Dari Terbaring Tak Bisa Bergerak hingga Bisa Masuk Kuliah Lagi dalam 7 Hari

kumparan.com • 5 jam yang lalu
Cover Berita

Ada satu masa dalam hidup saya ketika tubuh saya benar-benar “memaksa berhenti”. Bukan karena saya terjatuh hari itu juga, bukan pula karena kecelakaan yang baru saja terjadi, melainkan karena sesuatu yang ternyata sudah lama tersimpan dan baru muncul ketika saya sedang sibuk-sibuknya mengikuti Pengenalan Kehidupan Kampus bagi Mahasiswa Baru (PKKMB).

Pada awalnya, semuanya tampak baik-baik saja. Saya mengikuti upacara pembukaan PKKMB tanpa kendala. Hari kedua pun berjalan normal meskipun saya harus duduk dari pukul 06.00 hingga 15.00 di kelas. Ada sedikit nyeri di punggung, tetapi saya abaikan. Sesampainya di kos, rasa sakit itu bertambah, tetapi masih saya tahan.

Hingga akhirnya, pada suatu pagi ketika hendak salat Subuh, tubuh saya seperti “dikunci”. Saya tidak bisa membungkuk sama sekali. Rasa sakitnya menusuk dari punggung hingga kaki. Dalam keadaan panik, saya menelepon orang tua. Mereka menyarankan saya izin PKKMB, tetapi saya menolak. Jika izin harus memakai surat dokter, saya harus mengulang tahun depan dan saya tidak mau.

Saya tetap memaksa berangkat. Namun, sekitar pukul 09.00, duduk pun sudah terasa tidak manusiawi. Saya meminta izin kepada pendamping kelas dan diantar ke ruang pelayanan kesehatan. Saya diberi obat, krim pereda nyeri, dan diminta berbaring. Rasa sakitnya memang mereda sedikit, tetapi ketika saya mencoba menggerakkan kaki, saya benar-benar tidak mampu. Kaki saya seperti “menolak” bergerak karena rasa sakit yang begitu tajam di bagian tulang belakang bawah.

Pihak kampus akhirnya memutuskan untuk membawa saya ke rumah sakit untuk pemeriksaan awal. Keluarga kemudian menjemput saya dan membawa pulang. Dalam perjalanan, kami singgah untuk melakukan rontgen. Hasilnya membuat saya terdiam: tulang lumbar saya bergeser.

Dalam kepanikan, saya mencari informasi melalui telepon genggam. Banyak sumber menyebutkan bahwa masa penyembuhan lumbar yang bergeser bisa memakan waktu satu hingga dua bulan. Mendengar itu, saya langsung merasa putus harapan. Seminggu lagi perkuliahan aktif dimulai. Saya hampir menyerah dan siap untuk mengajukan cuti. Saat itu, saya hanya bisa berpikir,

“Kalau memang saya harus mundur satu langkah dari teman-teman seangkatan, tidak apa-apa. Saya ikhlas. Saya hanya ingin sembuh dan tidak merepotkan orang tua lagi.”

Saya sedih melihat kedua orang tua harus membopong saya ke mana-mana. Saya tidak bisa duduk, berjalan, ataupun bergerak. Saya hanya terbaring.

Hingga akhirnya, datang seseorang: seorang terapis. Ia memperkenalkan diri sebagai terapis tulang. Awalnya saya ragu. Namun, ia mulai menerapi saya sambil mengucapkan kalimat yang entah mengapa terasa sangat menenangkan:

“Adik Mareta pasti sembuh. Percaya sama saya dan percaya sama Tuhan. Minggu depan Adik Mareta sudah bisa kuliah. Semangat, ya.”

Pada hari itu pula, ia memberi saya satu “tugas kecil” yang terdengar sederhana, tetapi justru sangat berpengaruh. Ia berkata:

“Setiap bangun tidur, ucapkan ‘saya sembuh’ tujuh kali. Jangan ragu. Ucapkan dengan yakin, seperti kamu benar-benar percaya tubuhmu bisa pulih.”

Saya sempat merasa aneh. Bagaimana mungkin hanya tiga kata itu bisa membantu penyembuhan? Namun karena saya tidak tahu harus berpegang pada apa lagi, saya mencoba mengikutinya. Setiap pagi, meskipun sambil menahan sakit, saya tetap mengucapkannya pelan-pelan:

“Saya sembuh… saya sembuh… saya sembuh…”

Anehnya, setiap kali saya mengulanginya, ada rasa hangat, tenang, dan sedikit harapan yang muncul. Seolah tubuh saya ikut merespons sugesti itu. Sejak saat itu, perubahan-perubahan kecil mulai terasa—perubahan yang akhirnya membawa saya pada pemulihan cepat yang tidak pernah saya bayangkan.

