Lampung Geh, Bandar Lampung - Kepala Dinas Kehutanan Provinsi Lampung, Yanyan Ruchyansyah, menyebut luas kawasan hutan di Lampung berdasarkan SK Menhutbun Nomor 256/Kpts-II/2000 tercatat sekitar 1.473.500 hektare.
Namun, berdasarkan hasil pengukuran terbaru, luas hutan Lampung tercatat sekitar 948.641 hektare atau setara 28,25 persen dari total daratan provinsi. Angka tersebut berada di bawah target nasional minimal 30 persen tutupan hutan di setiap provinsi.
“Ini bukan berkurang dari sebelumnya yang tercatat 1.004.735 hektare. Hanya saja, teknologi pengukuran sekarang berbeda. Secara umum luas hutan tidak berubah,” kata Yanyan.
Dari total luas hutan tersebut, pemanfaatan melalui skema perhutanan sosial baru mencapai sekitar 209.000 hektare.
“Kalau yang menjadi kewenangan provinsi, yakni tahura, hutan lindung, dan hutan produksi, itu sekitar 560.000 hektare. Dari jumlah itu, yang dimanfaatkan untuk perhutanan sosial baru 209.000 hektare,” ujarnya.
Yanyan menjelaskan, secara administratif kawasan hutan di Lampung terbagi dalam kewenangan taman nasional dan pemerintah provinsi.
Kawasan yang dikelola taman nasional meliputi Taman Nasional Way Kambas dengan luas sekitar 356.800 hektare dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan sekitar 130.000 hektare.
Sementara itu, kawasan hutan di bawah kewenangan pemerintah provinsi mencakup Taman Hutan Raya Wan Abdul Rachman seluas 22.245 hektare, hutan lindung seluas 317.615 hektare, serta hutan produksi yang terdiri dari hutan produksi tetap seluas 33.358 hektare dan hutan produksi terbatas seluas 191.732 hektare.
Dinas Kehutanan Provinsi Lampung mengimbau masyarakat, khususnya kelompok perhutanan sosial, untuk meningkatkan kewaspadaan terhadap aktivitas pembukaan lahan baru di kawasan hutan lindung sebagai langkah mitigasi bencana lingkungan.
Yanyan mengaku khawatir jika kerusakan hutan dan bencana lingkungan yang terjadi di sejumlah provinsi lain juga terjadi di Lampung.
“Saya sangat khawatir dengan kejadian di Sumatra Utara, Aceh, dan Sumatra Barat. Kalau sampai terjadi di sini, yang paling awal merasakan dampaknya itu adalah petani perhutanan sosial,” katanya.
Menurut Yanyan, kelompok perhutanan sosial banyak berada di kawasan hutan lindung sehingga menjadi pihak paling rentan jika terjadi bencana seperti banjir dan longsor.
Ia pun meminta masyarakat tidak melakukan pembukaan lahan baru dan aktif mengawasi lingkungan sekitar.
“Kalau menemukan ada aktivitas pembukaan lahan baru, kalau berani menghentikan, silakan dihentikan. Kalau tidak berani, segera laporkan. Karena mereka juga punya hak untuk menghentikan. Kalau tidak dihentikan, akibatnya mereka yang paling awal merasakan,” tegasnya.
Selain imbauan, Dinas Kehutanan juga melakukan patroli rutin serta pembinaan di kawasan rawan. Namun, keterbatasan jumlah personel menjadi tantangan tersendiri.
“Polisi kehutanan kita jumlahnya memang sedikit,” ujarnya.
Untuk memperkuat pengawasan, pihaknya memberdayakan masyarakat sebagai mitra polisi kehutanan.
Saat ini terdapat sekitar 130 hingga 150 penyuluh kehutanan swadaya masyarakat yang dilibatkan dalam pembinaan dan pendampingan.
“Kita berdayakan masyarakat agar mereka juga menjadi mitra polhut,” kata Yanyan.
Upaya mitigasi lainnya dilakukan melalui pemasangan papan peringatan di kawasan rawan serta pendekatan persuasif kepada masyarakat.
“Setidaknya ketika sudah ditemukan ada lahan garapan baru, kami memasang banner dan melakukan pengawasan,” ujarnya.
Dalam jangka panjang, Yanyan menekankan pentingnya legalisasi pengelolaan lahan sebagai upaya pencegahan kerusakan hutan.
“Yang belum berizin kita arahkan dulu untuk berizin. Setelah itu baru dilakukan pembinaan agar pola budidayanya sesuai,” pungkasnya. (Cha/Lua)




