Hujan deras menyambut langkah pertama Muhammad Rafie Al-Hasby di Kota Bogor. Mahasiswa asal Jayapura, Papua, itu menenteng koper besar menuju kos sederhana di dekat kampus Politeknik Pembangunan Pertanian (Polbangtan).
“Rasanya campur aduk, antara takut dan semangat. Saya belum pernah jauh dari keluarga sebelumnya,” ujarnya.
Bagi Rafie, perjalanan ke Bogor bukan sekadar pindah kota. Ia meninggalkan tanah kelahiran yang hangat, penuh dengan aroma laut dan suara riuh pasar Jayapura, menuju kota yang dikenal dingin, sibuk, dan penuh mahasiswa dari berbagai daerah.
Jejak Sebelum Kuliah: Pengalaman MondokSebelum resmi menjadi mahasiswa Polbangtan, Rafie sudah pernah merasakan kehidupan di Bogor lewat dunia pesantren. Ia sempat mondok di salah satu pesantren di kawasan Bogor, pengalaman yang menurutnya menjadi bekal berharga untuk menghadapi kehidupan sebagai perantau.
“Waktu mondok, saya belajar disiplin dan hidup sederhana. Itu membantu sekali ketika sekarang harus mandiri di kos,” kata Rafie.
Pengalaman mondok membuat Rafie lebih siap menghadapi tantangan adaptasi. Ia sudah terbiasa dengan aturan ketat, lingkungan baru, dan pergaulan lintas daerah. Bedanya, kali ini ia harus mengatur hidup sendiri tanpa sistem pesantren yang serba terstruktur.
Tantangan Awal: Kos, Transportasi, dan MakananHari-hari pertama penuh tantangan. Rafie harus mencari kos dengan harga terjangkau, menyesuaikan diri dengan aturan baru, dan belajar mengatur keuangan sendiri. “Awalnya bingung sekali. Saya sempat salah naik angkot, akhirnya muter jauh sekali. Tapi dari situ saya belajar bertanya ke orang sekitar,” katanya sambil tertawa.
Selain transportasi, makanan juga jadi ujian. “Yang paling saya rindukan dari Jayapura itu papeda. Di sini saya coba ganti dengan nasi padang atau mie ayam. Lama-lama terbiasa, tapi tetap beda rasanya,” ungkapnya. Rasa rindu kampung halaman sering muncul, terutama saat malam tiba, ketika suasana kos terasa sepi.
Bogor sebagai Kota PendidikanBogor dikenal sebagai kota pendidikan dengan banyak perguruan tinggi negeri maupun swasta. Data Pangkalan Data Pendidikan Tinggi (PDDikti) mencatat jumlah mahasiswa di Indonesia mencapai lebih dari 8,2 juta orang pada 2023. Jawa Barat menjadi salah satu provinsi tujuan utama, dengan Bogor menampung ribuan mahasiswa perantau dari berbagai daerah, termasuk Papua, Sumatera, dan Kalimantan. Fenomena ini menjadikan Bogor sebagai melting pot budaya, di mana mahasiswa belajar bukan hanya di kelas, tetapi juga dari interaksi lintas daerah.
Selain itu, tantangan biaya hidup juga menjadi bagian dari adaptasi. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Kota Bogor, biaya sewa kos di kawasan kampus rata-rata lebih tinggi dibandingkan daerah pinggiran. Hal ini membuat mahasiswa perantau harus pintar mengatur keuangan, sering kali dengan bekerja paruh waktu atau berhemat.
Dukungan Sosial dan Rasa KekeluargaanMeski jauh dari rumah, Rafie merasa tidak benar-benar sendirian. Dukungan teman-teman baru di kampus membuat proses adaptasi lebih ringan. “Kami saling bantu, terutama sesama anak perantau. Jadi meski jauh dari rumah, ada rasa kekeluargaan,” katanya.
Di Polbangtan, Rafie bertemu mahasiswa dari berbagai daerah. Dari mereka, ia belajar tentang budaya baru, bahasa daerah, hingga kebiasaan unik. “Saya jadi tahu cara orang Jawa ngobrol, cara orang Sunda bercanda. Itu pengalaman yang nggak bisa saya dapat kalau tetap di Papua,” ujarnya.
Rindu Kampung HalamanMeski mulai terbiasa, rasa rindu tetap hadir. Rafie sering menelepon keluarga di Jayapura untuk melepas kangen. “Kalau lagi capek, saya telepon mama. Suaranya bikin tenang,” katanya. Ia juga mencari cara untuk tetap terhubung dengan budaya Papua, misalnya dengan mendengarkan musik daerah atau mengikuti komunitas mahasiswa Papua di Bogor.
Kini, setelah beberapa bulan di Bogor, Rafie merasa kota ini bukan lagi asing. “Bogor sudah jadi rumah kedua. Saya belajar banyak hal, bukan hanya ilmu pertanian, tapi juga tentang hidup mandiri,” tuturnya. Kisah Rafie mencerminkan perjalanan ribuan mahasiswa perantau lain yang menjadikan Bogor sebagai tempat menanam mimpi dan membangun masa depan.





