Pekerja informal yang telah memasuki usia lanjut menghadapi risiko ketidakpastian pendapatan saat mereka kehilangan kemampuan bekerja. Meskipun sebagian besar lansia Indonesia masih secara ekonomis aktif bekerja di sektor informal, nyatanya mereka tidak memiliki jaminan hari tua, dan tidak masuk kriteria secara umur untuk ikut perlindungan Jaminan Hari Tua (JHT).
Oleh karena itu, kebijakan bantuan iuran JHT oleh pemerintah daerah untuk pekerja rentan bisa menjadi instrumen penting untuk memastikan mereka masuk usia lanjut tanpa kecemasan karena memiliki perlindungan sosial. Rekomendasi utama adalah perluasan program bantuan iuran pemerintah daerah untuk mencakup program JHT, dengan pendekatan bertahap yang disesuaikan dengan kapasitas fiskal lokal dan diintegrasikan dengan program pemberdayaan ekonomi.
PENDAHULUANProblem StatementSecara konstitusional, jaminan sosial merupakan hak fundamental semua pekerja. Pasal 28H Undang-Undang Dasar 1945 menetapkan bahwa "setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh sebagai manusia yang bermartabat." Namun, realita di lapangan jauh dari ideal.
Pekerja informal di Indonesia, misalnya, masih menghadapi realitas yang tak bisa dipungkiri—belum semua memiliki jaminan sosial ketenagakerjaan, terutama Jaminan Hari Tua (JHT). Alhasil, saat memasuki usia lanjut, tak sedikit masih yang masih bekerja, bahkan mayoritas bekerja pada sektor informal.
Data Badan Pusat Statistik pada tahun 2022 menunjukkan, persentase pekerja usia lanjut yang masih bekerja mencapai 52,55 persen—mayoritas bekerja di sektor informal sebesar 86,19 persen dimana sebanyak 75,59 persen bekerja sebagai pekerja rentan, dan 19,15 persen sebagai pekerja tidak tetap (BPS, 2022).
Di sisi lain, BPJS Ketenagakerjaan beserta pemerintah daerah juga telah berupaya membuat kebijakan sosial berupa bantuan iuran jaminan sosial ketenagakerjaan bagi pekerja rentan dengan kategori hampir miskin dan miskin (Andriyanto et al, 2025; Raditya, 2025).
Sayangnya, kebijakan bantuan iuran (Penerima Bantuan Iuran/PBI) bagi pekerja rentan tersebut baru mencakup Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK) dan Jaminan Kematian (JKM)—belum mengikutsertakan JHT.
Ketiadaan JHT dalam skema PBI dapat membuat pekerja informal yang telah bekerja puluhan tahun tetap harus memasuki hari tua tanpa tabungan hari tua yang terstruktur—sehingga membuat mereka rentan terhadap kemiskinan multidimensi saat kehilangan kemampuan untuk bekerja.
KonteksJaminan sosial merupakan hak semua pekerja, tak terkecuali mereka yang bekerja pada sektor informal. Bagi pekerja informal atau rentan, hak tersebut semata-mata untuk memberikan perlindungan guna menanggulangi risiko-risiko, seperti kecelakaan kerja dan kematian—yang akhirnya dapat berdampak pada iklim kerja lebih baik serta turut berimplikasi pada peningkatan produktivitas kerja (Adillah & Anik, 2015).
Lebih-lebih, bagi sektor pekerja informal, memiliki jaminan sosial berarti mengecilkan kemungkinan terperangkap ke dalam kemiskinan saat menghadapi kondisi-kondisi yang tidak pasti (uncertainties) serta risiko.
Uncertainties adalah kondisi dimana seseorang mengetahui rentang kemungkinan hasilnya—tetapi tidak tahu dan yakin seberapa besar kemungkinan hasil tersebut terjadi, sedangkan risiko didefinisikan sebagai saat seseorang mengetahui dan yakin tentang kemungkinan dari hasil-hasil yang sudah diketahui, sehingga dapat diprediksi, direncanakan, dihitung, dan dikendalikan (Scoones, 2024).
Posisi pekerja, terutama dalam kategori hampir miskin dan miskin, berada pada situasi uncertainties dengan segala risiko yang ditanggung. Mereka berada pada lingkaran dimana bekerja untuk memenuhi kebutuhan harian.
Oleh karena itu, ketika dihadapkan pada situasi shock, seperti kematian dan kecelakaan kerja, kemudian dalam posisi tidak memiliki jaminan sosial—kemungkinan jatuh lebih dalam kemiskinan kian besar, bahkan meningkatkan risiko kemiskinan multidimensi (Salam, Suwandana, & Watekhi, 2024)
Sebenarnya, melalui BPJS Ketenagakerjaan, Pemerintah Indonesia telah memberikan ruang bagi pekerja, termasuk pada sektor informal, untuk ikut serta dalam program jaminan sosial ketenagakerjaan—seperti Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), Jaminan Kematian (JKM) dan Jaminan Hari Tua (JHT), yang nantinya bisa menjadi perlindungan (DJSN, 2021)
Namun, jumlah keikutsertaan pekerja informal pada program jaminan sosial tersebut masih rendah karena banyak faktor (Purba, 2020; Rajagukguk, 2025).
