Di Indonesia, perempuan disabilitas menghadapi diskriminasi berlapis yang jarang dibicarakan. Dalam konteks perempuan dan disabilitas, mereka dipandang sebagai perempuan, penyandang disabilitas, sekaligus kelompok yang kerap dianggap tidak produktif oleh masyarakat.
Banyak yang tidak menyadari bahwa perempuan disabilitas menanggung beban dua hingga tiga kali lebih berat dibanding kelompok lain. Tantangan yang mereka hadapi muncul dari diskriminasi gender, stigma disabilitas, dan keterbatasan akses sosial serta ekonomi. Suara dan kebutuhan mereka jarang muncul dalam ruang publik, sehingga persoalan yang mereka alami sering tidak terlihat.
Perempuan Disabilitas dan Beban Berlapis yang Mereka HadapiBeban ganda muncul ketika perempuan disabilitas harus menangani tanggung jawab domestik sekaligus menghadapi stigma disabilitas. Beban ini menjadi tiga lapis ketika diskriminasi gender mempersempit akses mereka terhadap pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan ruang aman di lingkungan sosial.
Ketidaksetaraan struktural memperparah kondisi tersebut. Norma patriarkal menempatkan perempuan pada tugas domestik, sementara disabilitas menghadirkan hambatan fisik, sosial, dan kultural. Perempuan disabilitas akhirnya mengalami marginalisasi ganda sebagai perempuan yang dianggap lemah dan sebagai penyandang disabilitas yang menghadapi diskriminasi di hampir semua ruang publik.
Beban ini tidak lahir dari kelemahan individu, tetapi dari sistem sosial dan ekonomi yang belum inklusif serta kebijakan publik yang belum sensitif terhadap gabungan identitas gender dan disabilitas.
Stereotip Gender yang Bertemu Stigma DisabilitasStereotip gender sering melekat pada perempuan, seperti anggapan bahwa perempuan emosional dan lebih cocok mengurus rumah. Stigma disabilitas juga menempel kuat, misalnya asumsi bahwa penyandang disabilitas tidak mandiri atau tidak kompeten. Ketika dua stigma ini bergabung, perempuan disabilitas diposisikan sebagai individu yang kurang mampu mengambil keputusan dan dianggap tidak layak memimpin atau mengatur hidup sendiri.
Dampaknya langsung terlihat dalam akses pendidikan, kesehatan, pekerjaan, dan kehidupan sosial. Di sekolah, banyak yang diremehkan dan dianggap tidak perlu menempuh pendidikan tinggi. Di dunia kerja, mereka disingkirkan dari proses rekrutmen atau ditempatkan pada posisi informal dengan upah rendah. Dalam layanan kesehatan, suara mereka kerap diabaikan, terutama saat menyangkut kesehatan seksual dan reproduksi.
Jika kita melihat dari perspektif sosiologi kesehatan, hambatan yang dialami perempuan disabilitas bukan hanya masalah medis, melainkan persoalan struktur sosial. Kesehatan mereka dipengaruhi relasi kuasa, kontrol terhadap tubuh, akses terhadap fasilitas, dan cara masyarakat memaknai disabilitas. Ketika layanan kesehatan tidak aksesibel atau tidak sensitif gender, perempuan disabilitas kehilangan hak dasar untuk memperoleh perawatan yang aman dan bermartabat.
Ekspektasi Domestik yang Kian Menyempitkan Ruang GerakWalaupun menghadapi keterbatasan fisik atau sensorik, perempuan disabilitas tetap dibebani tugas domestik seperti memasak, membersihkan rumah, dan merawat anak. Laki-laki disabilitas lebih sering dibebaskan dari tuntutan ini, sehingga perempuan menanggung standar ganda yang semakin mempersempit ruang gerak mereka. Waktu untuk belajar, bekerja, atau mengembangkan diri menjadi sangat terbatas.
Hambatan pendidikan memperburuk keadaan. Sekolah yang tidak aksesibel, kurangnya alat bantu, dan bullying membuat banyak perempuan disabilitas putus sekolah. Kualifikasi kerja mereka akhirnya terbatas pada sektor informal yang tidak memberikan keamanan ekonomi di mana merujuk dari data Komnas Perempuan: hanya 42,7% perempuan disabilitas yang bekerja dan angka tersebut lebih rendah dari laki-laki, yaitu 57,3%.
Kerentanan Perempuan Disabilitas terhadap KekerasanPerempuan disabilitas menghadapi risiko tinggi terhadap kekerasan seksual, kekerasan dalam rumah tangga, dan kekerasan berbasis teknologi. Ketergantungan pada orang lain membuat mereka lebih mudah menjadi target, sementara akses pelaporan masih rendah. Banyak layanan pengaduan tidak menyediakan bahasa isyarat, fasilitas pendampingan, atau ruang aman bagi korban.
Di dunia kerja, eksploitasi dan pelecehan sering terjadi tanpa ada mekanisme perlindungan yang jelas. Situasi ini memperkuat siklus kemiskinan, trauma, dan ketidakberdayaan.
Minimnya representasi perempuan disabilitas dalam pembuatan kebijakan membuat kebutuhan mereka tidak terakomodasi. Kebijakan disabilitas cenderung netral gender, sehingga pengalaman perempuan sering terabaikan.
Akar Ketidakadilan yang Masih MengakarBudaya patriarki memandang perempuan sebagai pihak kedua, sedangkan disabilitas dianggap sebagai beban keluarga. Cara pandang ini membuat perempuan disabilitas tidak diperlakukan sebagai subjek yang memiliki suara. Mereka sering diposisikan sebagai objek belas kasihan atau bahkan aib yang perlu disembunyikan.
Kebijakan publik jarang menggunakan sudut pandang interseksional. Akibatnya, masalah yang dialami perempuan disabilitas tidak terbaca secara utuh dan solusi yang ditawarkan tidak menjawab kebutuhan mereka. Media juga masih sering menonjolkan narasi inspiratif yang memuji upaya individu, tetapi mengaburkan masalah struktural yang lebih besar.
Untuk memutus rantai ketidakadilan, pendidikan dan dunia kerja harus benar-benar inklusif, mulai dari akses fisik, guru yang terlatih, hingga akomodasi kerja yang aman dan layak. Yang paling penting, perempuan disabilitas harus dilibatkan langsung dalam perumusan kebijakan agar pengalaman dan suara mereka benar-benar terwakili.




