Momen pergantian tahun selalu membawa kita pada musim perayaan yang kaya warna. Denting lonceng Natal, semarak kembang api Tahun Baru, dan kehangatan kebersamaan mengisi ruang publik. Di Indonesia, momen Natal dan Tahun Baru bukan hanya perayaan, melainkan ujian tahunan terhadap komitmen kita pada kebinekaan.
Di tengah riuh rendahnya perdebatan tentang batas-batas toleransi, kita menemukan ketenangan dan kearifan pada sosok yang pemikirannya tak lekang dimakan zaman: KH. Abdurrahman Wahid, atau yang akrab kita sapa Gus Dur.
Gus Dur tidak hanya mengajarkan toleransi, ia menghidupkannya. Baginya, toleransi bukanlah sekadar sikap pasif membiarkan orang lain beribadah, melainkan sebuah aksi aktif berupa penghargaan, pengakuan, dan pembelaan terhadap hak-hak kelompok minoritas. Frasa populernya, "Tuhan tidak perlu dibela, Dia sudah Maha Segalanya. Bela lah mereka yang diperlakukan tidak adil." Frasa ini menjadi kunci utama pemikirannya.
Gus Dur mengajarkan bahwa tugas manusia adalah memanusiakan manusia lain, bukan menjadi "satpam" sebagai penjaga keyakinan Tuhan. Ketika manusia sibuk membela Tuhan, mereka sering lupa bahwa yang perlu dibela adalah sesama manusia yang hak-haknya terancam.
Bagi Gus Dur, solidaritas lintas iman adalah keniscayaan. Ia tidak ragu hadir di Gereja dan merayakan keberagaman sebagai kekayaan, bukan ancaman. Aksi ini mengirimkan pesan kuat: Kerukunan beragama bukan hanya tanggung jawab umat beragama yang bersangkutan, melainkan tanggung jawab seluruh anak bangsa.
Kita dapat berefleksi menjelang Nataru: Sejauh mana kita memahami bahwa menjaga keamanan dan kenyamanan saudara sebangsa—yang merayakan Natal—adalah bagian dari ibadah kita sendiri?
Pemikiran Gus Dur menolak keras konsep toleransi yang bersifat transaksional. Toleransi sering kali dipersempit sebagai "saya menghormati ibadahmu jika kamu menghormati ibadahku."
Gus Dur mengajarkan sesuatu yang lebih tinggi: Toleransi adalah kewajiban etis, terlepas dari apakah pihak lain membalasnya atau tidak. Kita menghormati hak beribadah orang lain karena kita menghormati kemanusiaan, bukan karena berharap imbalan.
Maka, perdebatan tentang ucapan Natal—yang sering kali menghabiskan energi kita setiap tahun—seharusnya bergeser. Fokusnya bukan pada boleh tidaknya mengucapkan, melainkan pada etika dasar kemanusiaan untuk berbagi kebahagiaan dengan tetangga yang merayakan.
Gus Dur menawarkan pandangan yang jauh lebih dewasa. Ia memahami bahwa keimanan yang kokoh tidak akan goyah hanya karena sebuah ucapan selamat. Sebaliknya, keimanan yang matang justru mendorong pelakunya untuk berbagi kebahagiaan dan merangkul perbedaan.
Refleksi kebinekaan dalam konteks Gus Dur ini ialah menerima keberagaman sebagai takdir atau sunnatullah. Indonesia—yang beragam suku, agama, dan budaya—adalah desain ilahi yang harus dirawat, bukan ditolak atau diseragamkan.
Ketika kita melihat keberagaman di sekitar kita—mulai dari tetangga yang menghias pohon Natal, hingga hiruk pikuk pusat perbelanjaan yang dipenuhi dekorasi akhir tahun—kita seharusnya melihatnya sebagai cerminan kesuksesan bangsa ini dalam menjaga rumah besar bernama Indonesia.
Pandangan pemikiran Gus Dur ini harus menjadikan refleksi bagi diri kita untuk berani menjadi minoritas di tengah mayoritas, berani membela kelompok yang lemah dan terpinggirkan, meskipun kita berada di kelompok mayoritas. Mengutamakan etika kemanusiaan, meletakkan nilai-nilai kemanusiaan di atas klaim kebenaran sepihak.
Kita seharusnya melihat perbedaan bukan sebagai kesesatan dan terus dijadikan perdebatan di antara kelompok, melainkan sebagai keunikan yang memperkaya peradaban. Menjelang Nataru, marilah kita jadikan pemikiran Gus Dur sebagai kompas moral.
Kebersamaan di tengah perbedaan adalah hadiah terindah bagi bangsa ini. Tugas kita adalah memastikan mata air toleransi yang telah Gus Dur wariskan terus mengalir jernih, membasahi setiap sudut Tanah Air.