PenyebabSecara garis besar, ada ragam alasan rendahnya minat pekerja informal terlindungi jaminan sosial ketenagakerjaan jika membayar secara sukarela. Pada program JKK, misalnya, faktor umur, wilayah dan pendapatan sangat memengaruhi pekerja informal memiliki program tersebut (Madya & Nurwahyuni, 2018)
Selain itu, pada konteks masyarakat dengan kearifan lokal dimana tingkat kepercayaan agama tinggi, ada anggapan bahwa jaminan sosial ketenagakerjaan, termasuk JHT sebagai riba (Ardianingsih, Langelo, & Wicaksono, 2021)
Merespon hal tersebut, selama rentang tiga tahun terakhir—BPJS Ketenagakerjaan menggadeng pemerintah daerah untuk mendorong kebijakan bantuan iuran dengan asumsi dasar untuk optimalisasi serta pengentasan kemiskinan—sesuai amanat Inpres 2 Tahun 2021 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, serta Inpres 8 Tahun 2025 tentang Optimalisasi Pelaksanaan Pengentasan Kemiskinan dan Penghapusan Kemiskinan Ekstrem.
Pemerintah Kabupaten Tangerang, misalnya, menargetkan akhir tahun 2025 akan melindungi 500.000 pekerja rentan miskin melalui sumber biaya APBD. Adapun pekerja rentan miskin adalah pekerja di sektor informal seperti buruh harian lepas, pedagang, petani, nelayan, sopir dan lain-lainya dengan kategori rumah tangga miskin. Pekerja rentan miskin juga bisa disebut sebagai kelompok the missing middle: mereka mungkin tidak cukup miskin untuk menerima bantuan sosial konvensional, juga tidak cukup kaya untuk membayar jaminan sosial secara mandiri.
Pada program tersebut, pekerja informal dengan kategori miskin diberikan bantuan iuran untuk program JKM dan JKK (Khairani, Darnis, Ikhsan Lubis, Oktaviandra, & Mardia, 2025). Namun, kebijakan sosial tersebut beum termasuk pada perlindungan JHT bagi pekerja rentan miskin.
Padahal, secara filosofis, program JHT bertujuan untuk memberikan jaminan agar pekerja menerima uang tunai saat masuk periode pensiun, cacat total dengan kondisi tetap atau meninggal dunia—yang artinya negara berperan memastikan bahwa ketika tenaga kerja pada usia sudah tidak produktif menerima hasil tabungan dari iuran selama tenaga kerja tersebut bekerja dikarenakan kehilangan sumber penghasilan (Hutabarat, 2022).
DampakFenomena aging population di Indonesia merupakan sesuatu yang tak terbantahkan. Kondisi tersebut pun berdampak pada kompleksitas sosial-ekonomi.
Menurut data BPS tahun 2021, sekitar 50 persen dari populasi lansia Indonesia masih tetap bekerja—meskipun mayoritas mereka berada dalam sektor informal. Lebih spesifik, dari seluruh pekerja lansia di Indonesia, sebesar 78 persen bekerja di sektor informal, sementara hanya 21,5 persen bekerja di sektor formal (BPS, 2021).
Dengan demikian—tercipta realita dimana pekerja informal yang masuk kategori lansia produktif secara fisik tetap harus bekerja untuk mempertahankan penghasilan minimum agar bisa memenuhi kebutuhan hidup mereka, dan dalam banyak kasus, kebutuhan keluarga mereka.
Di sisi lain, fenomena lansia yang tidak produktif juga tak bisa ditinggalkan—terutama mereka yang dulunya sebagai pekerja informal dan tidak memiliki jaminan sosial. Posisi mereka menghadapi situasi krisis pendapatan yang parah. Situasinya yakni tanpa penghasilan dari pekerjaan, serta perlindungan jaminan hari tua—sehingga mereka berada pada situasi rentan terhadap kemiskinan multidimensi.
Dengan demikian, menjadi tua di Indonesia—dimana harus tetap bekerja demi mencukupi kebutuhan dasar—merupakan sebuah realita yang tidak terbantahkan. Kondisi ini bisa jadi karena dampak dari tidak memiliki jaminan sosial hari tua saat semasa bekerja, terutama bagi pekerja informal.
