JAKARTA, KOMPAS – Penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia atau HAM berat Indonesia di masa lalu belum tuntas. Bahkan, ada ribuan korban dan penyintas yang belum terjangkau negara. Kementerian HAM pun meluncurkan peta jalan penyelesaian demi merampungkan kasus-kasus tersebut.
Direktur Jenderal Pelayanan dan Kepatuhan HAM Kementerian HAM, Munafrizal Manan mengakui negara sulit menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. Sejumlah upaya yang dikerahkan selama ini dianggap tidak bisa menguraikan masalah yang menjadi bagian dari sejarah negeri ini.
“Jadi, ini (kasus HAM berat) salah satu warisan sejarah yang sampai hari ini kita hadapi. Upaya-upaya yang sudah dilakukan seolah menghadapi suatu labirin yang tidak tahu jalan keluarnya,” kata Munafrizal di Jakarta, Senin (15/12/2025).
Oleh karena itu, pemerintah melalui Kementerian HAM meluncurkan Peta Jalan Menuju Penyelesaian Kasus Pelanggaran HAM Berat. Dokumen ini diharapkan bisa menghasilkan jalan keluar dan merampungkan kasus-kasus HAM tersebut.
Diakui atau tidak, sebetulnya kita sedang dalam posisi jalan buntu soal penyelesaian dengan pengadilan ini. Oleh karena itu, adanya peta jalan ini bisa menjadi cahaya penuntun.
Setidaknya ada 12 kasus pelanggaran HAM Berat yang menjadi bagian dari peta jalan tersebut. Kasus dimaksud mulai peristiwa 1965-1966; peristiwa Talangsari 1989; penembakan misterius 1982-1985; kerusuhan Mei 1998; serta peristiwa 1998 yang meliputi Tri Sakti, Semanggi I dan Semanggi II.
Selanjutnya kasus penghilangan paksa 1997-1998; peristiwa Simpang KAA-Aceh 1999; peristiwa santet Banyuwangi 1998; peristiwa Wasior 2001; peristiwa Jambu Keupok Aceh 2003; peristiwa Rumah Geudong Aceh 2001-2002; dan peristiwa Wamena 2003.
Kedua belas kasus ini diakui oleh Presiden Ke-7 Joko Widodo pada Januari 2023. Di pengujung periode pemerintahannya, Jokowi berkomitmen untuk memulihkan hak para korban tanpa menegasikan penyelesaian yudisial. Namun, sudah dua tahun berlalu, bahkan tampuk kepemimpinan berganti ke Presiden ke-8 Prabowo Subianto, kasus ini belum menemui titik terang.
Munafrizal menyatakan, kasus-kasus ini bahkan menemui jalan buntu karena terbentur masalah pembuktian. Padahal, pembuktian ini menjadi hal yang penting agar tidak ada keraguan dalam memutuskan perkara. Hal yang terjadi selama ini adalah bolak-balik perkara oleh para penegak hukum.
“Karena kasus (HAM) ini pidana khusus, maka ujungnya, ya, pembuktian. Untuk bisa menghukum orang itu, kan, harus beyond reasonable doubt, tidak boleh ada keraguan. Nah, beban pembuktian ini yang dihadapi penegak hukum. Jadi, kalau kita simak, ada istilah bolak-balik perkara. Itu ujung-ujungnya soal pembuktian,” papar Munafrizal.
Oleh karena itu, Munafrizal menyatakan peta jalan ini akan menjadi penuntun bagi pihak-pihak terkait, mulai dari Komisi Nasional HAM, Kejaksaan Agung, hingga Mahkamah Agung. Penyusunan jalan oleh Kementerian HAM diharapkan bisa menjadi daya dorong untuk menyelesaikan kasus-kasus berat ini.
“Diakui atau tidak, sebetulnya kita sedang dalam posisi jalan buntu soal penyelesaian dengan pengadilan ini. Oleh karena itu, adanya peta jalan ini bisa menjadi cahaya penuntun,” kata Munafrizal.
“Kementerian HAM mengambil langkah ini karena tidak mungkin penyusunan peta jalan ini dilakukan Komnas HAM, Kejaksaan Agung, juga oleh Mahkamah Agung. Karena ketiganya, termasuk juga LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban), adalah lembaga dari aspek pro justitia berkaitan dengan persoalan ini. Jadi, memang harus dari eksternal yang menyusun ini,” lanjut eks Komisioner Komnas HAM Periode 2017-2022 ini.
Tidak hanya dari aspek yudisial, penyelesaian nonyudisial seperti pemulihan para korban dan penyintas juga belum maksimal. Munafrizal menyatakan, baru 600 dari 7.000 lebih korban yang telah mendapatkan pemulihan oleh negara.
“Artinya ini kurang dari 10 persen. Kalau kerja-kerja pendataan pengidentifikasian para korban dilakukan lebih lanjut, saya kira mungkin jumlahnya lebih besar. Ini menjadi upaya yang belum maksimal. Itulah maka penting sekali kita punya semacam peta jalan,” kata Munafrizal.
Publik juga menanti langkah konkret dari negara untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu. Sebelumnya, dalam menanggapi satu tahun pemerintahan Prabowo-Gibran, Direktur Kebijakan Publik Raksha Initiatives Wahyudi Djafar mengatakan, penyelesaian kasus-kasus HAM berat di masa lalu itu harus menjadi perhatian pemerintah saat ini.
”Tentu harus menjadi perhatian penting bagi pemerintahan kali ini dengan tindak lanjut yang nyata dan konkret. Terlepas dari kritik yang ada, adalah bagaimana memastikan kelanjutan dari proses penyelesaian pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi di masa lalu,” ujar Wahyudi (Kompas.id, 19/10/2025).
Sekretaris Jenderal Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia Gina Sabrina juga mendorong pemerintah untuk kembali fokus menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di masa lalu. Jika tidak, masyarakat khawatir adanya impunitas jika terjadi pelanggaran serupa di masa depan.


/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2024%2F04%2F16%2Fdbc5154b-7d11-4522-9b5d-a0bb6092b05a_jpg.jpg)


:strip_icc()/kly-media-production/medias/5429426/original/092713200_1764586226-PHOTO-2025-12-01-17-29-39__1_.jpg)