Oppo Indonesia buka-bukaan usai mengalami pergeseran strategi bisnis yang signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Dari yang sebelumnya fokus pada ruko-ruko, kini perusahaan teknologi asal China itu semakin agresif merambah mal-mal premium di kota besar Indonesia.
CEO Oppo Indonesia, Jim Zhang, blak-blakan mengenai alasan di balik langkah berani ini. Menurutnya, industri smartphone terus berubah, dan perilaku konsumen pun ikut bergeser.
"Sebelumnya kita kalau beli handphone (HP), beli buka toko handphone pasti di street, di tepi jalan. Lalu masuk ke dalam mal," ujar Jim dalam acara peresmian Oppo Flagship Store di Gandaria City, Jakarta Selatan, Minggu (14/12).
"Dan kalau kita lihat lima tahun ke belakang ini, di semua mal apa pun semuanya sangat banyak dipenuhi diramaikan oleh banyak tidak hanya toko handphone, tetapi toko barang elektronik," sambungnya.
Pengalaman pribadi dan sosok anak yang membuka matanyaDi balik perubahan strategi bisnis ini ternyata berawal dari pengalaman personal Jim sebagai seorang ayah. Ide menyatukan teknologi dengan gaya hidup (seperti kafe dan toko buku) muncul dari pengalaman pribadinya saat dengan sang anak dan berjalan-jalan di China.
Kala itu, Jim menemukan sebuah toko buku di Shenzhen yang menurutnya sangat ideal bagi seorang bapak-bapak.
"Lalu ketika sedang di Shenzhen, di China, saya (Mr. Jim) membawa anaknya ke sebuah toko buku di sana. Toko buku itu namanya 'Sisyphe' (Xi Xi Fu). Di dalamnya banyak sekali buku, dan juga kopi. Dan juga ada tempat untuk rileks, orang minum ngeteh-ngeteh. Dan yang paling penting, ada tempat smoking area-nya," cerita Jim yang disampaikan penutur bahasa mandarin.
Bagi Jim, tempat seperti itulah yang dicari keluarga modern. Sebuah ruang di mana anak bisa senang, dan orang tua pun bisa tetap santai menikmati waktu mereka.
"Jadi seperti untuk sebagai perokok seperti Mr. Jim, jadi sebuah tempat yang bisa bawa anaknya, bisa anak bisa happy-happy, terus sudah gitu dia sebagai orang tua bisa merokok, bisa ngeteh, dan anak juga bisa baca buku. Menurut beliau ini merupakan tempat yang bagus banget, yang perfect banget," tambahnya.
Tak hanya soal kenyamanan, Jim juga banyak belajar memahami tren teknologi terkini dari anak-anaknya. Di toko terbarunya ini, Oppo menghadirkan 3D Printer, sebuah teknologi yang mungkin asing bagi sebagian orang tua, namun ternyata sangat diminati anak muda.
Inspirasi ini datang saat anak perempuannya yang berusia 10 tahun meminta izin bermain ke rumah teman. Ketika ditanya alasannya, sang anak memberikan jawaban yang membuka mata Jim.
"Iya, soalnya teman saya, papanya habis beli 3D Printer. Jadi kita bisa nge-print mainan apapun yang kita mau."
Dari percakapan sederhana itulah Jim menyadari pentingnya menghadirkan pengalaman teknologi di tokonya, yang diharapkan dapat menarik perhatian generasi muda yang kini semakin tertarik dengan teknologi dan inovasi.
Eksperimen mahal demi kualitasKembali ke sisi bisnis, Jim mengaku membuka toko dengan konsep lifestyle di mal premium bukanlah perkara murah. Biaya sewa dan deposit yang tinggi seringkali menjadi penghalang dan menumbuhkan rasa kurang percaya diri bagi banyak pengusaha ritel ponsel.
"Kayaknya kalau dilihat dari proyeksinya ini, orang-orang akan mulai beralih untuk shopping beli handphone di mal. Kenapa kamu enggak buka toko di mal?" cerita Jim saat bertanya kepada salah satu bos toko ponsel rekannya kala itu. "Beliau bilang, 'Mahal. Depositnya udah berapa? Biaya sewanya juga mahal.'"
Menyadari keraguan mitra bisnisnya, Oppo memutuskan untuk menjadikan toko flagship milik perusahaan percontohan sebelum mengajak dealer lain masuk ke mal.
"Karena trial di Indonesia itu, bereksperimen di Indonesia itu sangat mahal harganya. Dan sangat cukup buang-buang waktu. Dan sangat menguji tim kita," ungkap Jim. "Jadi biarkan kami yang duluan untuk mencoba, biarkan kami yang menjadi percobaannya."
Namun, di balik biaya yang tinggi, Jim meyakini ada keuntungan besar yang menanti dari sisi profil konsumen yang tidak didapatkan di toko pinggir jalan.
"Tempat yang murah, ada advantage-nya sendiri. Tapi tempat mahal, ada kelebihannya juga. Karena kualitas pembeli kamu lebih bagus," tegasnya.
Tak hanya soal penjualan, Oppo juga mengubah standar layanan purnajual (after-sales service).
Jim mengkritik keras kebiasaan lama industri ponsel yang sering menempatkan pusat servis di lokasi terpencil, sulit dijangkau, atau tidak layak.
"Lalu beberapa brand, bahkan menaruh Service Center-nya itu di sebelah toilet. Kamu pikir aja siapa yang mau servis handphone di sebelah WC?" sindir Jim.
Oppo ingin mengubah stigma tersebut dengan menempatkan area servis di lokasi premium dan nyaman di dalam mal, menyatu dengan area penjualan dengan harapan agar konsumen merasa dihargai, baik saat membeli maupun saat memperbaiki perangkat mereka.


:strip_icc()/kly-media-production/medias/4365967/original/039871200_1679367358-20032023BL_Yance_dan_Yakob_3.jpg)

:strip_icc()/kly-media-production/medias/5444659/original/031900000_1765785111-1783.jpg)