Zelenskyy Lepas NATO demi Damai, Kim Jong-un di Ambang Krisis: Peta Perang Global Berubah

erabaru.net
8 jam lalu
Cover Berita

EtIndonesia. Presiden Ukraina, Volodymyr Zelenskyy menggelar pertemuan tingkat tinggi dengan perwakilan Amerika Serikat dan Uni Eropa di Berlin untuk membahas jalan keluar politik guna mengakhiri perang Rusia–Ukraina yang telah berlangsung hampir tiga tahun. Dalam pertemuan tersebut, Ukraina secara resmi menyatakan kesediaannya melepaskan target bergabung dengan NATO, sebagai imbalan atas jaminan keamanan internasional yang mengikat secara hukum.

Pertemuan ini berlangsung pada 14 Desember, dan dihadiri oleh utusan khusus Amerika Serikat, Steve Witkoff, Jared Kushner—menantu Presiden AS, Donald Trump—serta para pemimpin Eropa. Kanselir Jerman, Friedrich Merz turut mendampingi Zelenskyy dalam forum Amerika–Eropa tersebut, yang dipandang sebagai salah satu momen diplomatik paling krusial sejak perang dimulai.

Ukraina Mengubah Arah Strategis

Dalam pernyataannya, Presiden Zelenskyy menegaskan bahwa keputusan untuk tidak lagi mengejar keanggotaan NATO diambil demi membuka peluang nyata bagi perdamaian.

Sebagai gantinya, Kyiv meminta jaminan keamanan dari Amerika Serikat, Uni Eropa, dan negara-negara sekutu, yang kekuatan hukumnya setara dengan Pasal 5 Piagam NATO, yakni klausul pertahanan kolektif. Jaminan tersebut diharapkan dapat menjadi mekanisme alternatif untuk melindungi Ukraina dari agresi di masa depan.

Langkah ini dinilai sebagai perubahan kebijakan strategis besar bagi Ukraina, sekaligus sebagian memenuhi salah satu tuntutan utama Rusia sejak awal konflik. Meski demikian, Zelenskyy menegaskan bahwa Ukraina tetap menolak menyerahkan wilayah kedaulatannya dan tidak akan mengakui pendudukan Rusia atas wilayah yang direbut sejak 2014.

Rencana Gencatan Senjata dan KTT Eropa

Saat ini, Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Ukraina tengah merumuskan rencana gencatan senjata sekitar 20 poin. Namun hingga kini, belum ada dialog langsung antara Ukraina dan Rusia.

Jerman dijadwalkan menjadi tuan rumah Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Eropa pada hari Senin mendatang, yang akan mempertemukan Zelenskyy dengan para pemimpin utama Eropa. KTT ini diharapkan menjadi forum penentu untuk mendorong proses negosiasi damai secara lebih konkret.

Isyarat Pemilu Ukraina Mulai Menguat

Dalam perkembangan penting lainnya, Presiden Zelenskyy telah memberi sinyal kepada anggota parlemen Ukraina (Verkhovna Rada) untuk bersiap menghadapi kemungkinan pemilu dalam waktu dekat.

Dia mengungkapkan telah menerima sinyal politik dari Presiden AS, Donald Trump terkait penyelenggaraan pemilihan presiden Ukraina.

“Apakah sinyal ini hanya datang dari Amerika Serikat, atau juga dari Rusia, saya belum ingin memberikan penilaian saat ini,” ujar Zelenskyy.

Hingga laporan ini disusun, pemerintah Rusia belum memberikan tanggapan resmi atas perkembangan tersebut.

Retaknya Hubungan Rusia–Korea Utara

Di tengah dinamika diplomasi Ukraina, hubungan Rusia dan Korea Utara juga menunjukkan tanda-tanda gesekan serius.

Pada 12 Desember, pemimpin Korea Utara, Kim Jong-un menyambut kepulangan Batalyon Zeni ke-528 Tentara Rakyat Korea, yang telah bertugas selama 120 hari di Rusia. Untuk pertama kalinya, Pyongyang secara terbuka mengakui bahwa pasukan Korea Utara dikirim ke Rusia selama perang Rusia–Ukraina.

Pasukan tersebut disebut menjalankan tugas berisiko tinggi, mulai dari pembersihan ranjau, operasi tempur, hingga pengepungan kota.

