Rumah dan kebun Ricky (34) di Kecamatan Palembayan, Agam, Sumatera Barat, luput dari terjangan banjir bandang. Namun, ia dan keluarga tak lepas dari dampak bencana pada akhir November 2025 itu.
Banyak korban banjir dan tanah longsor mengungsi ke kampung Ricky yang berjarak 6 kilometer dari Nagari Salareh Aia, salah satu desa paling parah terkena galodo.
Pascabanjir, berhari-hari ia tak bisa pergi berkebun karena harus mengurus kedua anaknya. Sang istri yang bekerja di kantor kelurahan harus lembur untuk memasukkan data warga pengungsi.
”Sudah seminggu saya tidak ke ladang,” ujar Ricky yang mengurus kebun manggis milik orangtuanya saat dihubungi Kompas, Jumat (5/12/2025).
Tak hanya Sumatera Barat, wilayah di Sumatera Utara dan Aceh juga diterjang banjir bandang. Hingga Kamis (11/12/2025), data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat 986 jiwa meninggal, 224 orang hilang, dan 5.100 orang terluka. Korban meninggal paling banyak ada di Kabupaten Agam: 183 jiwa.
Pemerintah dan para ahli menyebut beberapa faktor yang memperparah banjir, yakni alih fungsi hutan untuk perkebunan, hutan tanaman industri, pembangunan listrik tenaga air yang masif, dan penambangan (Kompas, 9/12/2025).
Di Sumatera, perkebunan sawit menjadi kontributor utama alih fungsi hutan setidaknya dalam 35 tahun terakhir. Berdasarkan citra satelit Mapbiomas Indonesia, luas kebun sawit di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat bertambah 2,6 juta hektar selama 1990-2024 atau setara 300 kali luas lapangan sepak bola per hari.
Sumatera Barat menjadi provinsi dengan pertumbuhan kebun sawit terluas: dari 42.157 hektar pada 1990 menjadi 569.183 hektar atau tumbuh 1.250 persen.
”Dulu Palembayan ini hutan belantara. Mulai ramai sawit tahun 1990-an. Sekarang makin banyak karena semakin menjanjikan. Bayangkan saja, panennya bisa dua kali dalam sebulan,” ungkap Ricky.
Ia masih setia bertanam manggis karena meneruskan kebun orangtua. Diakui Ricky, sebenarnya ia pun tertarik menanam sawit. ”Ladang orangtua sudah penuh. Mungkin nanti kalau ada rezeki, mau juga buka lahan baru (sawit). Masih rancak prospeknya,” katanya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, jenis tanaman perkebunan paling luas di Palembayan adalah kelapa sawit. Tahun 2024, luasnya 1.942 hektar dan menjadi jenis perkebunan paling luas, melampaui pinang (823 hektar).
Ibarat kata, usaha kebun sawit itu easy money alias cepat mendatangkan uang. Membuka kebun sawit dinilai lebih menggiurkan secara ekonomi yang tecermin lewat nilai tukar petani (NTP).
Pada 2025, NTP perkebunan sebesar 160,34, sedangkan NTP tanaman pangan hanya 110,68. NTP 100 artinya pendapatan sama dengan pengeluaran. Dengan begitu, berkebun sawit dipandang lebih menguntungkan dibandingkan bertanam tanaman pangan.
Namun, berbagai aktivitas ekonomi yang mengekspansi hutan mengurangi luas hutan alami dan lahan gambut. Pada tahun 1990-2024, luas hutan alami dan gambut di Sumatera Barat turun dari 2,89 juta hektar menjadi 2,4 juta hektar.
Demikian juga di Aceh, turun dari 4,02 juta hektar menjadi 3.5 juta hektar. Penyusutan terbesar terjadi di Sumatera Utara, dari 3,12 juta hektar menjadi 2,47 juta hektar atau turun 644.000 hektar.
Alih fungsi lahan tentu tidak hanya berlangsung di tingkat warga. Praktik ini mulanya didominasi perkebunan besar. Menurut Statistika Perkebunan 2023-2025, perkebunan sawit rakyat baru muncul tahun 1979 seiring program Perkebunan Inti Rakyat (skema inti-plasma).