Saya jujur tidak percaya. Bagaimana mungkin sembuh secepat itu jika masa penyembuhannya disebutkan bisa satu hingga dua bulan?

Namun ia datang setiap hari. Ia menerapi sembari terus mengulang kata-kata positif itu. Saat terapi, rasa sakitnya luar biasa. Tetapi dengan suara lembut ia berkata, “Adek Mareta jangan fokus pada sakitnya. Ingat saja hal-hal yang bikin kamu bahagia. Bayangkan saat kamu tertawa bersama teman-temanmu.”

Anehnya, ketika saya benar-benar membayangkan momen-momen menyenangkan, rasa sakit itu perlahan mereda. Gerakan yang sebelumnya mustahil dilakukan mulai bisa saya lakukan. Kata-kata positif yang terus saya dengar, ditambah perubahan-perubahan kecil yang mulai terasa di hari-hari awal terapi, membuat saya kembali bersemangat. Untuk pertama kalinya setelah kejadian itu, saya benar-benar merasa ingin sembuh secepat mungkin. Saya ingin bangkit, ingin pulih, dan ingin kembali masuk kuliah seperti biasanya.

Hari pertama, saya hanya bisa menangis menahan sakit. Hari kedua, saya sudah bisa duduk sebentar. Hari ketiga, saya mampu duduk lebih lama. Hari keempat, saya mulai berjalan kecil. Hari kelima, saya berjalan lebih cepat. Hari keenam, saya bisa berlari kecil. Hari ketujuh, saya memberanikan diri berangkat kuliah. Rasa sakit masih ada sedikit, tetapi saya benar-benar bisa berjalan.

Dari semua pengalaman itu, ada satu hal yang paling saya rasakan: kata-kata positif benar-benar memiliki efek nyata. Bukan hanya menenangkan, tetapi juga memengaruhi cara tubuh dan pikiran merespons rasa sakit dan ketakutan.

Norman Vincent Peale dalam The Power of Positive Thinking menulis bahwa pikiran positif yang diulang dapat membentuk pola mental baru. Martin Seligman, tokoh Psikologi Positif, menjelaskan bahwa sugesti yang menenangkan dapat menekan stres dan mengubah persepsi terhadap rasa sakit. Bahkan penelitian Harvard (2018) menunjukkan bahwa sugesti verbal dapat menurunkan persepsi nyeri secara signifikan.

Ketika saya mengingat masa itu, semuanya terasa masuk akal. Saya sembuh bukan hanya karena terapinya, tetapi karena saya percaya saya bisa sembuh dan kepercayaan itu muncul dari satu hal sederhana: kata-kata baik.

Pengalaman ini juga dapat dipahami dalam konteks nilai-nilai kewarganegaraan. Pertama, proses pemulihan saya mencerminkan ketahanan pribadi, bagian dari karakter warga negara Pancasila. Saya berusaha tetap bertanggung jawab terhadap studi sambil mencari solusi.

Kedua, dukungan terapis menunjukkan nilai kemanusiaan dan empati, wujud dari sila kedua Pancasila. Dorongan moral yang kecil dapat berdampak besar bagi kesejahteraan seseorang.

Ketiga, pengalaman ini berkaitan dengan civic empowerment—kemampuan memberdayakan diri sekaligus orang lain. Dengan membagikan kisah ini, saya berharap bisa menularkan energi positif kepada masyarakat luas.

Keempat, pengalaman ini menegaskan pentingnya well-being sebagai bagian dari pembangunan manusia. Kondisi mental yang baik memengaruhi pemulihan fisik, dan sebaliknya, dukungan sosial dapat mempercepat semangat seseorang untuk bangkit.

Penutup

Pengalaman ini bukan hanya cerita tentang sakit dan sembuh, tetapi juga pelajaran tentang ketangguhan, kemanusiaan, dan kekuatan kata-kata. Hal kecil seperti satu kalimat positif bisa membuat seseorang yang hampir menyerah bangkit kembali.

Jika kamu memiliki seseorang yang kamu sayangi, jangan pelit berkata baik. Dan jika tak ada orang lain yang menguatkanmu, jadilah orang yang menguatkan dirimu sendiri. Karena energi positif bukan sekadar slogan motivasi—ia benar-benar bekerja di dalam tubuh dan pikiran kita.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Baca juga:

thumb
thumb
thumb
thumb
thumb
Berhasil disimpan.