Di banyak kota besar Asia Tenggara, kecemasan soal krisis iklim bukan lagi isu aktivis semata. melainkan diam-diam berubah menjadi bagian dari keseharian. Fenomena yang disebut eco-anxiety ini membuat masyarakat, terutama anak muda, lebih waspada terhadap polusi, cuaca ekstrem, hingga kenaikan biaya hidup akibat bencana iklim.
Menariknya, perubahan emosi ini tidak hanya memengaruhi cara orang memandang masa depan, tetapi juga menggeser perilaku konsumsi dan memunculkan pasar baru yang kini mulai dilirik investor.
Eco-anxiety merujuk pada rasa cemas, khawatir, atau stres yang muncul akibat memburuknya kondisi lingkungan dan krisis iklim. Fenomena ini meningkat pesat dalam beberapa tahun terakhir, seiring makin seringnya masyarakat menghadapi cuaca ekstrem, polusi yang memburuk, hingga ketidakpastian masa depan akibat perubahan iklim.
Meski tidak selalu terlihat di permukaan, eco-anxiety menjadi “fenomena sunyi” yang hadir dalam obrolan sehari-hari: dari keluhan panas ekstrem hingga kekhawatiran soal banjir yang setiap tahun semakin parah.
Di kawasan Asia Tenggara, fenomena ini terasa lebih kuat. Negara-negara seperti Indonesia, Filipina, dan Vietnam berada di garis depan krisis iklim, dengan risiko bencana yang terus meningkat, seperti kebakaran hutan, gelombang panas, banjir besar, dan kualitas udara yang menurun.
Kondisi ini membuat masyarakat—khususnya generasi muda—semakin sensitif terhadap isu lingkungan. Mereka bukan hanya terdorong untuk lebih peduli, melainkan juga mulai mengubah perilaku konsumsi dan gaya hidup sebagai bentuk respons terhadap ketidakpastian iklim yang mereka rasakan setiap hari.
Lonjakan Eco-Anxiety di ASEANDi Asia Tenggara, generasi muda menjadi kelompok yang paling kuat merasakan dampak psikologis dari krisis iklim. Berbagai survei regional menunjukkan bahwa mayoritas anak muda merasa khawatir, tidak aman, dan pesimistis terhadap masa depan lingkungan. Kekhawatiran ini bukan tanpa alasan: kawasan ASEAN termasuk yang paling rentan terhadap bencana alam dan kenaikan suhu global.
Indonesia, Filipina, dan Vietnam menjadi contoh nyata. Tiga negara ini berkali-kali masuk daftar wilayah dengan risiko iklim tertinggi di dunia, mulai dari topan besar di Filipina, banjir berulang di Indonesia, hingga kenaikan permukaan air laut yang mengancam wilayah pesisir Vietnam. Dampak yang terus terlihat dari tahun ke tahun membuat kecemasan iklim semakin terinternalisasi dalam kehidupan masyarakat.
Budaya digital turut memperkuat fenomena ini. Di TikTok, IG Reels, hingga X, konten terkait panas ekstrem, kualitas udara buruk, banjir dadakan, dan tips hidup berkelanjutan viral hampir setiap minggu.
Paparan visual yang terus-menerus—mulai dari video langit menguning karena polusi hingga footage banjir besar—akhirnya membentuk kesadaran kolektif bahwa krisis iklim bukan lagi isu global yang jauh, melainkan ancaman langsung. Media sosial membuat eco-anxiety menyebar lebih cepat, sekaligus menjadi ruang diskusi tempat generasi muda memproses kecemasan dan mencari solusi.
Dampaknya terhadap Perilaku KonsumenLonjakan eco-anxiety di Asia Tenggara tidak hanya membentuk opini publik, tetapi juga mengubah cara masyarakat berbelanja dan membuat keputusan sehari-hari. Konsumen—terutama generasi muda—kini lebih selektif dan kritis dalam memilih produk. Mereka cenderung menghindari pilihan yang dianggap merusak lingkungan dan beralih ke pola konsumsi yang lebih etis dan berkelanjutan.
Minat terhadap produk ramah lingkungan meningkat signifikan, mulai dari kebutuhan rumah tangga hingga produk kecantikan. Gaya hidup “guilt-free”—yakni mengonsumsi tanpa merasa bersalah terhadap bumi—mulai menjadi tren. Ini terlihat dari pertumbuhan brand yang menonjolkan jejak karbon rendah, bahan alami, dan transparansi rantai pasok sebagai nilai jual utama.
Fenomena ini juga mendorong munculnya “green loyalty”, yaitu kecenderungan konsumen untuk lebih setia pada brand yang konsisten menerapkan praktik berkelanjutan. Bagi banyak anak muda, keberlanjutan bukan lagi sekadar bonus, melainkan standar baru dalam menilai kualitas sebuah brand.
Contoh pola konsumsi ini mudah ditemukan di berbagai kota besar ASEAN. Refill station semakin banyak bermunculan, thrifting menjadi gaya hidup populer, produk clean beauty makin diminati, dan makanan berbasis tanaman (plant-based) mulai diterima lebih luas.
