LAPSUS! Skema Kepentingan Elite di Balik Wacana Pilkada Kembali ke DPRD

harianfajar
1 jam lalu
Cover Berita

MAKASSAR, FAJAR – Wacana Pilkada kembali ke DPRD mencuat. Ini akan merenggut partisipasi rakyat.

Skema pemilihan kepala daerah (pilkada) melalui DPRD dianggap hanya akan melanggengkan kepentingan elit. Sebab, masyarakat sebagai pemegang kedaulatan tidak dilibatkan dalam proses ini.

Mereka hanya bertindak sebagai penonton saat hak-hak mereka dikekang oleh kepentingan elite. Anggaran yang dijadikan alasan oleh sejumlah partai politik sebenarnya tidak tepat.

Dalam pemilihan tidak langsung pun tidak ada jaminan bahwa transaksi politik akan hilang. Bahkan, proses transaksi politik bisa saja lebih masif. Hanya saja, sasarannya mengerucut pada elit tertentu saja, dan itu biaa saja membuat cost politik para kandidat lebih bengkak.

”Kalau dari sisi anggaran, memang betul beban daerah tidak terlalu berat lagi,” buka Endang Sari, pengamat politik Universitas Hasanuddin (Unhas), Selasa, 30 Desember 2025.

“Tetapi, praktik money politics tidak bisa dijamin akan hilang. Bahkan mungkin kandidat harus mengeluarkan uang lebih besar, tetapi hanya untuk segelintir elite saja,” sambungnya.

Pilkada melalui DPRD juga lebih rentan dibanding pemilihan langsung. Sebab, juka elite punya kepentingan lain di tengah jalan, maka kepala daerah bisa saja digulingkan. Dalam konteks ini, kepala daerah tidak punya kekuatan karena tidak didukung rakyat.

”Itu bisa saja terjadi, dan rakyat juga tidak bisa berbuat banyak karena mereka tidak memilih. Inilah hal-hal yang harus dihindari dalam praktik Pilkada lewat DPRD,” jelas eks Komisioner KPU Makassar itu.

Selain itu, Endang juga menegaskan bahwa dalam Pasal 1 ayat 2 UUD 1945 sudah dijelaskan, kedaulatan ada di tangan rakyat. Menghilangkan pemilihan langsung secara otomatis bertentangan dengan undang-undang.

”Apalagi pemilihan langsung ini, kan, buah dari perjuangan panjang pasca-Orde Baru. Jadi jangan tiba-tiba diubah hanya karena selera para elite saja. Rakyat juga harus mendapatkan hak-haknya, termasuk hak memilih,” jelasnya.

Di sisi yang lain, pemilihan tidak langsung justru akan membuat perputaran ekonomi melonjak. Masyarakat tidak mendapatkan momen mendongkrak pendapatan mereka, khususnya UMKM.

”Karena kalau pemilihan langsung, banyak sektor yang tersentuh. Mulai dari pengusaha baliho, sablon, lembaga survei, bahkan pedagang kaki lima kena dampak positif. Kalau lewat DPRD, uangnya hanya berputar di dalam gedung saja,” jelasnya.

Partai Sepakat

Akan tetapi, sejumlah partai besar sudah menyatakan kesepakatan untuk melakukan pemilihan tidak langsung ini. Golkar, Gerindra, dan PAN sudah tegas menyampaikan sikapnya terkait ini.

Yang terbaru, Sekretaris DPW PKB Sulsel, Muhammad Haekal menyampaikan, pemilihan kepala daerah melalui DPRD dianggap lebih efisien. Sebab, anggaran yang digunakan tidak sebesar pemilihan secara langsung seperti sebelumnya.

Hal itu sudah menjadi bahan diskusi di internal mereka. Tingginya cost (biaya) politik menjadi salah satu pertimbangan dilaksanakannya pemilihan kepala daerah secara tidak langsung melalui DPRD.

“Itu sudah lama menjadi bahan diskusi di internal PKB. Waktu itu yang didiskusikan terkait cost politik yang sangat tinggi di Pilkada langsung. Jadi ini salah satu pertimbangan kita di PKB terkait cost politik Pilkada langsung yang tinggi dan sudah tidak rasional,” ujarnya.