DESKRIPSI MASALAH DAN ISUPerlindungan Sosial yang Tidak MemadaiStudi menemukan, kepemilikan jaminan sosial saat masih bekerja—termasuk jaminan hari tua, maka semakin sedikit lanjut usia yang bekerja (Jamalludin, 2021). Riset lain juga menemukan, lansia yang memiliki jaminan pensiun dan jaminan kesehatan berpeluang lebih besar untuk menarik diri dari pasar kerja dibandingkan lansia yang tidak memiliki (Wibowo & Handayani, 2023)
Realitanya, kini banyak lansia yang masih bekerja. Mirisnya, lanjut usia yang terpaksa tetap bekerja menghadapi kondisi yang rentan, terutama kesehatan (Suriastini, Wijayanti, & Oktarina, 2024).
Dalam konteks pandemi Covid-19, pekerja informal lansia terus bekerja meskipun dalam kondisi yang lebih buruk, dimana juga mengandalkan aset, tabungan dan hutang (Alfers, Galvani, Grapsa, Juergens, & Sevilla, 2021). Di Indonesia juga demikian, para pekerja lansia pada sektor informal juga mengalami beberapa kerentanan, mulai dari pendapatan yang rendah hingga waktu jam kerja yang lebih lama (Aqil, 2023).
Fenomena ini mengungkapkan pertentangan kebijakan—dimana pemerintah telah menyediakan program JHT melalui BPJS Ketenagakerjaan yang bertujuan memberikan rasa aman saat usia lanjut, namun kenyataannya partisipasi pekerja informal tetap rendah.
Pada lansia tidak produktif—ditandai dengan penurunan signifikan kapasitas kerja atau mencapai usia pensiun—mereka mengalami transisi yang sangat mencolok dari status pencari nafkah menjadi status bergantung.
Lebih-lebih, lansia di sektor informal tidak memiliki sistem pensiun yang terstruktur; sehingga mereka hanya memiliki tabungan pribadi yang amat terbatas, atau sepenuhnya bergantung pada dukungan keluarga (Liao et al, 2023).
Namun, untuk mayoritas lansia informal yang tidak memiliki aset signifikan dan anak-anak yang juga mengalami kesulitan ekonomi, situasi ini dapat menciptakan kemiskinan ekstrem.
Keterbatasan Peran Jaminan Sosial InformalJaminan sosial informal—mekanisme sosial berbasis komunitas dan keluarga—biasanya menjadi mekanisme bertahan bagi pekerja informal. Hal ini tak lepas dari kekuatan dari perlindungan sosial informal, seperti efektif menangani risiko idiosinkratik (individu dan keluarga), serta mengupayakan agar bantuan sosial lebih adil (Stavropoulou, Holmes, & Jones, 2017).
Namun, penelitian menunjukkan—lansia informal yang tidak memiliki aset kepemilikan rumah atau tanah, serta tidak memiliki anak yang mampu secara ekonomi, berada dalam posisi yang sangat rentan (Alfers et al, 2021)
Dalam masyarakat dengan tingkat informalitas tinggi, seperti Indonesia dengan lebih dari 50 persen penduduk bekerja di sektor informal, jaminan sosial informal dapat disebut lemah.
Tidak semua lansia memiliki jaringan sosial yang kuat, tidak semua memiliki anak yang cukup mampu mendukung mereka, dan tidak semua memiliki akses terhadap aset komunal yang dapat dimobilisasi.
Argumentasi: Jaminan Hari Tua Sejak Awal sebagai Buffer PerlindunganArgumen pertama sesuai dengan kebijakan yang dikemukakan dalam brief ini berpijak pada dua logika saling melengkapi.
Pertama, jaminan sosial hari tua yang dimulai sejak pekerja informal masih produktif dapat berfungsi sebagai buffer—dimana bertindak sebagai mekanisme perlindungan saat mereka memasuki usia lanjut atau menjadi nonproduktif.
Secara filosofis, program JHT dirancang untuk memberikan jaminan agar pekerja menerima uang tunai saat memasuki masa pensiun, mengalami cacat total tetap, atau meninggal dunia.
Dengan demikian, negara memiliki peran dalam memastikan bahwa ketika tenaga kerja mencapai usia tidak produktif dan kehilangan sumber penghasilan, mereka memiliki hasil tabungan dari iuran yang terkumpul selama masa kerja mereka.
Argumen kedua terkait pada aspek ekonomis dan keberlanjutan. Menurut BPJS Ketenagakerjaan, mayoritas pekerja informal yang masuk kategori rentan berada dalam desil 1 sampai desil 3—kategori sangat miskin, miskin, dan hampir miskin (Violleta, 2024).
Dengan pendapatan rata-rata yang sangat rendah dan penghasilan yang fluktuatif, membayara iuran JHT berimplikasi menjadi pertimbangan matang-matang bagi pekerja informal.