Sebelum itu, pada 1967 areal perkebunan sawit dimiliki perkebunan besar negara (PBN) dan swasta (PBS), masing-masing 65.573 ha dan 40.235 ha, dan terus meningkat dari tahun ke tahun.
Pada 2025, luasan PBN diperkirakan 600.000 hektar dan PBS 9,1 juta hektar. Adapun lahan perkebunan rakyat dari semula 3.125 hektar pada 1979 diperkirakan menjadi 6,9 juta hektar pada 2025.
Data BPS juga menunjukkan jumlah perusahaan sawit bertambah selama 25 tahun terakhir. Pada 2000, jumlah perusahaan sawit di Aceh naik dari 62 menjadi 103. Di Sumatera Utara, dari 301 menjadi 327 perusahaan dan di Sumatera Barat dari 24 ke 53 perusahaan.
Perusahaan budidaya tanaman kehutanan, seperti tanaman jati, mahoni, akasia, eukaliptus, dan lainnya, di Pulau Sumatera pun meningkat dari 77 perusahaan tahun 2011 menjadi 121 pada 2023 atau naik 4,07 persen per tahun.
Kegiatan deforestasi yang tidak diiringi reforestasi ibarat menunggu waktu datangnya bencana (disaster). Ditambah perubahan iklim, bencana bisa datang lebih cepat, seperti terjadi 25 November lalu.
Selain menelan korban jiwa dan menyebabkan ratusan ribu orang mengungsi, kerugian materiil akibat rusaknya rumah warga dan fasilitas publik diperkirakan mencapai triliunan rupiah.
Catatan BNPB hingga Kamis (11/12/2025), sebanyak 157.900 rumah rusak. Demikian pula dengan 581 fasilitas pendidikan, 498 jembatan, 219 fasilitas kesehatan, 434 rumah ibadah, dan 290 gedung perkantoran. Tim Jurnalisme Data Kompas mengestimasi kerugian materiil sedikitnya Rp 26 triliun.
Untuk melihat skala dampak secara utuh, kerugian akibat warga yang meninggal, hilang, dan terluka fisik juga perlu diperhitungkan. Tim Kompas menggunakan value of statistical life (VSL) yang biasa digunakan ekonom untuk menilai dampak ekonomi risiko kematian.
Angka VSL yang digunakan, Rp 3.981.134.876 per setiap mortalitas yang dikurangi, pernah digunakan pemerintah untuk menghitung nilai risiko kematian akibat pencemaran udara Jakarta.
Dengan asumsi ini, nilai konsekuensi ekonomi yang hilang akibat kematian dan hilangnya warga dalam bencana Sumatera dapat mencapai Rp 4,8 triliun. Kerugian warga yang mengungsi dihitung menggunakan rata-rata pendapatan per kapita di tiap provinsi yang kemudian ditambahkan estimasi kerugian ekonomi akibat terluka. Nilai agregat ekonomi potensial yang hilang di tiga provinsi terkena bencana mencapai Rp 7,6 triliun.
Tak bisa dimungkiri, daya tarik sektor-sektor ini membuat fokus pembangunan lebih condong pada keuntungan ekonomi tanpa cukup mempertimbangkan daya dukung lingkungan dan risiko bencana.
Pada 2024, sektor pertanian, termasuk perkebunan, berkontribusi Rp 365,9 triliun terhadap perekonomian nasional. Sektor kehutanan dan penebangan kayu menyumbang Rp 14,7 triliun, sektor pertambangan dan penggalian berkontribusi Rp 43,3 triliun.
Menurut data BPS, produksi kayu bulat di Sumatera juga meningkat, dari 26,18 juta meter kubik kayu bulat pada 2012 menjadi 46,10 juta meter kubik pada tahun 2023. Tahun 2023, sebanyak 67,6 persen produksi kayu bulat Indonesia berasal dari Sumatera.
Sektor-sektor ini juga menyerap banyak tenaga kerja. Berdasarkan data Kementerian Pertanian 2025, ada 9,86 juta tenaga kerja langsung di perkebunan sawit, baik perkebunan rakyat, negara, maupun swasta. Selain itu, masih ada 3,04 juta keluarga petani yang juga bekerja di perkebunan sawit.
Jumlah ini di luar jutaan pekerja yang bekerja tidak langsung di sektor sawit, seperti di bidang transportasi dan minyak sawit mentah, pemasok pupuk, alat kantor, dan jasa pendukung lainnya.