Bahkan, minat terhadap perjalanan rendah emisi (low-carbon travel) juga meningkat, dengan konsumen lebih sadar memilih moda transportasi atau destinasi yang lebih ramah lingkungan. Semua ini menunjukkan bahwa eco-anxiety tidak hanya memicu kekhawatiran, tetapi juga menggerakkan perubahan nyata dalam lanskap konsumsi di kawasan.
Pasar Baru yang Tumbuh dari Eco-AnxietyKecemasan iklim yang meluas di Asia Tenggara turut membuka jalan bagi tumbuhnya berbagai sektor ekonomi baru. Eco-anxiety—yang awalnya dianggap sebagai beban psikologis—justru mendorong inovasi dan menghadirkan peluang bisnis yang sebelumnya tidak terpikirkan.
Sektor energi terbarukan tumbuh pesat, industri sustainable fashion berkembang, dan green fintech seperti carbon tracking apps semakin populer. Sektor eco-wellness juga bangkit, menghadirkan produk dan layanan yang memadukan kesehatan mental dan keberlanjutan.
Banyak startup memanfaatkan eco-anxiety sebagai insight pasar yang menghadirkan solusi digital, platform donasi pohon, edukasi iklim, hingga marketplace hijau. Ekosistem bisnis baru ini menunjukkan bagaimana kecemasan bisa berubah menjadi peluang ekonomi yang menjanjikan di ASEAN.
Investor Mulai Membaca PeluangFenomena eco-anxiety kini ikut membentuk arah investasi di ASEAN. Dalam beberapa tahun terakhir, dana ventura dan investor institusional semakin aktif membiayai climate-tech dan inovasi hijau, melihat keberlanjutan bukan lagi tren sementara, melainkan fondasi ekonomi kawasan ke depan.
Singapura, Indonesia, dan Vietnam menjadi magnet utama investasi hijau. Singapura unggul lewat ekosistem startup dan kebijakan pro-inovasi; Indonesia menawarkan pasar besar serta kebutuhan solusi lingkungan, mulai dari energi terbarukan hingga manajemen sampah; sementara Vietnam menarik minat pada teknologi efisiensi energi seiring pesatnya transformasi industrinya.
Perusahaan besar juga menyesuaikan strategi dengan mengadopsi green positioning, mulai dari laporan keberlanjutan hingga kampanye pengurangan emisi untuk menjawab tuntutan konsumen yang semakin kritis. Pergerakan investor dan industri ini menegaskan bahwa eco-anxiety bukan sekadar kecemasan publik, melainkan sinyal pasar yang mendorong ekonomi ASEAN menuju arah yang lebih hijau.
Tantangan di balik Fenomena IniDi balik peluang ekonomi yang muncul, fenomena eco-anxiety juga membawa tantangan tersendiri bagi pemerintah, pelaku usaha, dan konsumen. Salah satunya adalah risiko greenwashing, ketika perusahaan mengeklaim diri ramah lingkungan hanya demi pemasaran tanpa perubahan nyata. Praktik ini merusak kepercayaan publik dan membuat konsumen semakin skeptis terhadap produk berlabel “hijau”.
Selain itu, gaya hidup berkelanjutan masih dianggap mahal. Produk organik, barang daur ulang, hingga layanan ramah lingkungan umumnya berharga lebih tinggi, sehingga akses terhadap pilihan hijau tidak merata dan lebih banyak dinikmati kelompok tertentu di kota besar.
Infrastruktur ramah lingkungan yang belum merata juga menjadi hambatan. Banyak wilayah di ASEAN belum memiliki fasilitas daur ulang, transportasi rendah emisi, atau akses energi terbarukan yang memadai, membuat masyarakat sulit menerapkan gaya hidup hijau secara konsisten.
Di tingkat kebijakan, regulasi keberlanjutan masih lemah. Standar produksi hijau, transparansi rantai pasok, dan aturan jejak karbon belum sepenuhnya ditegakkan. Tanpa regulasi yang kuat, pasar hijau sulit berkembang secara sehat. Tantangan-tantangan ini menunjukkan bahwa meski eco-anxiety memicu perubahan positif, ekosistem pendukungnya perlu diperkuat agar transisi menuju ekonomi hijau lebih inklusif dan berkelanjutan.
Eco-Anxiety sebagai Momentum PerubahanEco-anxiety bukan sekadar rasa takut terhadap masa depan, melainkan sinyal sosial penting yang mencerminkan semakin kuatnya kesadaran masyarakat terhadap krisis iklim. Fenomena ini telah mengubah cara orang berpikir, berperilaku, dan berbelanja dari pola konsumsi hingga preferensi terhadap produk dan brand yang lebih berkelanjutan. Di balik kecemasan yang muncul, terbuka peluang ekonomi baru yang mendorong industri untuk berinovasi dan menciptakan solusi ramah lingkungan.
Bagi kawasan Asia Tenggara, eco-anxiety seharusnya dilihat sebagai momentum, bukan hambatan. Dengan dukungan regulasi yang lebih kuat, infrastruktur hijau yang merata, serta komitmen nyata dari sektor bisnis dan investor, ASEAN memiliki kesempatan besar untuk mempercepat transisi menuju ekonomi hijau.
Jika dikelola dengan baik, fenomena ini dapat menjadi titik balik bagi masa depan yang lebih berkelanjutan baik bagi masyarakat maupun bagi pertumbuhan ekonomi kawasan.





