VIVA – Upaya penulisan ulang sejarah nasional kembali menjadi perhatian publik. Menyikapi berbagai pertanyaan dan kekhawatiran yang muncul, Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia menegaskan bahwa penyusunan buku Sejarah Indonesia: Dinamika Kebangsaan dalam Arus Global dilakukan secara independen, transparan, dan berlandaskan kaidah ilmiah yang ketat. Proyek besar ini dirancang sebagai rujukan akademik sekaligus instrumen penting dalam memperkuat identitas kebangsaan di tengah arus globalisasi.
Direktur Jenderal Pelindungan Kebudayaan dan Tradisi, Restu Gunawan, menjelaskan bahwa peran Kementerian Kebudayaan tidak masuk ke wilayah substansi penulisan. Pemerintah disebut hanya bertindak sebagai fasilitator yang membuka ruang bagi para akademisi untuk bekerja secara profesional tanpa intervensi kepentingan politik praktis.
“Penentuan arah penulisan, penunjukan penulis, hingga pengawasan substansi sepenuhnya menjadi tanggung jawab editor bidang dan editor umum. Dengan mekanisme ini, kami memastikan buku memenuhi standar akademik dan kualitas ilmiah yang tinggi,” tegasnya, Minggu, 14 Desember 2025.
Lebih jauh, Restu menekankan bahwa penerbitan buku sejarah ini bukan sekadar proyek dokumentasi masa lalu, melainkan bagian dari strategi kebudayaan nasional untuk membangun karakter bangsa dan kesadaran kolektif masyarakat Indonesia.
“Penerbitan buku ini merupakan bagian integral dari upaya pemajuan kebudayaan nasional. Penyusunan buku ini menghasilkan 7.958 halaman dalam 11 jilid,” ujar Restu Gunawan.
Proses penulisan melibatkan ratusan sejarawan dari berbagai latar belakang keilmuan dan daerah. Seluruh penulis bekerja di bawah supervisi editor umum dan editor jilid yang berasal dari perguruan tinggi ternama di Indonesia. Pendekatan ini dilakukan untuk menjamin objektivitas, keberagaman sudut pandang, serta keterbukaan terhadap kritik akademik dan masukan publik.
Kredibilitas akademik buku ini semakin diperkuat dengan keterlibatan editor dari institusi seperti Universitas Indonesia, Universitas Gadjah Mada, Universitas Airlangga, Universitas Diponegoro, Universitas Hasanuddin, Universitas Andalas, hingga Masyarakat Sejarawan Indonesia. Keberagaman tersebut dinilai penting agar narasi sejarah tidak didominasi oleh satu perspektif tunggal.
Guru Besar Ilmu Sejarah Universitas Diponegoro, Singgih Tri Sulistiyono, menilai kehadiran buku ini sangat relevan dengan tantangan bangsa saat ini, terutama di tengah derasnya arus globalisasi, disrupsi digital, serta maraknya hoaks dan pseudosejarah.




