Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa mengkhawatirkan ancaman pembekuan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Hal ini menyusul kinerjanya yang belakangan menjadi sorotan. Mulai dari maraknya barang ilegal masuk ke Indonesia hingga penahanan barang pribadi yang dinilai tidak wajar sehingga memancing keluhan masyarakat.
“Image bea cukai kurang bagus di media, masyarakat, dan pimpinan tertinggi kita. Jadi kami harus memperbaiki dengan serius,” kata Purbaya saat ditemui di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Kamis (28/11).
Untuk menangani ini Purbaya sudah meminta waktu kepada Presiden Prabowo Subianto. Ia berjanji akan melakukan perbaikan di lembaga yang berada di bawah Kementerian Keuangan tersebut.
“Saya sudah minta waktu ke presiden, satu tahun untuk tidak diganggu dulu. Biarkan saya bereskan, untuk memperbaiki Bea Cukai,” ujarnya.
Pembekuan Bea Cukai Pernah TerjadiPembekuan Bea Cukai bukan hal baru. Aksi ini ternyata pernah terjadi di era Orde Baru. Dalam laporan media Keuangan Kemenkeu berjudul Mengurai Sejarah Lembaga Bea Cukai tertulis ketika itu banyak penyelewengan dan korupsi di Bea Cukai, saat Kementerian Keuangan dipimpin Ali Wardhana.
Menurut jurnalis Mochtar Lubis, praktik-praktik penyelundupan dan penyelewengan di Bea Cukai terjadi karena adanya kongkalikong antara aparat dan importir penyelundup.
“Dan kerja Bea Cukai hanya mengadakan ‘denda damai’ belaka yang memuaskan semua pihak yang bersangkutan. Menteri Keuangan patut memeriksa praktik-praktik ‘denda damai’ ini, yang kelihatan telah menjadi satu pola kerja yang teratur,” tulis Mochtar di harian Indonesia Raya, 22 Juli 1969, termuat dalam Tajuk-Tajuk Mochtar Lubis di Harian Indonesia Raya.
Ketika Ali Wardhana mengunjungi kantor Bea dan Cukai di Tanjung Priok pada Mei 1971, dia melihat para petugas tengah bersantai. Ia juga mendapati kabar adanya penyelundupan ratusan ribu baterai merek terkenal.
“Padahal, ia baru memberikan tunjangan khusus sebesar sembilan kali gaji. Kenaikan tersebut bukan sembarang hadiah, melainkan disertai tuntutan kenaikan pelayanan dan peniadaan penyelewengan,” tulis Saeful Anwar dan Anugerah E.Y. (ed.) dalam Organisasi Kementerian Keuangan dari Masa ke Masa.
Ali Wardhana akhirnya melakukan mutasi pejabat eselon II antar unit eselon I. Pada 1978, Direktur Cukai digantikan pejabat dari unit eselon beberapa kali.
Namun, cara ini ternyata tidak memperbaiki kinerja Bea Cukai. Penyelewengan dan penyelundupan terus terjadi.
Ali Wardhana kemudian diangkat sebagai Menteri Koordinator Bidang Ekonomi, Keuangan, Industri, dan Pengawasan Pembangunan pada 1983. Sedangkan Menteri Keuangan dijabat Radius Prawiro.
Lalu pada 29 Agustus 1983, Radius Prawiro melantik Bambang Soeharto, seorang perwira tinggi Departemen Pertahanan dan Keamanan sebagai Direktur Jenderal Bea dan Cukai menggantikan Wahono yang terpilih sebagai Gubernur Jawa Timur. Dalam pidato pelantikan, Radius Prawiro menekankan akan memerangi penyelundup hingga ke akar-akarnya.
Pungli Bikin Pengusaha Mulai MengeluhNamun, penyelewengan dan penyelundupan Bea dan Cukai belum lenyap. Keluhan juga datang dari pengusaha, termasuk pengusaha Jepang mengenai aparat Bea Cukai yang ribet, berbelit-belit, dan pada akhirnya melakukan pungutan liar alias pungli.
Setelah berdiskusi dengan para menteri dan mendapat penilaian dari Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 4 Tahun 1985 tentang Kebijaksanaan Kelancaran Arus Barang Untuk Menunjang Kegiatan Ekonomi.
Berpegang pada Instruksi Presiden, diambil keputusan untuk mempercayakan sebagian wewenang Direktorat Jenderal Bea dan Cukai kepada PT Surveyor Indonesia yang bekerjasama dengan sebuah perusahaan swasta asal Swiss bernama Societe Generale de Surveillance (SGS). Bea dan Cukai pun dibekukan.
Bea Cukai Kembali AktifEnam tahun berselang, kebijakan ini dievaluasi. Pemerintah menilai Inpres Nomor 4 Tahun 1985 telah sukses memperlancar arus barang. Namun, dinamika perdagangan ekspor-impor menuntut penyesuaian baru.
Pada 25 Juli 1991, Soeharto menandatangani Inpres Nomor 3 Tahun 1991. Poin paling krusial dari aturan ini adalah pernyataan tegas bahwa Inpres Nomor 4 Tahun 1985 dinyatakan tidak berlaku lagi.
Dalam Lampiran Inpres Nomor 3 Tahun 1991, tertulis kewenangan pemeriksaan barang impor kembali berada pada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai. Hanya saja, kewenangan ini tidak serta-merta seperti era pra-1985.
Pemerintah menerapkan sistem pengawasan berlapis menggunakan jasa surveyor. Berdasarkan pemeriksaan tersebut surveyor menerbitkan Laporan Pemeriksaan Surveyor-Ekspor (LPS-E) yang digunakan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dalam rangka pemeriksaan yang bersifat final.
Barang impor hanya diizinkan masuk ke wilayah pabean Indonesia apabila dilengkapi Laporan Pemeriksaan Surveyor Impor (LPS-I) yang diterbitkan oleh surveyor di negara asal barang (tempat ekspor dilakukan). Dalam hal ini, pemerintah melibatkan PT Surveyor Indonesia untuk bekerja sama dengan SGS.
Laporan surveyor ini ibarat dokumen sakti. Bea Cukai menggunakan LPS-I sebagai dasar pemeriksaan yang bersifat final. Artinya, petugas Bea Cukai di pelabuhan Indonesia tidak lagi memeriksa fisik barang secara acak, melainkan hanya melakukan pencocokan dokumen alias hanya memberi stempel.
Kewenangan kemudian dikembalikan kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai setelah Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (UU Kepabeanan) diberlakukan secara efektif pada 1 April 1997. UU Kepabeanan kembali memberikan wewenang pemeriksaan barang kepada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dan kontrak dengan SGS berakhir.