Saban hari, para pemanjat kelapa di Pulau Halmahera, Maluku Utara, menapaki setiap ruas pohon yang menjulang tinggi. Bagi mereka, ruas itu bukan sekadar pijakan, melainkan juga tangga kehidupan. Di sanalah, mereka menggantungkan berbagai harapan untuk masa depan.
Kepala Ardison Tamaheang (23) mendongak ke atas pohon kelapa di Desa Goal, Kecamatan Sahu Timur, Kabupaten Halmahera Barat, Maluku Utara, Kamis (11/12/2025). Ia bersiap memanen kelapa dari pohon yang dua pelepahnya mulai gugur.
Sejenak ia menundukkan kepala sambil memanjatkan doa. Semoga tidak terjadi hal-hal yang tidak baik, ia membatin. Tanpa alas apa pun, kakinya menginjak ruas pohon yang telah ditebas hingga membentuk seperti pijakan di bagian kanan dan kiri. Kedua tangannya memeluk pohon.
Sarung tangan dan handuk pergelangan tangan melindunginya dari kerasnya batang kelapa. Tangan dan kakinya mencengkeram pohon dengan lincah seperti cicak yang merayap di dinding. Dalam waktu 25 detik, Ardison sudah sampai bagian atas pohon setinggi sekitar 20 meter itu.
”Ada ofu (lebah),” teriaknya dari atas. Ia lalu mengusirnya dengan tangannya. Setelah lebah itu pergi, tangannya lalu menarik parang dari sarung yang dibuat dari bahan pipa oranye. Parang itu menggantung di pinggangnya. Ardison kemudian mengayunkan parang itu ke buah kelapa.
Bummm…satu per satu kelapa berjatuhan ke tanah. Setelah memetik beberapa kelapa yang usianya sekitar tiga bulan, Ardison kemudian turun dengan berpijak ke tiap ruas pohon. Keringatnya mengucur. Napasnya terdengar terengah-engah. Ia baru saja menantang angin.
”Kalau di atas (pohon) itu, angin goyang-goyang,” ucapnya. Meski menegangkan, terutama bagi orang yang fobia ketinggian, Ardison sama sekali tidak takut. Bahkan, ia dan rekannya sesama pemanjat mencuri canda. ”Awas, celana jangan robek kalau naik pohon,” kata temannya tertawa.
”Saya, kan, petani. Jadi, sudah kerja (panjat kelapa) begitu setiap hari,” ucap Ardison. Ia mulai berkecimpung di dunia panjat kelapa saat kelas V sekolah dasar di Desa Kusuri, Kecamatan Tobelo Barat, Kabupaten Halmahera Utara. Bapaknya mengajarinya memanjat pohon kelapa.
”Pertama (naik pohon), saya takut-takut. Tapi, saya coba naik terus sampai berani,” katanya. Pohon kelapa milik keluarga, yang sudah ada sebelum ia lahir menjadi arena latihannya. Seiring berjalannya waktu, ia mulai mahir memanjat kelapa di usia remaja.
Ardison masih ingat ketika memetik kelapa dengan biaya Rp 3.000 per pohon. Saking asyiknya memanjat kelapa, ia sampai tidak meneruskan pendidikan ke tingkat menengah. Padahal, pekerjaannya berisiko. ”Saya pernah meluncur ke bawah karena pohon licin, hujan,” katanya.
Selain berisiko, memanjat kelapa juga tidak setiap hari karena harus menunggu masa panen kelapa setiap tiga atau empat bulan. Ardison pun sempat menjadi buruh bangunan dengan upah Rp 3,5 juta dalam dua bulan. Namun, ia berhenti setelah kaca merobek betisnya saat kerja.
Seperti anak muda di daerahnya, ia kemudian tergoda bekerja di pertambangan nikel. Kerjanya mengangkut material, seperti besi dan pipa. Meski gajinya mencapai Rp 6 juta per bulan, ia hanya tahan bekerja tiga bulan. ”Saya merasa seperti dipaksa kerja terus, capek,” ungkapnya.
Ardison pun memilih pulang kampung, kembali sebagai petani dan pemanjat kelapa. Selain mengurus 100 pohon kelapa warisan keluarganya, ia juga mendapatkan panggilan pemetikan kelapa. Apalagi, permintaan untuk memanjat pohon kelapa milik petani semakin banyak.
Bahkan, Ardison mendapat panggilan memetik kelapa di daerah tetangga, Kabupaten Halmahera Barat. Para pemanjat kelapa dibutuhkan seiring hadirnya PT Dewa Agricoco Indonesia (Dewacoco). Perusahaan ini mengolah hingga 80.000 butir kelapa menjadi aneka produk olahan.
Produknya, seperti desiccated coconut atau tepung kelapa dan minyak kelapa mentah (coconut oil/CNO). Besarnya kebutuhan bahan baku untuk diolah ini membuat para pemanjat kelapa dicari. ”Harganya juga sudah naik dari Rp 8.000 menjadi Rp 10.000 per pohon,” katanya.
Harga itu sudah termasuk pengumpulan kelapa yang jatuh ke satu tempat. ”Dalam sehari, saya bisa kumpul kelapa dari 50 pohon. Kalau kakinya pedis berarti sudah 50 pohon itu. Hahaha,” ucap bapak satu anak ini sambil menunjukkan telapak kakinya yang kapalan.
Dengan kemampuan memanjat 50 pohon per hari, ia bisa mengumpulkan Rp 500.000 sehari. Artinya, dalam enam hari, penghasilannya sudah hampir menyamai upah minimum kabupaten (UMK) Halmahera Barat, yakni Rp 3,4 juta per bulan.
