Pemerintah berencana membatasi subsidi gratis ongkos kirim (free ongkir) untuk produk dalam negeri. Aturan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 tentang Perubahan atas Permendag Nomor 31 Tahun 2023 tentang Pedoman Penyelenggaraan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik.
Pembatasan ini menuai pro dan kontra, khususnya bagi pelaku industri logistik. Di satu sisi, aturan ini berpotensi menurunkan volume pengiriman. Di sisi lain, ini bisa menjadi momentum bagi perusahaan logistik untuk meningkatkan kualitas layanan dan mencari sumber pendapatan lain.
Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan, Isy Karim, mengatakan pembatasan subsidi ongkir merupakan salah satu upaya untuk menciptakan ekosistem perdagangan yang adil, baik bagi pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) maupun usaha besar.
"Kami ingin memastikan bahwa tidak ada distorsi pasar yang disebabkan oleh praktik diskon ongkir yang berlebihan," ujarnya kepada Tech in Asia.
Aturan ini akan membatasi pemberian subsidi ongkir untuk produk dalam negeri dengan ketentuan maksimal Rp 1 juta per transaksi per konsumen per marketplace. Selain itu, subsidi ongkir juga dibatasi maksimal sebesar Rp 100 ribu per transaksi.
Bagi industri logistik, kebijakan ini bagai pisau bermata dua.
Bobby Soetiono, Chief of Business Development dan Co-founder Parcel Plus, mengakui bahwa pembatasan subsidi ongkir berpotensi menurunkan volume pengiriman, terutama untuk e-commerce.
"Tapi di sisi lain, ini bisa mendorong perusahaan logistik untuk lebih fokus pada kualitas layanan, bukan hanya mengandalkan volume dari diskon ongkir," katanya.
Ia menambahkan, perusahaan logistik perlu berinovasi dengan menawarkan layanan bernilai tambah, seperti pengemasan yang lebih baik, layanan kilat, atau solusi logistik yang terintegrasi.
Pendapat senada diungkapkan oleh Yasa Singgih, CEO dan Founder Menit. Menurutnya, pembatasan gratis ongkir justru bisa membuka peluang bagi perusahaan logistik untuk menawarkan layanan yang lebih beragam dan kompetitif.
"Selama ini, banyak perusahaan logistik yang terlalu bergantung pada volume dari program gratis ongkir. Dengan pembatasan ini, mereka dipaksa untuk lebih kreatif dalam menarik pelanggan," ujarnya.
Namun, tidak semua pelaku industri logistik melihat kebijakan ini sebagai peluang. Sejumlah perusahaan khawatir akan terjadi penurunan signifikan dalam volume pengiriman, yang pada akhirnya akan mempengaruhi pendapatan mereka.
Seorang sumber di perusahaan logistik besar yang enggan disebutkan namanya mengungkapkan kekhawatirannya.
"Gratis ongkir selama ini menjadi pendorong utama pertumbuhan e-commerce. Jika dibatasi, bisa saja minat belanja online menurun, yang berdampak langsung pada bisnis kami," tuturnya.
Meski demikian, ia mengakui bahwa praktik subsidi ongkir yang masif selama ini seringkali tidak sehat bagi industri secara keseluruhan karena memicu persaingan harga yang ketat.
Pembatasan gratis ongkir juga dinilai dapat mendorong pertumbuhan usaha ritel tradisional. Selama ini, toko fisik kerap kalah bersaing dengan toko online yang menawarkan harga lebih murah berkat subsidi ongkir.
Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan sebelumnya mengatakan, aturan ini bertujuan untuk menciptakan level playing field antara pedagang online dan offline.
"Kami ingin menjaga keseimbangan antara pasar online dan offline. Jangan sampai keberadaan e-commerce justru mematikan usaha ritel tradisional," ujarnya.
Industri logistik kini menunggu implementasi lebih lanjut dari aturan ini. Kesuksesan adaptasi mereka akan sangat bergantung pada kemampuan dalam berinovasi dan menawarkan layanan yang tidak hanya murah, tetapi juga bernilai tambah bagi konsumen.