JAKARTA, KOMPAS - Terbitnya Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2025, yang membolehkan polisi menduduki jabatan di 17 kementerian/lembaga, dinilai bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi dan menimbulkan pertanyaan atas komitmen penegakan hukum.
Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Benny K Harman, menilai terbitnya aturan baru Polri memperlihatkan ketidakpatuhan institusi Polri terhadap prinsip negara hukum. Institusi Polri yang seharusnya mematuhi hukum, dalam hal ini putusan Mahkamah Konstitusi (MK), malah mengangkanginya.
“Negeri makin aneh tetapi kita bisa apa?” ujar Benny saat dihubungi di Jakarta, Jumat (12/12/2025).
Salah satu ratio decidendi atau argumentasi hukum MK membatalkan norma itu karena tidak adanya kepastian hukum dan kejelasan rumusan yang dimaksud.
Pada 9 Desember 2025, Kepala Polri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo menandatangani Peraturan Polri No 10/2025 yang membolehkan anggota kepolisian aktif menduduki jabatan di 17 instansi, baik dalam jabatan manajerial maupun nonmanajerial.
Instansi dimaksud adalah Kementerian Koordinator Bidang Politik dan Keamanan; Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral; Kementerian Hukum; Kementerian Imigrasi dan Pemasyarakatan; Kementerian Kehutanan; Kementerian Kelautan dan Perikanan; Kementerian Perhubungan; Kementerian Pelindungan Pekerja Migran Indonesia; serta Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional.
Berikutnya adalah Lembaga Ketahanan Nasional, Otoritas Jasa Keuangan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan, Badan Narkotika Nasional, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme, Badan Intelijen Negara, Badan Siber dan Sandi Negara, serta Komisi Pemberantasan Korupsi.
Padahal, melalui putusan nomor 114/PUU-XXIII/2025 yang dibacakan pada 13 November 2025, MK sudah menegaskan larangannya bagi anggota kepolisian aktif menduduki jabatan di luar institusi kepolisian. Anggota Polri hanya dapat menduduki jabatan di luar kepolisian setelah mengundurkan diri atau pensiun dari dinas kepolisian.
Benny menjelaskan bahwa aturan yang dikeluarkan Polri seharusnya sejalan dengan putusan MK, bukan justru menimbulkan tafsir yang berpotensi bertentangan dengan prinsip dasar hukum. Benny menegaskan, situasi tersebut semakin memprihatinkan karena terjadi di hadapan pihak yang seharusnya mendorong pembenahan institusional.
Sebelumnya, pada awal November 2025, Presiden Prabowo Subianto melantik anggota Komite Percepatan Reformasi Polri yang diketuai mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Asshiddiqie. Harapannya, dengan kehadiran komite ini, ada perbaikan-perbaikan di institusi Polri.
Kapolri Listyo pun menjadi salah satu anggota tim tersebut. "Dan pelanggaran hukum itu dilakukan Polri di depan Tim Reformasi Polri,” kata Benny.
Berbeda dengan Benny, Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Nasdem, Rudianto Lallo, justru berpandangan, Peraturan Polri No 10/2025 selaras dengan mandat putusan MK. Ia menyebut aturan baru itu merupakan bentuk penyesuaian setelah MK membatalkan Pasal 28 Ayat (3) UU Kepolisian terkait penempatan anggota Polri di luar institusi.
Menurut Rudianto Peraturan Polri 10/2025 tersebut penting untuk memberikan kejelasan mengenai lembaga mana saja yang dapat diisi anggota Polri. “Salah satu ratio decidendi atau argumentasi hukum MK membatalkan norma itu karena tidak adanya kepastian hukum dan kejelasan rumusan yang dimaksud,” ujarnya.
Menurut dia, sebelum Peraturan Polri No 10/2025 diterbitkan, batasan lembaga yang dapat ditempati anggota Polri tidak jelas dan menimbulkan confusing of norm. Kini, lewat aturan baru tersebut, ruang lingkup penempatan menjadi lebih terang dan sesuai dengan tugas serta fungsi kepolisian sebagaimana amanat konstitusi.
“Dengan aturan baru ini menjadi jelas batasan kementerian atau lembaga mana yang relevan dengan tugas dan fungsi kepolisian, sekaligus melahirkan kepastian hukum bagi peran anggota Polri di luar institusi,” kata Rudianto.
Sebelumnya, sejumlah pakar hukum tata negara menyayangkan langkah Kapolri yang menerbitkan Peraturan Polri No 10/2025 untuk menindaklanjuti putusan MK. Pasalnya, putusan MK sudah tegas menyebutkan polisi harus mengundurkan diri jika menduduki jabatan di luar institusi kepolisian yang tak ada sangkut pautnya dengan tugas Polri.
”Bukan cuma bentuk constitutional disobedience, tapi cara berpikir Kapolri salah. Kementerian ESDM, Agraria, atau Kehutanan, misalnya, yang disebut dalam ketentuan pasal Peraturan Polri No 10/2025 itu, kan, enggak relate sama sekali dengan fungsi kepolisian. Kacau,” kata pengajar Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Mulawarman, Herdiansyah Hamzah, saat dihubungi, Jumat.
Senada, pengajar Hukum Tata Negara FH Universitas Andalas, Feri Amsari, juga menilai bahwa penerbitan Peraturan Polri No 10/2025 tidak elok dilakukan oleh Kapolri. Sebab, selain bertentangan dengan putusan MK, sikap kepolisian ini menjadi tidak sehat karena seperti bertentangan dengan semangat dan gagasan yang diinginkan Presiden untuk melakukan reformasi kepolisian.
Meski dikritik sejumlah kalangan karena dianggap melanggar putusan Mahkamah Konstitusi, Mabes Polri beranggapan terbitnya aturan dan penempatan polisi di instansi-instansi itu, sudah selaras dengan sejumlah peraturan perundang-undangan.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal (Pol) Trunoyudo Wisnu Andiko mengatakan, penempatan anggota Polri ke kementerian/lembaga seperti tertuang dalam Peraturan Polri No 10/2025 didasarkan pada sejumlah regulasi.
Di antaranya, Undang-Undang (UU) Nomor 2 Tahun 2002 tentang Polri. Regulasi lain yang menjadi dasar adalah UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN). Trunoyudo juga menyebut tentang Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 11 Tahun 2017 tentang Manajemen Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai dasar.
Secara internal, kata Trunoyudo, Polri mengatur mekanisme penempatan anggota Polri ke kementerian/lembaga melalui Peraturan Polri Nomor 10 Tahun 2025. Ia menegaskan, proses pengalihan jabatan anggota Polri di kementerian/lembaga tersebut berdasarkan permintaan Pejabat Pembuat Komitmen atau PPK.



