Oleh: Desy Selviana
(Pustakawan)
Perantauan orang Bugis ke Semenanjung Malaka pada awal abad ke-18 mencapai titik penting melalui sosok Daeng Marewa. Ia bukan sekadar pendatang dari Sulawesi Selatan. Di tangannya, orang Bugis naik dari kekuatan pendukung Sultan menjadi pengendali pemerintahan Johor.
Kemunculan Daeng Marewa tidak bisa dilepaskan dari krisis politik Kesultanan Johor. Perebutan takhta antara Sultan Sulaiman dan Raja Kecil Siak membuat Johor terpecah. Dukungan bangsawan Melayu terbelah, sementara kekuatan Sultan Sulaiman terus terdesak. Dalam situasi inilah orang Bugis tampil sebagai sekutu militer dan politik yang menentukan.
Setelah konflik mereda, Daeng Marewa diangkat sebagai Raja Muda Johor. Jabatan ini secara resmi berada di bawah Sultan, tetapi dalam praktiknya justru memegang kendali pemerintahan. Arsip kolonial Belanda mencatat bahwa Sultan hanya berfungsi sebagai lambang, sementara kekuasaan nyata dijalankan oleh Raja Muda Bugis. Dari Pulau Penyengat, Daeng Marewa mengatur arah politik Johor.
Kekuatan Daeng Marewa tidak hanya bertumpu pada senjata. Ia membangun pengaruh melalui perkawinan politik. Daeng Marewa menikahi Intjeh Apo, janda Sultan Mahmud Syah, sementara saudara-saudaranya mengawini puteri-puteri bangsawan Johor. Perkawinan ini mempercepat masuknya orang Bugis ke dalam lapisan aristokrasi Melayu dan membuat upaya melepaskan diri dari pengaruh Bugis semakin sulit.
Di bidang ekonomi, Daeng Marewa memperkuat posisi Bugis dengan menguasai pelabuhan-pelabuhan utama. Sebagai Raja Muda, ia berwenang mengangkat syahbandar dan kepala daerah. Wewenang ini dimanfaatkannya untuk menempatkan orang Bugis di pusat-pusat perdagangan. Dari Johor, pengaruh Bugis meluas ke Selangor, Kedah, dan Perak.
Peran Daeng Marewa sebagai pemimpin perantau juga terlihat dalam kebijakan ekspedisi militer. Ketika Sultan Kedah meminta bantuan menghadapi konflik internal, Daeng Marewa menyetujui pengiriman ekspedisi Bugis. Meski sempat dikecewakan soal pembayaran, Daeng Marewa tetap mempertimbangkan kepentingan yang lebih besar, terutama ketika ancaman datang dari Raja Kecil, musuh utama Bugis di Semenanjung.
Kecermatan politik Daeng Marewa tampak jelas ketika terjadi bentrokan antara orang Bugis dan Sultan Sulaiman. Setelah Sultan terusir dan melarikan diri ke Kampar, Daeng Marewa justru mengecam tindakan keras itu. Menurutnya, orang Bugis belum cukup kuat untuk menjadi sultan di negeri Melayu. Jalan terbaik adalah tetap berdiri di belakang Sultan Melayu dan mengendalikan kekuasaan dari belakang layar.
Atas pertimbangan itu, Daeng Marewa sendiri menjemput Sultan Sulaiman dari Kampar dan mengembalikannya ke takhta pada tahun 1723. Keputusan ini memperlihatkan pandangan jauh Daeng Marewa: stabilitas Johor lebih penting daripada ambisi terbuka. Selama Sultan tetap ada, kekuasaan Bugis bisa bertahan tanpa memicu perlawanan besar.
Hingga akhir hayatnya, pengaruh Daeng Marewa terus menguat. Perkawinan, perdagangan, dan jabatan pemerintahan menjadi fondasi kokoh kekuasaan Bugis di Johor. Upaya Sultan Sulaiman untuk melepaskan diri dari dominasi Bugis pun tidak berhasil, karena jaringan yang dibangun Daeng Marewa sudah terlanjur mengakar.
Daeng Marewa wafat pada tahun 1728 dalam perjalanan ke Pulau Pitung dan dimakamkan di Sungai Baru, Teluk Dalam, Riau. Namun warisan politiknya tetap hidup. Struktur kekuasaan yang ia bangun memastikan orang Bugis tetap menjadi kekuatan utama di Johor selama puluhan tahun berikutnya.
Dalam sejarah perantauan Bugis, Daeng Marewa bukan sekadar tokoh penting. Ia adalah contoh bagaimana seorang perantau mampu membaca peluang, mengelola kekuatan, dan mengendalikan pusat kekuasaan tanpa harus duduk di singgasana. (*)





