"Selama sekitar 700 tahun, pasar modal dirancang untuk melayani segelintir orang saja." Kalimat pembuka Dr. Sarah Pearson di Orange Forum 2025 langsung menohok. Forum yang digelar di Bursa Efek Indonesia pada 17 November itu dihadiri hampir 500 peserta dari 32 negara.
Menurut Dr. Pearson, yang menjabat sebagai Ketua Perdana Orange Movement, perempuan, masyarakat adat, dan komunitas marjinal nyaris tidak pernah duduk di meja pengambilan keputusan keuangan. "Ini bukan soal berbuat baik. Ini soal berbuat cerdas. Perempuan memberikan imbal hasil investasi yang terukur," tegasnya.
Kesetaraan Gender Berkorelasi dengan PertumbuhanDr. Pearson tidak sekadar membawa argumen moral—ia membawa data ekonomi yang solid. Negara-negara dengan representasi perempuan lebih tinggi di parlemen cenderung lebih cepat meratifikasi perjanjian lingkungan. Perjanjian perdamaian yang melibatkan perempuan punya peluang 35% lebih besar untuk bertahan setidaknya 15 tahun.
Dari sisi ekonomi, meningkatkan partisipasi perempuan di pasar kerja berpotensi menambah US $12 triliun ke PDB global. "Kesetaraan gender adalah salah satu indikator paling andal untuk pertumbuhan jangka panjang," ujar Dr. Pearson. "Pertanyaannya sekarang: bagaimana mengubah pengetahuan ini menjadi instrumen yang bisa diperdagangkan?"
Jawabannya adalah Orange Bond—kelas aset lintas sektor pertama yang secara eksplisit berinvestasi pada perempuan, komunitas marjinal, dan ketahanan iklim. Dalam tiga tahun sejak diluncurkan, instrumen ini telah mengumpulkan komitmen US $1,5 miliar di Indonesia, Jepang, Singapura, Australia, dan Amerika Serikat.
Forum yang berlangsung di lantai perdagangan IDX ini merayakan pencapaian besar: penerbitan Orange Bond pertama Indonesia dan Orange Sukuk pertama di dunia oleh PT Permodalan Nasional Madani (PNM) senilai Rp16 triliun.
Upacara pembukaan dipimpin oleh Wakil Menteri Bappenas Febrian Alphyanto Ruddyard, Direktur Utama IDX Iman Rachman, Komisaris PT PNM Veronica Colondam, dan CEO IIX Durreen Shahnaz. Bunyi bel seremonial menandai momentum baru: Global South tidak lagi mengikuti aturan yang ditetapkan dari belahan bumi lain, tapi menciptakan standarnya sendiri.
Leonardo Teguh Sambodo, Wakil Menteri Kementerian PPN/Bappenas, menjelaskan strategi Indonesia dalam mengintegrasikan SDGs ke kebijakan pembangunan nasional. "Kami mengarusutamakan SDGs ke dalam rencana nasional karena pembangunan tidak bisa bergantung pada pemerintah saja," jelasnya.
Integrasi ini memungkinkan Indonesia menerbitkan berbagai instrumen tematik: green sukuk (2018), SDG bonds (2021), blue bonds (2023), dan kini Orange Bond (2025). Portofolio lengkap ini menjadikan Indonesia pemimpin regional dalam pembiayaan berkelanjutan.
Regulasi dan Insentif: Fondasi Pasar yang KredibelEkosistem pembiayaan berkelanjutan Indonesia didukung kerangka regulasi yang kuat dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bursa Efek Indonesia. Forum membahas taksonomi, standar pengungkapan, pengamanan terhadap greenwashing, dan insentif fiskal untuk mendorong adopsi lebih luas.
Sesi-sesi diskusi mengkaji berbagai dimensi implementasi. Panel "Enabling the Shift" menyoroti kolaborasi regulator pasar dengan penerbit obligasi. Panel "Business of Inclusion" menunjukkan bagaimana inklusi meningkatkan margin, stabilitas, dan ketahanan rantai pasokan—terutama di sektor yang rentan iklim, di mana perempuan mendominasi usaha pertanian dan mikro.
Charlotte Camille Chow Turk dari Global Green Growth Institute (GGGI) menekankan pentingnya integrasi gender dalam proyek infrastruktur. "Integrasi gender menentukan apakah sebuah proyek bertahan setelah dibangun," katanya. Pengelolaan komunitas dan keterlibatan yang dipimpin perempuan terbukti memperpanjang umur proyek dan meningkatkan kelayakan kredit.
