Menganalisis Inkonsistensi Sikap Amerika Serikat Dalam Paris Agreement

kumparan.com
2 jam lalu
Cover Berita

Paris Agreement disepakati pada tahun 2015 dalam Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP-21) di Paris dan menjadi tonggak penting dalam sejarah diplomasi lingkungan internasional. Hingga saat ini, perjanjian ini telah diratifikasi oleh 195 negara sehingga menjadikannya sebagai perjanjian lingkungan dengan jumlah keanggotaan terluas di dunia.

Negara-negara yang tergabung di dalamnya memiliki kewajiban untuk menyusun dan memperbarui Nationally Determined Contributions (NDC), yaitu dokumen yang memuat target, kebijakan, dan aksi nyata dalam menurunkan emisi gas rumah kaca serta menghadapi dampak perubahan iklim. NDC menjadi instrumen utama dalam upaya bersama mencapai tujuan Paris Agreement yaitu membatasi laju pemanasan global hingga 1,5°C.

Dalam proses pembentukan Paris Agreement, Amerika Serikat memegang peran dominan sebagai lead state atau pemimpin utama. Di bawah kepemimpinan Presiden Barack Obama, AS menunjukkan komitmen kuat dalam mendukung upaya global mengatasi perubahan iklim.

Namun, arah kebijakan ini berubah drastis saat Donald Trump dilantik sebagai presiden pada tahun 2016. Trump memutuskan untuk menarik AS dari Paris Agreement. Keputusan ini menimbulkan dampak signifikan karena AS merupakan penyumbang emisi gas rumah kaca terbesar kedua di dunia setelah Tiongkok. Penarikan ini memunculkan kekhawatiran terhadap efektivitas Paris Agreement dalam menahan laju pemanasan global, serta menurunkan tingkat kepercayaan internasional terhadap komitmen AS dalam menghadapi krisis iklim.

Setelah Joe Biden dilantik sebagai Presiden pada tahun 2020, ia segera mengambil langkah untuk membawa Amerika Serikat kembali bergabung dalam Paris Agreement melalui penandatanganan lembar eksekutif. Di bawah pemerintahannya, Biden menempatkan isu perubahan iklim sebagai prioritas dalam kebijakan luar negeri dan kepentingan nasional. Ia menggunakan berbagai pendekatan diplomasi, termasuk soft power dan diplomasi lingkungan untuk menunjukkan komitmen AS dalam menghadapi krisis iklim.

Menariknya, hanya beberapa bulan setelah Donald Trump kembali dilantik sebagai Presiden pada Januari 2025, ia kembali mengumumkan penarikan Amerika Serikat dari Paris Agreement. Keputusan ini menambah babak baru dalam dinamika keterlibatan AS dalam perjanjian iklim tersebut yang terus berubah seiring pergantian kepemimpinan nasional.

Pergeseran peran Amerika Serikat yang terjadi secara berulang memunculkan pertanyaan penting mengenai apa saja faktor yang memengaruhi konsistensi dan arah kebijakan luar negeri AS terhadap isu perubahan iklim.

Analisis Transformasi Posisi Amerika Serikat Melalui Perspektif Pamela Chasek

Dalam bukunya yang berjudul "Global Environmental Politics", Pamela Chasek melihat bahwa terdapat beberapa faktor yang menentukan bagaimana stance atau posisi dari sebuah negara dalam agenda lingkungan global. Faktor-faktor tersebut akan menentukan apakah sebuah negara akan mengambil posisi Lead, Swing, atau bahkan veto dalam perjanjian atau konvensi lingkungan internasional.

Faktor-faktor tersebut adalah Politik Domestik, Analisis Cost and Benefit dari perjanjian lingkungan, pertimbangan diplomasi dan politik internasional, serta pengaruh dari aktor sub-nasional. Jika kita analisis dinamika perubahan peran yang dilakukan oleh Amerika Serikat dalam agenda Paris Agreement melalui kaca mata Pamela Chasek, kita dapat melihat bahwa terdapat 3 faktor utama yang memengaruhi dinamika posisi mereka dalam Paris Agreement yakni pengaruh politik domestik Amerika Serikat, Analisis Cost and Benefit keikutsertaan Amerika, hingga pertimbangan citra dan hubungan diplomatik Amerika Serikat dengan negara lainnya.

Pada awal keterlibatan Amerika Serikat dalam perjanjian ini, Amerika mengambil peran sebagai lead state yang mana pada saat itu presiden Barack Obama percaya bahwa langkah tersebut dapat meningkatkan citra baik Amerika Serikat dan menguntungkan secara ekonomi karena akan mendorong perkembangan industri energi terbarukan Amerika Serikat. Sehingga terdapat dua faktor utama yang memengaruhi stance dari Amerika Serikat pada waktu itu yakni politik internasional dan analisis Cost and Benefit.

Sebagai negara super power yang memiliki pengaruh besar dalam peta perpolitikan lingkungan global, Barack Obama melihat bahwa keterlibatan Amerika dalam perjanjian iklim global dapat memperkuat pengaruh Amerika Serikat serta menegaskan komitmen Amerika dalam melawan perubahan iklim.

Dengan secara aktif memberikan bantuan pendanaan dan transfer teknologi terhadap negara lain melalui skema perjanjian ini, secara tidak langsung dapat memperkuat hubugan diplomasi antara Amerika dan negara-negara lainnya.