Secara teoritik, aktivitas perkebunan dan pertambangan dapat berkontribusi positif bila dikelola berkelanjutan. Namun dalam praktik yang eksploitatif dan merusak ekosistem, biaya ekologis yang timbul membuat kerugiannya melebihi manfaat ekonominya.
“Kalau kerusakan ekologis dan degradasi lingkungan ikut dihitung, kerugiannya jauh lebih besar daripada manfaat ekonominya. Sesuai konsep eksternalitas, ketika dampak negatif lingkungan dimasukkan dalam perhitungan, nilai bersih aktivitasnya menjadi negatif,” kata Direktur Eksekutif CORE Indonesia Mohammad Faisal.
Persoalan lain adalah distribusi manfaat yang tak merata. Keuntungan dari aktivitas ekstraktif lebih banyak dinikmati perusahaan besar.
“Manfaat ekonomi dari aktivitas perkebunan sawit dan pertambangan umumnya dinikmati perusahaan besar dan segelintir orang berpengaruh. Sementara masyarakat luas menerima manfaat yang jauh lebih kecil,” jelasnya.
Untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat tanpa merusak hutan, Guru Besar Fakultas Kehutanan Universitas Sumatera Utara Arida Susilowati menekankan pentingnya agroforestri. Tanaman hutan memiliki siklus panen panjang sehingga tidak realistis dijadikan satu-satunya komoditas. Sistem ini menjaga tutupan hutan sekaligus memberi pendapatan rutin. Agroforestri juga dapat dipadukan dengan perikanan atau peternakan.
“Dengan agroforestri, pohon hutan dapat dikombinasikan dengan padi, jagung, kopi, bambu, atau komoditas lain. Di hulu rawan erosi, pohon bisa dikombinasikan dengan tanaman berakar kuat seperti kopi atau kakao,” kata Afrida.
Situasi ini kian kompleks ketika sejumlah regulasi, meski bertujuan mendorong investasi dan pertumbuhan ekonomi, pada praktiknya mempermudah pembukaan hutan. Direktur Eksekutif Nasional Jaringan Pemantau Independen Kehutanan (JPIK) Muhammad Ichwan menilai, bencana Sumatera merupakan refleksi arah kebijakan negara dalam pengelolaan sumber daya alam.
Salah satu regulasi paling merusak, menurut Ichwan, adalah Pasal 110A dan 110B UU Cipta Kerja yang memberi ruang pengampunan bagi aktivitas ilegal yang telanjur berada di kawasan hutan dengan sanksi hanya administratif.
"Deregulasi ini menggeser peran negara dari pelindung ruang hidup rakyat menjadi fasilitator investasi,” kata Ichwan.
Hal serupa dikatakan Direktur Sawit Watch Achmad Surambo. Selain dua pasal dalam UU Cipta Kerja tersebut, ia juga menyoroti rencana pemerintah membuka lahan kelapa sawit baru seluas 600.000 hektar untuk mengejar target CPO dan mendukung program mandatori biodiesel B50.
“Ini jadi tidak sinkron. Indonesia komitmen ke UNFCC menurunkan emisi energi tapi membuka lahan sawit. Dari mana lahannya kalau bukan dari hutan,” katanya.
Ia mengapresiasi perhutanan sosial karena memberi akses masyarakat ke hutan. Ini bisa menjadi titik temu pemanfaatan ekonomi oleh masyarakat dan fungsi menjaga hutan. “Yang penting masyarakat diajak bareng melindungi hutan,” kata Achmad.
Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) menyatakan sedang melakukan penegakan hukum di lokasi-lokasi yang diduga terkait kerusakan lingkungan di wilayah terdampak bencana.
Deputi Bidang Penegakan Hukum Lingkungan Hidup KLH Rizal Irawan mengatakan, pemeriksaan lapangan masih berlangsung terhadap sejumlah perusahaan di Sumatera Utara, yakni AR, T, SN, PLTA, PJ, SG, P, dan MST.
Ia mengatakan, hasil pemeriksaan belum dapat disampaikan karena masih menunggu analisis ahli. “Pembuktian dalam Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup harus berbasis scientific-based evidence,” ujar Rizal.