Data sebagai Infrastruktur KritisDiskusi "Turning Risk into Resilience" menggarisbawahi peran data dalam menentukan siapa yang mendapat akses pembiayaan. Indonesia mempresentasikan arsitektur Satu Data sebagai fondasi infrastruktur digital.
Penilaian kredit berbasis AI telah memberi visibilitas keuangan kepada petani dan pengusaha perempuan yang sebelumnya tak terlihat dalam sistem formal. Indeks ESG yang didorong media menciptakan akuntabilitas publik. Namun, para panelis sepakat: data saja tidak cukup—harus diiringi kebijakan yang memungkinkan modal mengalir ke penerima yang tepat.
"Kalau tidak bisa mengukur, tidak bisa memperbesar dampaknya," kata salah satu panelis, menyoroti kebutuhan akan kerangka pengukuran yang lebih baik untuk menyelaraskan operasi korporasi dengan pertumbuhan yang responsif gender.
Dari Konsep ke Pasar yang BeroperasiPanel teknis membahas mekanisme underwriting, kepastian hukum, dan arsitektur regulasi. Bangladesh dan Indonesia berbagi pengalaman evolusi pasar dari instrumen pilot yang terisolasi menjadi ekosistem berkelanjutan yang sistemik.
Model pembagian risiko, blended finance, dan jaminan dari lembaga keuangan pembangunan memainkan peran kunci. Jaminan ini telah memungkinkan mobilisasi US $288 juta untuk dampak akar rumput di empat benua.
Pleno penutup menyatukan praktisi dari spektrum lengkap: PNM dengan program Rp16 triliun, IDX dan OJK dengan kerangka kebijakan, hingga lembaga keuangan pembangunan internasional. Pesan yang konsisten: Orange bukan lagi eksperimen—ini pasar yang beroperasi dengan permintaan yang terbukti dan infrastruktur yang mapan.
Salah satu panelis menggunakan analogi sepak bola: sistem keuangan ibarat bermain di lapangan miring, di mana satu tim selalu memulai dari posisi lebih rendah. "Begitulah kenyataannya ketika perempuan diminta menavigasi sistem dengan hambatan yang dianggap normal—padahal tidak," ujar panelis tersebut. Solusinya: meratakan lapangan dengan memecah sekat antara pembiayaan hijau dan oranye.
Momentum Regional: Vietnam, Bangladesh, JepangOrange Movement menunjukkan momentum regional yang kuat. Vietnam melampaui rata-rata global dalam Orange Index. Bangladesh Securities and Exchange Commission resmi mengakui Orange Bonds. ITOCHU Corporation Jepang menerbitkan Orange Bond pertama di negara tersebut.
Lebih dari 293.000 orang di enam benua telah menandatangani Orange Pledge. IIX mengumumkan ambisi mendirikan Orange Fund senilai US $1 miliar , bagian dari target mobilisasi US $10 miliar pada 2030.
Durreen Shahnaz, CEO IIX, menyimpulkan: "Ini bukan lagi cerita tentang berinvestasi di pasar berkembang. Ini cerita tentang belajar dari mereka. Pasar kami, perempuan kami, pengusaha kami tengah mendefinisikan ulang ukuran nilai—bukan sekadar imbal hasil, tapi ketahanan, kesetaraan, dan harapan."
Pertanyaan bagi pasar lain bukan lagi "apakah", tapi "kapan". Oversubscribe yang konsisten pada setiap penerbitan Orange Bond membuktikan: investor sudah siap, infrastruktur sudah ada. Yang dibutuhkan hanyalah keberanian untuk mengubah sistem yang telah mengabaikan separuh populasi dunia selama 700 tahun.
Catatan Editor:
Orange Bond adalah instrumen pembiayaan yang secara eksplisit mengalokasikan dana untuk pemberdayaan perempuan, komunitas marjinal, dan ketahanan iklim. Berbeda dengan green bonds yang fokus pada lingkungan atau social bonds yang lebih luas cakupannya, Orange Bond menjadikan kesetaraan gender sebagai kriteria investasi utama.
PT PNM menerbitkan Orange Bond dan Orange Sukuk pertama di Indonesia dengan total Rp16 triliun (sekitar US $980 juta ) pada 2025, menjadikan Indonesia pelopor instrumen ini di Asia Tenggara.

:strip_icc()/kly-media-production/medias/5329615/original/096563300_1756290487-IMG_1533.jpg)