Namun, di balik pengakuan tersebut, muncul tudingan bahwa Rusia tidak menepati sejumlah janji awal kepada Korea Utara. Moskow disebut menahan bantuan teknologi strategis—termasuk teknologi rudal dan satelit, pasokan pangan dan minyak mentah, serta kesepakatan logistik militer senilai sekitar 130 miliar yuan.

Bahkan, Presiden Rusia Vladimir Putin dikabarkan menolak pembayaran penuh dengan alasan kontribusi militer Korea Utara dianggap terbatas, sekaligus membatasi transfer teknologi militer inti.

Senjata Tak Layak dan Hubungan Transaksional

Senjata yang diberikan Rusia juga dinilai tidak sesuai dengan postur tubuh prajurit Korea Utara, sehingga dianggap sebagai perlengkapan darurat yang kualitasnya rendah. Para analis menilai hal ini sebagai pukulan psikologis dan politik bagi Kim Jong-un.

Situasi tersebut memperkuat pandangan bahwa hubungan Rusia–Korea Utara bukan kemitraan strategis berbasis kepercayaan, melainkan hubungan transaksional yang bersifat sementara di tengah tekanan perang.

Kekhawatiran Serius atas Kesehatan Kim Jong-un

Sementara itu, Badan Intelijen Nasional Korea Selatan (NIS) pada 4 November menyatakan bahwa Kim Jong-un menghadapi risiko kesehatan serius, termasuk hipertensi, penyakit jantung, dan gangguan tulang belakang.

Meski masih terlihat melakukan inspeksi lapangan, para ahli memperingatkan bahwa jika Kim tiba-tiba jatuh sakit atau meninggal dunia, maka kendali atas militer dan senjata nuklir Korea Utara akan menjadi perhatian utama dunia internasional.

Kim Jong-un, yang lahir pada 1984, diketahui mengalami kelebihan berat badan ekstrem. Karena minimnya transparansi, intelijen Korea Selatan biasanya menilai kondisi kesehatannya dari durasi pidato, kualitas suara, dan frekuensi aktivitas publik.

Siapa Mengendalikan Nuklir Jika Terjadi Kekosongan Kekuasaan?

Para pakar menegaskan bahwa kendali militer dan keputusan nuklir Korea Utara tidak sepenuhnya berada di tangan keluarga Kim, melainkan pada Komisi Militer Pusat Partai Buruh Korea.

Menurut anggaran dasar partai, komisi ini memimpin kebijakan militer, komando perang, dan pengambilan keputusan strategis nuklir secara kolektif. Jika terjadi kekosongan kepemimpinan, kekuasaan militer diperkirakan akan diambil alih oleh wakil ketua Komisi Militer Pusat sebagai presiden sementara.

Saat ini, Pak Jong-chon disebut sebagai kandidat paling kuat, dengan kewenangan yang mencakup militer, intelijen, dan keamanan domestik.

Kesimpulan Strategis

Para analis menilai rangkaian perkembangan ini sebagai peringatan strategis bagi Kim Jong-un, sekaligus meningkatkan ketidakpastian dalam politik domestik dan diplomasi militer Korea Utara. Penurunan peran Pyongyang dalam kerja sama dengan Rusia lebih mencerminkan penyesuaian prioritas sumber daya perang Moskow, bukan perpecahan strategis jangka panjang.

Di sisi lain, keputusan Ukraina untuk mengorbankan ambisi NATO menandai fase baru dalam upaya mengakhiri perang, dengan Eropa dan Amerika Serikat kini berada di pusat penentuan arah perdamaian global.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Sutradara Rob Reiner dan Istrinya Ditemukan Tewas, Sang Anak Jadi Tersangka!
• 1 jam lalucumicumi.com
thumb
Dihadapan Presiden, Kepala BGN Ungkap Pekembangan Korban Tabrak Mobil SPPG
• 19 jam lalueranasional.com
thumb
Presiden Berencana Bentuk Satgas Rehabilitasi dan Rekonstruksi untuk Penanganan Pascabencana
• 11 jam lalukompas.tv
thumb
Aset PPDP Syariah Tembus Rp70,8 Triliun, OJK dan DMI Percepat Literasi Keuangan
• 1 jam laluwartaekonomi.co.id
thumb
Transformasi Transmigrasi Bagi Pertumbuhan Ekonomi
• 17 jam lalumetrotvnews.com
Berhasil disimpan.