Tingginya cost politik yang harus ditanggung calon kepala daerah berimbas pada realitas praktik korupsi yang terjadi selama ini. Sebab, kepala daerah bisa saja berpikir untuk kembali modal lebih dulu, atau bahkan mempersiapkan untuk periode berikutnya.

“Kalau kita mau melihat fakta terkait beberapa kepala daerah yang tertangkap ini, itu kan sebagian besar (korupsi) karena menutupi cost politik yang tinggi. Makanya salah satu jalan keluarnya Pilkada mendatang dikembalikan ke DPRD saja,” lanjutnya.

Metode ini sudah pernah diterapkan sebelumnya. Hanya saja, saat itu dianggap kurang demokratis sehingga dikembalikan ke sistem pemilihan langsung. Akan tetapi, biaya politik yang terlalu tinggi dianggap sudah tidak relevan lagi untuk diterapkan dalam pemilihan langsung.

“Sekarang ini, setelah dijalankan model pemilihan langsung, ternyata biaya pemilihan itu sangat tinggi dan tidak rasional. Hasil kajian kami di PKB, Pilkada lewat DPRD itu lebih murah dan tidak besar cost-nya dibandingkan pemilihan langsung,” terangnya.

Itu sebabnya, PKB menyatakan sikap sepakat mengembalikan Pilkada ke DPRD. Itu dianggap sebagai salah satu jalan keluar, baik pemilihan gubernur, wali kota, maupun bupati.

“Bahkan dalam kajian PKB, gubernur itu posisinya sebagai kepala daerah perwakilan pemerintah pusat di daerah, mending sekalian ditunjuk saja sama Presiden, tidak usah dipilih,” imbuhnya.

Akan tetapi, hal ini masih dalam proses kajian dan belum final. Sehingga, keputusan final akan dilihat mendatang. Meski kata dia, hal ini juga tidak bisa memastikan apakah mampu menekan money politic atau tidak.

“Menurut Ketum, salah satu yang ditawarkan itu pemilihan kepala daerah dikembalikan lewat DPRD. Memang semua tidak ada jaminan, tetapi sistem, kan, berjalan terus. Sehingga seiring berjalannya sistem, kalau tidak langsung berarti perwakilan yang pilih,” tegasnya.

Kopel: Demokrasi Mundur

KEINGINAN parpol mengembalikan Pilkada ke DPRD memantik kecaman. Upaya itu dianggap meruntuhkan demokrasi di tanah air.

Direktur Eksekutif Komite Pemantau Legislatif (Kopel) Indonesia Herman menilai, pilkada di DPRD menjadi gerbang kemunduran demokrasi. Pilkada berpotensi berubah dari kontestasi gagasan menjadi lobi tertutup antarelite.

“Di mana suara rakyat digantikan oleh kesepakatan politik di ruang rapat,” ujar Herman kepada FAJAR, malam tadi.

Pilkada di DPRD jugga berpotensi besar membuka ruang money politics yang lebih masif dan sistematis, karena mudah dikondisikan dan sulit diawasi publik. Sifatnya terkonsentrasi dan tidak menyebar, publik tidak mudah tahu dan cepat dapat laporan.

Partai-partai di DPRD juga berpotensi membentuk kartel kekuasaan. Mereka akan berbagi jatah kekuasaan, menutup akses kandidat alternatif, dan mengunci kompetisi.

“Ini berbahaya terutama di daerah yang DPRD-nya dikuasai segelintir partai,” papar Herman.

Memang, rezim terus memproduksi wacana pembenaran atas nama efisiensi. Padahal masalahnya bukan sekadar “efisiensi”, melainkan cara mereka membingkai isu agar tampak rasional.

“Padahal yang dipertaruhkan adalah kedaulatan publik dan demokrasi yang dikangkangi oleh elite,” tuturnya.

Tokoh Parpol Menolak

Wacana pengembalian mekanisme pemilihan kepala daerah (Pilkada) dari sistem langsung ke pemilihan oleh DPRD kembali mengemuka. Isu ini memicu perdebatan di kalangan partai politik, akademisi, dan masyarakat sipil.

