Grid.ID - Dihapusnya game online jadi penyebab dari kasus anak bunuh ibu di Medan. Psikolog soroti hingga beri tanggapan terkait hal tersebut.
Kasus seorang anak yang tega habisi nyawa ibunya di Medan tengah menjadi sorotan. Terlebih pelaku merupakan seorang anak berusia 12 tahun berinisial A.
Ia tega menghabisi ibu kandungnya berinisial F (42) pada Rabu (10/12/2025). A melakukan penusukan menggunakan pisau hingga mengakibatkan sang ibu meninggal dunia.
Kronologi
Kapolrestabes Medan, Kombes Pol Jean Calvijn Simanjuntak menjelaskan bahwa pada saat kejadian, korban tidur di kasur atas bersama A. Sementara kakaknya tidur di kasur bawah.
Kemudian suami korban berada di lantai dua rumah itu. Pada sekitar pukul 04.00 WIB, A terbangun, ia lalu mengambil pisau dan langsung menikam ibunya yang sedang tertidur.
"Adik (A) mengambil pisau, membuka bajunya, dan melukai korban," jelas Calvijn, dikutip dari Tribunnews.
Korban diketahui mengalami sebanyak 26 luka tusukan. Sang kakak yang terbangun lantas berusaha untuk merebut pisau dari tangan A meskipun tangannya ikut tersayat.
A bahkan sempat kembali ke dapur untuk mengambil pisau lain. Namun kakaknya berhasil menutup pintu kamar sehingga upaya lanjutan gagal.
Dendam Pelaku terhadap Korban
A melakukan hal tersebut lantaran dendam karena sering dimarahi oleh ibunya. Selain itu, ia menyebut ibunya pernah mengancam dirinya, kakak, dan ayah dengan senjata tajam.
Selain itu, A juga merasa sakit hati karena game online miliknya dihapus. Ia juga disebut terinspirasi dari kartun dan anime yang ditontonnya.
Kasus anak bunuh ibu di Medan disebabkan karena dendam. Dihapusnya game online menjadi salah satu penyebabnya. Psikolog pun memberikan tanggapannya terkait hal tersebut.
Psikolog Beri Tanggapan
Seorang psikolog forensik, Irna Minauli mengungkapkan kondisi psikologis terduga pelaku. Ia menyebut bahwa pelaku yang masih di bawah umur itu masih labil secara emosional.
"Memang secara psikologis anak ini juga masih labil secara emosional ya. Jadi ada keinginan agresivitas yang cukup tinggi, empati yang mungkin masih kurang berkembang, kemudian juga kurang berinteraksi secara sosial," ujarnya, dikutip dari Kompas TV.
"Anak remaja mana yang enggak keras kepala, anak remaja mana yang enggak pemarah misalnya," tambahnya.
Lebih lanjut, Irna mengatakan bahwa dalam kasus ini ada tumpang tindih antara kecenderungan conduct disorder (gangguan perilaku dan emosi serius yang membuat anak menunjukkan perilaku kekerasan) dan fase perkembangan yang dialami terduga pelaku. Ia menyebut aksi pelaku bukan karena kesehatan mental, namun ke arah pengalaman kekerasan yang pernah dia alami dan saksikan.
"Jadi kalau dilihat kemungkinan terjadinya peristiwa ini bukan karena adanya gangguan kesehatan mental ya, jadi lebih ke arah misalnya pengalaman kekerasan yang dialami, yang dia saksikan," jelasnya. (*)
Artikel Asli



