Tiga Hari Merasakan Jadi ‘Anak Asuh’ di Rumah Keluarga Lokal Shinkawa, Jepang

kumparan.com
3 jam lalu
Cover Berita

Tiga hari tinggal di rumah keluarga lokal di Shinkawa membuat kumparan melihat Jepang dari jarak yang dekat. Bukan sebagai turis yang singgah sebentar, tetapi sebagai tamu yang diajak masuk ke kehidupan sehari-hari. Kami menginap sejak Jumat (5/12) hingga Minggu (7/12).

Penginapan singkat ini merupakan bagian dari agenda Jenesys Exchange Program 2025 yang bertujuan memperkenalkan kehidupan warga Jepang dari dekat.

Dalam kegiatan ini, terdapat 16 jurnalis dari Indonesia, Thailand, dan Malaysia yang dibagi berdua untuk tinggal bersama keluarga lokal. kumparan menginap bersama seorang rekan jurnalis dari Bali Post.

Kami tinggal bersama keluarga Inazawa: pasangan Eri dan Takeshi yang sudah menikah selama 25 tahun. Rumah mereka minimalis, bersih, dan hangat sejak pertama pintu dibuka.

Mereka memiliki dua anak, Sakura dan Kaede. Namun, keduanya sedang tidak di rumah.

Sakura magang dan bekerja paruh waktu di Disneyland Tokyo, sementara Kaede masih sekolah sehingga suasana rumah terasa sunyi namun tetap hangat.

Meski baru bertemu, Eri dan Takeshi menyambut kami seperti anak sendiri. Cara mereka berkomunikasi dan berinteraksi memperlihatkan hubungan yang bukan hanya panjang, tetapi juga sangat erat.

Interaksi kecil mereka membuat kami merasa ikut masuk ke dalam kehangatan keluarga tersebut.

Begitu tiba di rumah, Eri langsung menyiapkan takoyaki buatan sendiri. Rasanya ternyata berbeda dari versi Indonesia. Mereka menambahkan sedikit jahe merah ke dalam adonan, dan isiannya murni gurita—tanpa keju atau sosis seperti yang umum di Indonesia.

Sambil menikmati takoyaki, mereka bercerita tentang keluarga, pekerjaan, hingga rutinitas sehari-hari. Eri antusias bertanya tentang Indonesia dan mengaku ingin berkunjung suatu saat.

Sampai-sampai Eri penasaran apa saja jajanan tradisional Indonesia. Kami pun mengenalkan berbagai jajanan tradisional Indonesia seperti klepon, kue lapis, hingga dadar gulung lewat foto-foto di Google.

Eri tidak asing dengan Indonesia karena Sakura pernah mengikuti program pertukaran pelajar selama 10 hari di Bali. Meskipun keduanya belum pernah berkunjung ke Indonesia.

Pada hari Sabtu (6/12), sejak pagi kami diajak berjalan-jalan seharian penuh. Tujuan pertama adalah Hokkaido Jingu, kuil penting di Sapporo.

Di sana, kami diperlihatkan tradisi berkunjung ke kuil mulai dari cara membungkuk, mencuci tangan, hingga membeli jimat keberuntungan. Meski tempat itu ramai turis, berjalan-jalan bersama keluarga lokal memberi pengalaman yang jauh lebih intim dan membuat kami lebih memahami konteks budayanya.

Setelah itu, kami menghabiskan waktu di pusat perbelanjaan. Kegiatan yang sederhana, tetapi justru membuat percakapan terasa akrab. Kami membahas makanan, perayaan lokal, hingga kebiasaan masyarakat Jepang.

Destinasi terakhir hari itu adalah Chocolate Factory yang sedang populer di Hokkaido. Tempat itu penuh ornamen Natal dan dekorasi musiman yang tertata rapi. Udara dingin Hokkaido yang kontras dengan dekorasi hangat membuat tempat tersebut terasa seperti lokasi film liburan.

Kami berfoto, tertawa, dan menikmati suasana layaknya keluarga yang sedang jalan-jalan di akhir pekan. Eri dan Takeshi bahkan sabar menunggu kami mencari spot foto terbaik.

Malamnya, kami berkumpul di ruang keluarga sambil menikmati Nabe, hidangan rebusan khas Jepang. Mereka mengajarkan cara makan Nabe langsung dari satu pot, tradisi yang menekankan kebersamaan.

Usai makan, Eri dan Takeshi membuka album foto masa kecil anak-anak mereka. Mereka menyusun kenangan itu dengan sangat rapi dan runut.

Mereka kemudian bercerita tentang masa pendekatan mereka dulu yang dilakukan tanpa smartphone. “Lewat telepon rumah,” ujar Takeshi sambil tersenyum.

Keduanya ternyata teman sekelas sejak sekolah. Garis ‘jodoh’ mereka berlanjut hingga kini, bahkan dalam profesi: mereka sama-sama guru.

Eri adalah guru SD, sedangkan Takeshi guru SMP. Mereka juga sama-sama menyukai olahraga; Eri sejak kecil bermain kendo, sedangkan Takeshi bermain baseball.

Cerita-cerita sederhana itulah yang membuat malam terasa hangat. Kami pun memberikan beberapa oleh-oleh dari Indonesia seperti piring anyaman, scarf Bali, dan lilin aromaterapi.

Selama menginap, kami merasakan tenangnya ritme hidup di rumah Jepang. Sarapan yang teratur, ruang tamu yang selalu rapi, hingga kebiasaan sederhana seperti menata jaket dan sepatu begitu dilepas. Rumah mereka tidak besar, tetapi terasa lapang karena penataannya yang efisien.

Pada hari terakhir, kami bersama-sama menuju acara perpisahan yang diadakan JICE. Sebelum berangkat, kami sarapan roti bersama. Eri sempat berkata bahwa momen makan bersama menjadi hal yang paling ia sukai selama tiga hari itu.

“Senang sekali melihat kalian makan dengan lahap,” ujarnya. Takeshi mengangguk setuju.

Saat momen perpisahan tiba, suasana mendadak haru. Meski baru saling mengenal beberapa hari, kedekatan yang tumbuh perlahan membuat kami berat berpisah. Eri memeluk kami satu per satu, lebih lama dari yang kami bayangkan. Air mata pun jatuh juga.

“Sampai jumpa lagi,” kata Eri sambil melambaikan tangan.

Kami pun mengucapkan terima kasih dan berharap suatu hari Eri dan Takeshi bisa berkunjung ke Indonesia.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
200 Kg Limbah Radioaktif Cesium-137 yang Dicuri Sekuriti Pabrik Berhasil Diamankan
• 23 jam lalumetrotvnews.com
thumb
Kredit Perbankan Tumbuh 7,36 Persen Jadi Rp8.220,21 Triliun pada Oktober 2025
• 7 jam laluidxchannel.com
thumb
Menteri ATR/BPN Sinkronkan Data Lahan, Jaga Pangan dan Dorong Investasi
• 16 jam lalutvrinews.com
thumb
Xanana Gusmao Cerita Proses Timor Leste Rekonsiliasi dengan RI
• 20 jam lalukumparan.com
thumb
Pemberlakuan KUHP 2026: Urgensi RUU Masyarakat Hukum Adat
• 9 jam lalukompas.com
Berhasil disimpan.