Hantu Ceker Ayam Menjemput Keadilan

kumparan.com • 1 jam yang lalu
Cover Berita

Siang itu, Fitrah kembali memandangi berkas laporan kecelakaan truk PT Boga Lidah Pasrah dengan mata menyala. Jelas ada yang ditutupi, sebuah conspiracy (persekongkolan jahat). Hilangnya hasil uji lab bahan pangan di gudang barang bukti Polresta bukan kebetulan. Ini adalah potongan puzzle yang hilang dari skandal Wali Kota, yang baunya lebih menyengat daripada kaus kaki Bang Jack yang belum dicuci seminggu.

Dengan jurus ‘wartawan magang yang polos tapi songong’, Fitrah mulai melancarkan aksinya. Target pertamanya adalah Kompol Teguh, sang perwira kaku yang sepertinya hidup cuma buat negakin pasal-pasal dan minum kopi tanpa gula.

"Pak Kasat, saya menemukan kejanggalan di berkas laka lantas tahun lalu," ujar Fitrah, menunjuk tumpukan kertas dekil itu dengan ujung pulpen. "Rem blongnya bisa jadi alibi, Pak, tapi hilangnya barang bukti lab itu yang mencurigakan. Jangan-jangan jin buang anak di gudang barang bukti? Atau ada human error yang disengaja?"

Kompol Teguh melirik Fitrah dengan ekspresi datar yang menyaingi Bos Top saat menolak permintaan kenaikan gaji. "Kamu ini, bukannya ngurus curanmor, malah ngorek kuburan lama. Kamu pikir ini acara misteri reality show yang melanggar asas kepatutan?"

Namun, kilatan di matanya menunjukkan dia tertarik, mungkin karena bosan dengan kasus curanmor yang gitu-gitu aja, yang residivis-nya ya itu-itu juga. "Apa maumu, Fit? Minta naik gaji? Atau minta restorative justice (penyelesaian perkara di luar pengadilan dengan musyawarah mufakat) buat kakek Candy Crush?"

"Saya butuh akses ke gudang barang bukti dan data rekaman CCTV di hari hilangnya hasil lab itu, Pak," pinta Fitrah, memasang wajah serius ala detektif di film noir. "Ini demi transparansi informasi publik, Pak. Ada pasal-pasalnya, lho!" sahutnya lagi.

Kompol Teguh menghela napas panjang. Napas seorang perwira yang lelah menghadapi birokrasi dan wartawan magang terlalu banyak baca buku hukum. "Itu prosedur rumit, melibatkan banyak pihak, birokrasi yang lebih kaku dari mayat berdiri, dan mungkin jin yang kamu sebut tadi. Butuh surat perintah berlapis-lapis."

Fitrah mengeluarkan jurus pamungkasnya; wajah memelas ala anak kucing kehujanan yang siap mengutip pasal-pasal hukum tentang transparansi informasi publik sambil ngedipin mata genit. Kompol Teguh yang tertekan akhirnya mengangguk pasrah, sambil bergumam, "Ya ampun, mending saya ngurus 100 curanmor daripada satu Fitrah. Kerugian imateril saya lebih besar." "Baiklah, tapi jangan bikin keributan. Awas kalau kamu sampai bikin viral di TikTok! Itu bisa kena UU ITE, lho!"

Dengan bantuan Kompol Teguh (yang diam-diam penasaran tingkat dewa, dan mungkin ingin pencitraan sedikit), Fitrah mengobrak-abrik gudang arsip yang lembap dan berdebu. Mereka berdua bersin-bersin kayak paduan suara korban flu massal. Fitrah memeriksa rekaman CCTV buram dari tahun lalu, yang kualitasnya lebih jelek dari kamera ponsel zaman batu, mirip barang bukti digital yang rapuh.

Di sanalah dia menemukan jawabannya, setelah mata plus-minusnya berakomodasi maksimal.

Rekaman itu menunjukkan seorang perwira polisi, IPTU Surya, yang saat itu menjabat Kepala Unit Laka Lantas, memasukkan sebuah amplop coklat besar ke dalam mobil pribadinya di malam hilangnya barang bukti. Wajah Surya tampak tegang, mirip ekspresi orang yang kebelet tapi toilet penuh dan airnya mati.

Sebuah bukti baru tentang obstruction of justice (merintangi proses hukum) yang terekam kamera jadul!

