Waswas Pengusaha Menanti Aturan Baru Purbaya soal Kawasan Berikat

bisnis.com
18 jam lalu
Cover Berita

Bisnis.com, JAKARTA - Aturan baru terkait penjualan domestik kawasan berikat yang tengah digodok Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa menimbulkan keresahan, baik bagi industri berorientasi pasar ekspor maupun domestik.

Di satu sisi, rencana pemangkasan kuota penjualan domestik kawasan berikat menjadi 25% saat pasar ekspor melemah dinilai berpotensi menekan pengusaha kawasan berikat. Namun, di sisi lain, klausul soal pemberian kuota 100% penjualan ke domestik dengan syarat izin dari Kementerian Perindustrian dinilai dapat mengancam industri domestik non-kawasan berikat.

Secara regulasi, selama ini Peraturan Menteri Keuangan (PMK) No. 131/2018 tentang Kawasan Berikat membuka ruang penjualan ke dalam negeri sampai 50% dari akumulasi ekspor dan penjualan ke kawasan berikat atau kawasan ekonomi khusus lain di tahun sebelumnya. Relaksasi ini imbas melemahnya kondisi pasar ekspor memicu ketidakstabilan pertumbuhan bagi perusahaan di kawasan berikat sehingga memicu permasalahan pemutusan hubungan kerja (PHK).

Namun, setelah berjalan 7 tahun, kondisi tersebut justru memicu permasalahan lain, yakni rembesan produk impor di pasar dalam negeri serta tergerusnya daya saing industri domestik non-kawasan berikat.

googletag.cmd.push(function() { googletag.display("div-gpt-ad-parallax"); });

Asosiasi Pengusaha Kawasan Berikat (APKB) menilai kebijakan pembatasan kuota penjualan domestik bagi perusahaan kawasan berikat yang terlalu ketat dapat berimbas pada pengurangan kapasitas produksi yang ujungnya berisiko menimbulkan PHK. Untuk itu, pengusaha kawasan berikat meminta kepastian terkait kuota penjualan domestik yang sesuai dengan kebutuhan riil perusahaan.

“Yang kami perlukan kepastian berapa kuota ini bisa didapatkan. Menurut pemaparan maksimal bisa sampai 100% dari realisasi ekspor, hanya saja kami masih menghadapi permasalahan dengan pasar ekspor kami yang masih belum kembali normal,” tutur Ketua Umum APKB Iwa Koswara kepada Bisnis, dikutip Minggu (14/12/2025).

Baca Juga

  • Pengusaha Minta Kelonggaran, Purbaya Kukuh Pangkas Kuota Domestik Kawasan Berikat
  • Menkeu Purbaya Rombak Fasilitas Pabrik dalam Kawasan Berikat, Kuota Lokal Diturunkan
  • Purbaya Ingin Pangkas Kuota Domestik Kawasan Berikat, Pengusaha Mebel Waswas

Kondisi pasar ekspor yang belum pulih sepenuhnya tersebut, lanjut Iwa, membuat kebijakan kuota menjadi sangat krusial bagi keberlangsungan usaha di dalam negeri.

“Ini membuat ketidakpastian dan sangat merugikan bagi kami apabila pemberian rekomendasi tidak sesuai dengan kebutuhan,” tambahnya.

APKB pun mengusulkan agar pemerintah tidak terburu-buru menurunkan kuota penjualan domestik, setidaknya sampai kondisi pasar global benar-benar stabil.

“Saran kami perhitungan kuota tetap di 50% dengan dibuka rekomendasi sesuai kebutuhan pemohon ini diperlukan paling tidak 2–3 tahun ke depan sampai kondisi pasar ekspor benar-benar stabil,” jelas Iwa.

Selain itu, APKB juga menyoroti perlakuan terhadap penjualan produk ke pasar lokal yang menggunakan bahan baku dalam negeri. Iwa mengusulkan agar penjualan hasil produksi ke dalam negeri dengan dokumen BC 41, yang berasal dari bahan baku lokal nonfasilitas, dikecualikan dari perhitungan kuota.

Menurut dia, kebijakan tersebut tidak hanya meringankan beban industri kawasan berikat, tetapi juga mendorong pemanfaatan bahan baku lokal.

“Pemanfaatan bahan baku asal lokal juga bisa membantu industri dalam negeri untuk terus bisa bertahan dan berkembang,” tuturnya.

Pemangkasan Bertahap

Wakil Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia bidang Perindustrian Saleh Husin mengatakan, pihaknya memahami tujuan pemerintah terkait kebijakan pemangkasan kuota ini untuk menjaga level playing field antara industri di kawasan berikat (KB) dan industri non-KB. 

“Namun, Kadin menilai bahwa pemangkasan kuota menjadi 25% perlu dilaksanakan secara bertahap dan mempertimbangkan kondisi setiap sektor industri,” kata Saleh kepada Bisnis, Selasa (25/11/2025). 

Sebab, Saleh menyebut, tak semua perusahaan di kawasan berikat tersebut mendapatkan permintaan ekspor yang stabil atau cukup besar untuk menyerap seluruh produksi di pabrikannya.

Dia mencontohkan beberapa sektor seperti tekstil, alas kaki, elektronik, dan furnitur masih menggunakan pasar domestik sebagai penyangga ketika permintaan ekspor melemah. 

