Pantau - Artikel opini oleh Ngasiman Djoyonegoro menyoroti bencana banjir besar yang melanda Sumatera pada akhir 2025 sebagai bukti bahwa perubahan iklim dan degradasi lingkungan telah menjadi ancaman strategis terhadap ketahanan nasional, bukan sekadar bencana alam biasa.
Banjir Sumatera: Bukan Bencana Biasa, Tapi Krisis StrategisBanjir di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada akhir 2025 menelan korban jiwa hingga 1.030 orang, dengan 206 orang hilang dan sekitar 7.000 luka-luka.
Selain itu, 186.488 rumah rusak dan sekitar 1.600 fasilitas publik seperti sekolah, rumah sakit, dan pasar hancur.
Ngasiman menyoroti bahwa pemicu utama bukan hanya curah hujan ekstrem, melainkan siklon di Selat Malaka yang dipicu pemanasan laut, serta kerusakan lingkungan akibat deforestasi dan konversi hutan menjadi tambang dan perkebunan monokultur.
Ketahanan Nasional Perlu RedefinisiPenulis menekankan bahwa bencana seperti ini berdampak langsung terhadap pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan sosial masyarakat.
Ia mengkritik pemahaman ketahanan nasional yang selama ini hanya dipandang dari sisi militer, tanpa memasukkan aspek ekologi, pangan, energi, dan sosial.
"Bencana bukan hanya soal cuaca ekstrem, tapi ancaman strategis nasional," tulisnya.
Pemerintah juga dinilai terlalu reaktif, karena fokus pada respons logistik tanpa menyentuh akar persoalan seperti degradasi lingkungan dan ketidakterpaduan kebijakan lintas sektor.
Perubahan Iklim Harus Jadi Agenda Utama Keamanan NasionalDalam artikelnya, Ngasiman merekomendasikan lima langkah strategis:
Memasukkan perlindungan hutan dan ekosistem dalam doktrin ketahanan nasional.
Membangun sinergi lintas sektor seperti KLHK, Kementan, PUPR, dan TNI dalam mitigasi risiko lingkungan.
Menerapkan tata ruang berbasis risiko bencana dan rehabilitasi kawasan hutan secara massif.
Menempatkan perubahan iklim sebagai threat multiplier, bukan sekadar isu lingkungan hidup.
Belajar dari negara-negara seperti Jepang, yang memiliki perencanaan jangka panjang dalam menghadapi risiko bencana.
Seruan untuk Perubahan Arah PembangunanSebagai penutup, penulis menegaskan bahwa krisis lingkungan seperti banjir Sumatera 2025 harus menjadi titik balik kebijakan nasional.
"Kita tidak bisa membangun ketahanan nasional di atas ekosistem yang rapuh."
Ia mendorong agar Indonesia berpindah dari model pembangunan eksploitatif menuju pembangunan berbasis keberlanjutan ekologis, jika ingin bertahan dalam era perubahan iklim ekstrem yang kian nyata.
:strip_icc()/kly-media-production/medias/5041362/original/025813800_1733720190-Untitled.jpg)