Ia bekerja mulai pukul 07.00 WIT hingga 17.00 WIT dengan diselingi istirahat. ”Setelah ada perusahaan, hampir setiap hari ada panggilan (pemanjat kelapa). Belum habis panjat pohon kelapa di satu tampa (bidang tanah), sudah dipanggil untuk pindah ke tempat lain,” ungkapnya.
Hans Range (43), pemanjat kelapa, juga mengakui betapa sibuknya para pemetik kelapa. ”Ada 1.000 pohon kelapa di Jailolo yang mau dipetik. Kemarin, baru selesai 700 pohon. Masih ada beberapa tampa lagi,” ucap Hans yang tidak sempat sarapan karena harus ke kebun.
Ia menuturkan, para pemanjat kelapa mendapatkan banyak permintaan pada akhir tahun. Selain sudah masuk masa panen kelapa, warga juga ingin merayakan hari Natal. ”Tidak apa-apa capek, torang (kami) bergantung dari panjat kelapa,” ucap Hans yang mendapat bayaran Rp 10.000 per pohon.
Dari memetik pohon inilah, Hans, Ardison, dan pemanjat lainnya menggantungkan harapan untuk memenuhi kebutuhan keluarga hingga menyekolahkan anak mereka. Itu sebabnya, mereka tidak merasakan ketakutan saat berada di pucuk pohon dengan embusan angin.
Simeon Ufu (46), petani kelapa di Desa Balisoan, Kecamatan Sahu, Halmahera Barat, seiring beroperasinya pabrik pengolahan kelapa, para pemanjat kini menjadi incaran para petani. Tarif pemetik kelapa pun relatif stabil, yakni Rp 9.000-Rp 10.000 per pohon.
Padahal, sebelum ada pabrik, tarifnya kerap anjlok. Jika harga kopra Rp 10.000 per kilogram, misalnya, tarif pemanjat kelapa hanya Rp 5.000 per pohon. ”Sekarang, walaupun harga kopra turun, harga panjat kelapa tidak turun. Jadi, yang dapat uang itu yang panjat kelapa,” ucapnya.
Menurut dia, sebelum adanya pabrik pengolahan kelapa, agak susah mencari pemanjat kelapa yang sesuai keinginan petani. ”Pemanjat kelapa tidak kerja setiap hari. Dulu, satu pemanjat mengerjakan 200 pohon kelapa saya sampai satu bulan karena banyak istirahatnya,” ujarnya.
Kini, setelah industri pengolahan kelapa masuk, Simeon cukup berkomunikasi dengan petugas pabrik yang akan menghubungkannya dengan sejumlah pemanjat kelapa. Tidak hanya itu, petugas juga menyediakan orang yang mengangkut kelapa langsung ke pabrik.
”Sebenarnya, setiap kampung ada pemanjat kelapa. Tapi, hari ini panjat, besok libur. Makanya, saya cari (pemanjat kelapa) sampai ke luar daerah,” ucap Jali Rahmat, pengawas lapangan Dewacoco, yang mengkoordinasi tujuh pemanjat kelapa.
Foniike Samad, dosen Sekolah Tinggi Pertanian Kewirausahaan (STPK) Banau, Halmahera Barat, menilai, pemanjat kelapa kini semakin dibutuhkan. Apalagi, tidak ada pendidikan khusus untuk mencetak pemanjat kelapa. Keterampilan itu diajarkan secara otodidak di kalangan petani.
”Tapi, bagaimana pun, pekerjaan ini berisiko. Apalagi, saat musim hujan, pohonnya licin. Pemerintah dan industri perlu memikirkan ini. Misalnya, dengan menggunakan alat yang lebih aman. Bukan tidak mungkin nanti petik kelapa hanya dengan memencet tombol di HP,” ujarnya.
Masih banyak melihat pemanjat kelapa itu bukan sesuatu (pekerjaan) yang menjanjikan. Jadi, kita butuh waktu mengubah ini.
Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Maluku Utara Marwan Polisiri mengakui, pekerjaan pemanjat kelapa cukup berisiko. Namun, mereka belum sepenuhnya mendapatkan perlindungan, seperti jaminan kecelakaan kerja. Pemanjat kelapa dipandang pekerja informal.
Pihaknya pun mencanangkan kerja sama dengan platform digital pencarian kerja dan industri pengolahan kelapa untuk melindungi pemanjat kelapa dengan penggunaan alat keselamatan hingga asuransi. Hal ini diperlukan di tengah tingginya kebutuhan pada pemanjat kelapa.
”Salah satu pabrik di Halmahera Utara saja membutuhkan 1.000-2.000 pemanjat kelapa,” ucapnya. Dengan lahan kelapa mencapai 159.953 hektar di Maluku Utara, kehadiran pemanjat kelapa sangat dibutuhkan. Namun, menurut dia, upaya melindungi pemanjat kelapa butuh waktu.
”Masih banyak melihat pemanjat kelapa itu bukan sesuatu (pekerjaan) yang menjanjikan. Jadi, kita butuh waktu mengubah pandangan ini,” ucap Marwan.
Bagaimana pun, bagi para pemetik kelapa, setiap ruas pohon kelapa tidak hanya menjadi pijakan, tetapi juga menjelma sebagai tangga kehidupan. Pada pohon yang menjulang tinggi itulah, mereka mencoba menapaki hidup dari bawah.



/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F04%2F16%2Fdbc5154b-7d11-4522-9b5d-a0bb6092b05a_jpg.jpg)