“Dalam situasi normal pun, kapasitas ekspor industri-industri ini tidak selalu dapat mencapai 100% output, terutama ketika terjadi perlambatan ekonomi global,” tuturnya. 

Oleh karena itu, menurut dia, kemampuan untuk mengekspor seluruh produksi sangat bergantung pada dinamika pasar dunia dan tidak semua pelaku industri siap untuk sepenuhnya mengandalkan ekspor.

Dia pun mewanti-wanti sejumlah hal yang mesti diantisipasi sebelum kebijakan pembatasan penjualan hasil produksi kawasan berikat ke pasar domestik ini diberlakukan. 

Kadin juga menyoroti risiko turunnya utilisasi pabrik di kawasan berikat jika permintaan ekspor melemah sementara ruang untuk menjual domestik terlalu sempit. 

Kondisi ini akan membuat penurunan utilisasi dan memicu peningkatan biaya produksi, menurunkan daya saing, serta dapat berdampak pada efisiensi perusahaan maupun keberlanjutan tenaga kerja, terutama di sektor padat karya. 

Di sisi lain, pembatasan yang terlalu ketat juga berpotensi menunda ekspansi ataupun mengurangi daya tarik Indonesia sebagai tujuan investasi yang membutuhkan fleksibilitas produksi. 

Kadin juga menekankan perlunya memastikan bahwa perubahan kebijakan tidak menimbulkan beban administrasi tambahan yang tiba-tiba bagi pelaku industri, serta tidak mengganggu rantai pasok hulu-hilir yang sudah terbangun. 

“Oleh karena itu, relaksasi penjualan domestik dinilai masih diperlukan, setidaknya dalam masa transisi yang memadai. Pendekatan sektoral atau skema fleksibel yang menyesuaikan kondisi pasar global dapat menjadi solusi agar kebijakan tetap berjalan tanpa menekan industri,” jelasnya. 

Dengan demikian, pembenahan regulasi dapat dilakukan secara proporsional, menjaga iklim investasi, serta tetap memberikan ruang adaptasi bagi dunia usaha.

Penolakan Pengusaha 

Sementara itu, Ikatan Pengusaha Konveksi Berkarya (IPKB) menolak rancangan kebijakan yang akan mengatur ulang kuota kawasan berikat, utamanya terkait pemberian izin 100% penjualan ke domestik dengan syarat izin dari Kementerian Perindustrian. 

Ketua Umum IPKB Nandi Herdiaman mengatakan, penjualan produk kawasan berikat, gudang berikat, maupun pusat logistik berikat ke pasar akan menambah tekanan bagi produsen dalam negeri yang berorientasi pasar domestik. 

"Terlebih jika produk yang dijualnya adalah produk akhir yang langsung dijual ke retail," kata Nandi dalam keterangan tertulis, Senin (8/12/2025). 

Menurut Nandi, aturan yang akan dikeluarkan dalam bentuk Peraturan Menteri Keuangan itu memang menyebut akan memangkas 25% penjualan kawasan berikat ke domestik. Namun, pengusaha kawasan berikat tetap dapat menjual 100% ke domestik jika diizinkan Kemenperin. 

Senada, Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI)  mengkhawatirkan munculnya permainan mafia kuota impor dengan pemberlakuan aturan baru kawasan berikat yang tidak transparan. 

"Iya, memang terlihat ada dorongan ekspor dengan mengurangi porsi dari 50% ke 25%, tapi di balik itu dikasih opsi sampai 100% asal dapat rekomendasi dari Kemenperin," kata Sekjen APSyFI Farhan Aqil kepada Bisnis.

Pelaku usaha mengaku khawatir dengan aturan memberikan 100% kuota penjualan domestik atas rekomendasi dari Kemenperin. Menurut APSyFI, aturan tersebut justru akan menjadi polemik baru. 

Sebab, perizinan penjualan kawasan berikat ke pasar domestik sebesar 100% dengan menggunakan rekomendasi dari Kemenperin dapat memunculkan mafia kuota impor. 

"Yang kami soroti justru rekomendasi Kemenperin ini yang menjadi sumber masalah utama karena ketidakbersediaan Kemenperin untuk transparansi maka kuota impornya terus berlebih," jelas Farhan. 

Dengan adanya tambahan wewenang Kemenperin untuk memberikan rekomendasi kuota domestik untuk pengusaha kawasan berikat, maka barang yang masuk ke pasar domestik menjadi tidak terkontrol dan akan mengakibatkan produsen lokal terus tertekan.

"Nah, dengan sistem yang tidak transparan ini jadi mainan mafia kuota," ujarnya. 


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Ada 65.053 Sambaran Petir di Bali Saat Muncul Bibit Siklon Tropis 93S
• 7 jam lalurepublika.co.id
thumb
Kapolri Sebut Aturan Polisi Bisa Jabat di 17 Kementerian Bakal Masuk Revisi UU Polri
• 1 jam laluviva.co.id
thumb
Prabowo Kirim Dana Bantuan Bencana Rp20 M ke Gubernur, Mendagri: Rp60 Miliar untuk 3 Provinsi
• 4 jam lalukompas.tv
thumb
Di Balik Gunungan Sampah Bantargebang, Pahlawan Lingkungan Bekerja dalam Sunyi
• 10 jam lalukompas.com
thumb
Kebakaran Landa Pasar Induk Kramat Jati Pagi Ini, Damkar Kerahkan 16 Unit
• 17 jam laluviva.co.id
Berhasil disimpan.