Beberapa partai menyambut usulan tersebut dengan alasan efisiensi dan stabilitas, sementara lainnya menolaknya karena dianggap mencederai prinsip dasar demokrasi. Tokoh Partai Demokrat Sulsel menjadi salah yang secara tegas menolak wacana tersebut.

“Ini bukan hanya kemunduran, tapi ancaman nyata terhadap demokrasi yang telah diperjuangkan sejak Reformasi 1998,” tegas Andi Januar Jaury Dharwis, Kepala Badan Pemenangan Pemilu (Bappilu) Demokrat Sulsel, beberapa waktu lalu.

Pilkada langsung merupakan sarana rakyat mengekspresikan kedaulatan secara langsung, tanpa perantara kekuatan elite politik lokal. Sebaliknya, Pilkada di DPRD justru membuka ruang lebar bagi korupsi politik.

“Dan praktik jual beli suara yang selama ini masih menjadi persoalan serius di parlemen lokal,” ungkapnya.
Demokrasi bukan sekadar prosedur pemilu, melainkan fondasi etika dan partisipasi rakyat yang tidak boleh dikorbankan atas nama efisiensi atau stabilitas semu.

Kasus 2014, saat wacana serupa sempat diusulkan pemerintah, dibatalkan setelah gelombang penolakan dari masyarakat sipil dan akademisi. Januar mengakui, Pilkada langsung memang tidak sempurna, tetapi menggantinya dengan mekanisme tertutup akan menghilangkan esensi partisipasi rakyat dalam menentukan pemimpin.

“Kita harus memperbaiki sistemnya, bukan memotong hak rakyatnya,” tegas Januar.

Sebelumnya, elite PDIP juga tegas menolak wacana perubahan mekanisme pemilihan kepala daerah langsung oleh rakyat menjadi melalui DPRD. Bahkan penolakan itu disuarakan pada Bimtek Legislator daru PDIP se-Indonesia di Bali.

“Jadi sungguh aneh kalau kemudian hak rakyat untuk menentukan pemimpinnya lalu diambil dan diserahkan pada segelintir elite yang ada di DPRD,” sesal Ketua DPP PDI Perjuangan Deddy Yevri Sitorus dilansir Jawa Pos (grup FAJAR).

Baginya, pemilihan langsung merupakan amanat reformasi yang tidak boleh digantikan oleh segelintir elite politik. Karenanya, menyerahkan pilihan rakyat kepada legislator tidak sesuai dengan semangar reformasi.

“Kalau untuk pemilihan kepala daerah, bupati, wali kota, sejauh ini kami tetap pada posisi harus menjadi hak rakyat. Jadi tidak dipilih oleh DPRD,” tegas Deddy.

Dia memastikan sikap PDIP tetap konsisten dalam mempertahankan hak-hak konstitusional rakyat, khususnya dalam berdemokrasi.

“Kita juga punya kekhawatiran kalau pemilihan itu dilakukan oleh DPRD, tetapi instrumen-instrumen negara, aparatur-aparatur kekuasaan ikut cawe-cawe, itu juga akan sangat berdampak pada stabilitas politik nasional,” ujar anggota Komisi II DPR itu.

Jika pemilihan kepala daerah dikembalikan ke DPRD, hal itu hanya akan membuka ruang bagi praktik transaksional dan intervensi elite kekuasaan yang mengingatkan pada masa Orde Baru.

“Oleh karena itu, paling aman tetap pada pemilihan kepala daerah oleh rakyat,” tegasnya. (jpg/zuk)


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Kondisi Finansial Zodiak 1 Januari 2026: Aries, Taurus, Gemini, Cancer, Leo, dan Virgo
• 17 jam lalutvonenews.com
thumb
Terhindar dari Klub Korsel, Persib Sambut Ratchaburi FC, Jarak Tempuh Jadi Keuntungan
• 16 jam lalufajar.co.id
thumb
Kinerja Industri Manufaktur Sepanjang 2025 Lampaui Pertumbuhan Ekonomi Nasional
• 6 jam laluidxchannel.com
thumb
Jembatan Gantung Garuda di Lampung Resmi Beroperasi, Akses Warga Pekon Umbar
• 2 jam lalukumparan.com
thumb
Polda Bali: 225 WNA jadi pelaku kejahatan di Bali pada 2025
• 20 jam laluantaranews.com
Berhasil disimpan.