Selain itu, pekerja dengan pendapatan rendah dan risiko tinggi cenderung tidak memiliki keinginan untuk membayar jaminan sosial (Miti, Perkio, Metteri, & Atkins, 2021).
Oleh karena itu, tanpa intervensi pemerintah melalui bantuan iuran, pekerja informal akan terus tereksklusi dari program JHT, dan siklus keterjebakan kemiskinan multidimensi akan berlanjut.
REKOMENDASI KEBIJAKANRekomendasi ke-1: Perluasan Program Bantuan Iuran untuk Jaminan Hari TuaRekomendasi utama adalah memperluas skema bantuan iuran yang saat ini hanya mencakup JKK dan JKM untuk juga mencakup program JHT. Skema ini harus dirancang secara spesifik untuk pekerja rentan miskin, dengan kriteria kepesertaan yang jelas dan mekanisme pembiayaan yang terstruktur.
Kriteria eligibilitas harus berbasis pada Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN), dengan fokus pada pekerja rentan pada desil 1-4. Program dapat dimulai dengan target sekurang-kurangnya 50% dari pekerja rentan di setiap daerah, dengan rencana pencapaian 100% dalam jangka menengah. Adapun sumber pendanaan bantuan iuran untuk program JHT dapat berasal dari APBN atau APBD.
Rekomendasi ke-2: Integrasi dengan Program Bantuan Sosial yang Sudah BerjalanPada rekomendasi ini yakni mengintegrasikan skema subsidi iuran JHT dengan program bantuan sosial yang sudah ada, seperti Program Keluarga Harapan (PKH) atau Bantuan Sosial Tunai (BST). Melalui integrasi ini—pemerintah dapat mengalokasikan sebagian dari dana bantuan sosial untuk disetorkan ke rekening JHT atas nama penerima bantuan, tanpa menambah beban pengeluaran pemerintah secara signifikan.
Misalnya, ketika seseorang menerima bantuan sosial sebesar Rp 200.000 per bulan, pemerintah dapat secara otomatis mengalokasikan Rp20.000 untuk iuran JHT, sementara sisanya sebesar Rp180.000 diberikan kepada penerima.
Keuntungan model ini adalah: pertama, tidak menambah beban finansial penerima bantuan; kedua, otomatis dan mengurangi kompleksitas administratif; ketiga, dapat menjangkau jutaan keluarga yang sudah terdaftar dalam program bantuan sosial; dan keempat, menciptakan jalur yang jelas dari program bantuan sosial menuju proteksi hari tua yang berkelanjutan.
Catatan Penting: Arah Implementasi dan TahapanUntuk memastikan keberhasilan, implementasi kebijakan perluasan JHT melalui subsidi iuran harus dilakukan secara bertahap dan partisipatif.
Tahap pertama adalah pilot project di 5-10 kabupaten/kota yang dipilih berdasarkan tingkat kemiskinan tinggi dan populasi pekerja informal besar, serta dilakukan selama 1-2 tahun untuk menguji desain program, mekanisme pembiayaan, dan dampak terhadap partisipasi pekerja informal.
Tahap kedua adalah scaling up ke tingkat provinsi dan nasional, dengan pembelajaran dari pilot project dan adaptasi sesuai kondisi lokal. Dalam fase ini, perlu ada koordinasi intensif antara BPJS Ketenagakerjaan, pemerintah daerah, kementerian terkait, dan organisasi pekerja informal.
Tahap ketiga adalah integrasi penuh dengan sistem jaminan sosial nasional, di mana subsidi iuran JHT untuk pekerja informal rentan menjadi program strategis yang berkelanjutan dengan alokasi anggaran tetap di APBN dan APBD. Prasyarat keberhasilan adalah adanya political will yang kuat dari pemerintah pusat dan daerah, regulasi yang jelas, serta komitmen untuk monitoring dan evaluasi berkelanjutan.
PENUTUPPerluasan jaminan hari tua melalui program subsidi iuran bagi pekerja informal rentan adalah intervensi kebijakan perlu dipertimbangkan. Tanpa tindakan ini, jutaan pekerja Indonesia akan terus terjebak dalam siklus kemiskinan multidimensi ketika memasuki usia lanjut, dimana terpaksa bekerja dalam kondisi kesehatan yang menurun untuk mempertahankan penghasilan minimal.
Rekomendasi kebijakan yang diajukan—perluasan PBI untuk JHT dan integrasi dengan program bantuan sosial—adalah pilihan yang memungkinkan. Implementasi kebijakan ini diharapkan dapat meningkatkan cakupan perlindungan hari tua pekerja informal secara signifikan dalam beberapa tahun ke depan. Terakhir, investasi dalam perlindungan hari tua pekerja informal adalah investasi dalam pembangunan berkelanjutan, pengurangan kemiskinan dan perwujudan hak asasi manusia sesuai amanat konstitusi.