Namun setelah Donald Trump terpilih sebagai presiden, terjadi perubahan sikap yang signifikan oleh Amerika Serikat dalam Paris Agreement. Amerika yang sebelumnya sebagai lead state yang berperan besar dalam menjalankan agenda implementasi Paris Agreement, seketika menjadi negara yang justru menentang Paris Agreement. Penentangan ini membuat Amerika Serikat akhirnya secara resmi mengajukan pengunduran dirinya dalam perjanjian iklim global tersebut.

Trump menilai bahwa perjanjian tersebut selama ini tidak adil bagi ekonomi Amerika Serikat karena memberikan beban yang terlalu berat seperti mewajibkan Amerika Serikat sebagai lead state untuk memberikan pendanaan kepada negara berkembang. Selain itu, trump melihat bahwa perjanjian ini juga memberikan tekanan pada perkembangan indutri energi fosil yang berada di negaranya padahal sektor tersebut sangat krusial bagi perekonomian Amerika Serikat.

Dari alasan tersebut dapat kita lihat bagaimana analisis kerugian dan benefit yang telah dilakukan Trump turut mempengaruhi stance Amerika karena mereka menganggap walaupun perjanjian ini memberikan benefit terhadap lingkungan namun kerugian yang dihasilkan jauh lebih buruk terhadap perekonomian domestik Amerika Serikat.

Selain faktor tersebut, terdapat faktor lainnya yang juga turut memengaruhi keputusan Trump seperti apa yang sudah di rumuskan oleh Pamela Chasek yakni Faktor Politik Domestik. Dinamika politik domestik ini dipengaruhi oleh kepentingan partai republikan dan pebisnis yang telah mendukung Trump selama masa kampanye.

Trump telah mendapatkan bantuan pendanaan yang cukup besar dari para pengusaha di sektor energi sehingga sejak awal kampanye Trump menjanjikan bahwa Amerika Serikat akan keluar dari perjanjian yang dianggap merugikan secara ekonomi.

Para pemangku kepentingan menilai bahwa keterlibatan Amerika Serikat akan merugikan mereka karena Amerika harus memperketat regulasinya terkait energi fosil dan memaksimalkan transisi ke energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan. Hal ini juga akan berdampak buruk bagi investasi di sektor energi fosil karena akan membuat para investor memilih negara lainnya yang lebih mudah secara regulasi.

Selain itu, kepentingan ini juga tidak sejalan dengan ideologi politik yang trump jalankan yakni “Make America Great Again”. Trump ingin memprioritaskan kepentingan ekonomi negaranya dan memaksimal segala sumber daya alam yang dimiliki oleh Amerika Serikat untuk kesejahteraan rakyatnya.

Setelah menjabat pada Januari 2021, keputusan Presiden Joe Biden untuk kembali bergabung dengan Perjanjian Paris menandai perubahan signifikan dalam kebijakan iklim AS. Langkah ini tidak hanya bertujuan untuk memposisikan kembali AS dalam diplomasi iklim global dan membangun kembali kredibilitas internasional sebagai pemimpin iklim global tetapi juga melanjutkan komitmen yang telah dibentuk oleh Presiden Barack Obama.

Upaya Biden ini diperkuat melalui kebijakan domestik seperti Inflation Reduction Act dan Bipartisan Infrastructure Law yang mengalokasikan anggaran besar untuk pengembangan energi bersih, mitigasi iklim, dan penciptaan lapangan kerja hijau. Sebagai kandidat yang berasal dari partai demokrat, Joe Biden melihat bahwa kebijakan yang dilakukan oleh Trump adalah kebijakan yang merugikan Amerika Serikat. Oleh karena itu, Joe Biden ingin mengembalikan kepercayaan negara lainnya terhadap kepemimpinan Amerika Serikat terutama dalam isu lingkungan global.

Namun, dinamika ini kembali diuji dengan terpilihnya kembali Donald Trump pada tahun 2024, yang mana pada Januari 2025 Trump langsung menandatangani perintah eksekutif untuk kembali menarik AS dari Perjanjian Paris. Trump kembali datang dengan argumen yang sama bahwa Perjanjian Paris adalah perjanjian yang diskriminatif dan hanya merugikan perekonomian Amerika Serikat. Selain itu, kelompok kepentingan kembali menjadi aktor yang turut mempengarui kebijakan trump tersebut.

Dari penjelasan dinamika perubahan peran Amerika Serikat tersebut dapat kita lihat bahwa posisi amerika cukup dinamis dalam beberapa kepemimpinan presiden. Dapat kita lihat juga bagaimana berbagai faktor-faktor seperti politik domestik, cost and benefit analysis, serta politik internasional menjadi variable signifikan dalam menentukan sikap Amerika Serikat dalam agenda lingkungan global seperti yang telah dirumuskan oleh Pamela Chasek.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Kaleidoskop 2025: Drama Penetapan UMP 2026 Jakarta Diwarnai Gelombang Protes
• 6 jam lalukompas.com
thumb
Cara Mengatasi Overthinking dalam Hubungan, Pahami Dampaknya Terhadap Kebahagiaan
• 2 jam lalugenpi.co
thumb
Arsenal vs Aston Villa 4-1, The Gunners di Puncak Klasemen Liga Primer
• 18 jam lalumetrotvnews.com
thumb
China Akhirnya Tetapkan Daftar Perusahaan Ekspor Tungsten, Antimon dan Perak
• 21 jam laluwartaekonomi.co.id
thumb
Serambi MyPertamina Lengkapi Layanan Nataru di Bandara Sam Ratulangi
• 16 jam lalucelebesmedia.id
Berhasil disimpan.