Diketahui, Surya adalah orang kepercayaan Wali Kota. Benang merahnya tersambung, seerat tali kolor Bang Jack. Jackpot kuadrat! Fitrah merasa bukti pada kasus yang diselidiki sudah kuat.

Fitrah segera melapor ke Bos Top. Redaktur itu langsung menggebrak meja, membuat cangkir kopinya melayang sedikit (dan ajaibnya tidak tumpah, mungkin dia juga punya jurus rahasia). "Sialan! Mereka main kotor di internal Polresta juga! Plot twist yang epic! Ini locus delicti-nya meluas!"

Kabar Kilat bersiap meluncurkan berita investigasi besar. Kali ini, Fitrah tidak hanya mengandalkan pengakuan lisan, tapi bukti rekaman CCTV yang blur tapi valid, dan kesaksian Kompol Teguh yang sudah pasrah dan pasang mode ‘saya siap jadi saksi mahkota’.

Hari H penerbitan berita. Redaksi tegang, suasana mencekam kayak nunggu vonis hukuman mati. Wali Kota yang sedang dinonaktifkan panik, dan IPTU Surya menghilang dari tugasnya, mungkin sedang bersembunyi di goa.

Namun, drama mencapai puncaknya di malam sebelum berita terbit. Fitrah mendapat telepon misterius dari nomor tak dikenal.

"Hentikan beritamu, Nak," suara berat di ujung telepon terdengar mengancam, seperti sound effect film horor murahan. "Atau nasibmu akan sama dengan Bima Wicaksono. Kami tahu kamu main Candy Crush sampai malam! Kami punya barang bukti screenshot-nya!"

Fitrah, yang kini mentalnya sudah sekuat baja (dan skill Candy Crush-nya sudah level dewa), tidak gentar. Dia malah terkikik geli. "Terlambat, Pak. Kebenaran harus terungkap. Lagian, saya udah clear level 500! Ignorantis juris non excusat (ketidaktahuan akan hukum tidak memaafkan), lho, Pak Surya!"

Telepon terputus.

Esok paginya, berita dari redaksi Kabar Kilat mengguncang kota dengan headline yang sangat ‘nendang’; ‘Video Eksklusif IPTU Surya Terlibat Skandal Wali Kota: Bukti Lab Ceker Ayam Hilang Misterius dari Gudang Polresta! Pelanggaran Pasal Obstruction of Justice!’

Kota bergolak. Polisi bergerak cepat, mungkin karena takut kalah cepat sama wartawan magang. Surya ditemukan, bukan tewas bunuh diri atau melarikan diri ke luar negeri, tapi sedang meringkuk ketakutan di dalam gudang barang bukti yang sama, memeluk erat sekantong ceker ayam oplosan yang tersisa, sambil menangis dan meminta maaf kepada arwah Pak Bima.

Skandal itu semakin membesar, melibatkan jaringan korupsi yang lebih luas. Wali Kota akhirnya ditahan KPK, dan sepertinya akan menjalani pembuktian terbalik yang horror, begitupun si Surya juga tengah dilakukan penahanan atas dugaan penggelapan barang bukti.

Fitrah Nusantara, sang wartawan magang, berdiri di tengah kerumunan wartawan lain, memegang recorder jadulnya erat-erat. Dia berhasil. Keadilan untuk Pak Bima dan para korban keracunan terbayar lunas, dengan bonus penangkapan yang absurd.

Bos Top menepuk punggung Fitrah, wajahnya akhirnya menunjukkan ekspresi; bangga campur geli, mirip ekspresi bapak-bapak lihat anaknya bisa parkir mobil mundur dengan sempurna. "Kerja bagus, Fit. Kamu memang paling jago bikin berita kriminal rasa komedi putar, dengan bumbu istilah hukum yang njlimet.

Fitrah tersenyum lebar. Dia belajar bahwa di dunia jurnalistik, kadang kala, keadilan bisa ditemukan di tempat yang paling tidak terduga, bahkan di gudang barang bukti yang bau, dan terkadang, akhir cerita yang paling dramatis justru bisa diakhiri dengan tawa geli. (Bersambung - Palu Hakim, Jubah Hitam, dan Status Permanen)


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Baca juga:

thumb
thumb
thumb
thumb
thumb
Berhasil disimpan.