto: Ratusan Keluarga Mengungsi Imbas Gempa di Gunung Api Burni Telong, Aceh
• 3 jam lalukumparan.com
thumb
Gaji Pensiunan PNS Cair Besok, Taspen Pastikan Ini
• 15 jam lalufajar.co.id
Berhasil disimpan.