Pemerintah berencana mewajibkan masyarakat mengikuti asuransi wajib bencana karena Indonesia masuk dalam salah satu negara dengan tingkat risiko bencana tertinggi di dunia.
Untuk diketahui, berdasar catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), sampai 4 Desember 2025 terdapat 2.997 kejadian bencana alam sepanjang tahun. Data ini semakin menegaskan, Indonesia berada di zona risiko tinggi terhadap bencana, terutama hidrometeorologi.
Sementara itu, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) mencatat kerugian Indonesia akibat bencana mencapai Rp22,85 triliun setiap tahun.
Banjir Sumatra semakin menambah catatan tragis sejarah bencana Indonesia. Selain dari segi jumlah korban jiwa, soal kerusakan infrastruktur, 3.600 rumah rusak berat, 299 jembatan, dan 323 fasilitas publik juga rusak.
Bhima Yudhistira Direktur Eksekutif Center of Economic Law Studies (CELIOS) memproyeksikan total kerugian bencana banjir Sumatra mencapai Rp6,28 triliun. Jumlah ini akan lebih besar, kalau ditambah dengan kerugian akibat bencana yang terjadi sebelumnya.
Sebelumnya, Pemerintah Indonesia sedang menggodok peluncuran asuransi parametrik bencana yang rencananya, akan diterapkan mulai 1 Januari 2026.
Asuransi parametrik merupakan jenis asuransi yang membayar klaim berdasarkan terjadinya parameter atau indikator tertentu, bukan berdasarkan hasil verifikasi kerusakan fisik di lapangan. Parameter ini bisa berupa curah hujan, suhu, kelembaban tanah, kecepatan angin, atau indikator lainnya yang relevan dengan risiko yang diasuransikan.
Lalu, apakah Anda setuju atau tidak dengan penerapan asuransi wajib bencana?
Dalam diskusi di program Wawasan Polling Suara Surabaya, Kamis (11/12/2025), mayoritas masyarakat yang memilih lewat Instagram @suarasurabayamedia, setuju dengan adanya penerapan asuransi wajib bencana. Sebanyak 82 persen masyarakat memilih setuju, sedangkan 18 persen sisanya tidak setuju.
Sementara berdasar data dari pendengar Radio Suara Surabaya yang bergabung melalui telepon dan pesan WhatsApp, sebanyak 43 persen setuju dengan adanya penerapan asuransi wajib bencana. Sedangkan 57 persen sisanya memilih setuju.
Soal asuransi wajib bencana, Irvan Rahardjo Analis Senior Perasuransian dari Komunitas Penulis Asuransi Indonesia (KUPASI) menilai, kalau sifat asuransi ini sudah dalam tahap yang mendesak.
“Harusnya di Indonesia sudah wajib. Karena intensitas, frekuensi, dan keparahan bencana di Indonesia sudah semakin pendek siklusnya,” katanya, saat onair di Radio Suara Surabaya, Kamis (11/12/2025).
Dulu, lanjut Irvan, siklus bencana di Indonesia bisa 50 tahun sekali. Tapi sekarang siklus itu telah berubah. Hal ini didukung pula dengan posisi Indonesia yang berada di lempeng tektonik.
Sehinga menurut Irvan, mekanisme asuransi sebagai upaya menekan kerugian finansial dan ekonomi masyarakat makin mendesak.
“Terutama saat kita tahu kemampuan fiskal negara sangat terbatas. Terlebih saat ini negara sedang menjalankan program prioritas seperti MBG, kesehatan, pendidikan, sekolah rakyat, dan lainnya,” tambahnya.
Irvan juga menyebut kalau asuransi ini akan bersifat wajib untuk masyarakat, terutama yang tinggal di kawasan rawan bencana. Itu pun setelah pemerintah merumuskan beberapa hal terkait mekanismenya.
Termasuk usulan masyarakat agar pembayaran premi tidak hanya ditanggung oleh masyarakat. Tapi juga dari perusahaan yang melakukan eksploitasi wilayah ditambah dengan subsidi dari pemerintah.
“Itu menjadi ide yang bagus. Jadi memang harus ada kontribusi dari para korporasi yang selama ini melakukan penebangan hutan, pembukaan lahan, mengubah tata guna tanah. Itu yang harus berkontribusi dalam pembayaran asuransi parametrik ini. Karena mereka berkontribusi besar terhadap perubahan cuaca, perubahan iklim, dan sebagainya,” tutupnya.(ant/kir/ipg)


