Pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah 2024 memang telah berlalu. Tetapi bagi Ketua Komisi Pemilihan Umum atau KPU Mochammad Afifuddin, momentum itu menjadi masa-masa paling mendebarkan dalam penyelenggaraan pemilu. Bukan soal rekap suara atau protes dari kandidat, melainkan ketika Mahkamah Konstitusi mengetuk palu putusan uji materi Undang-Undang Pemilu di tengah tahapan pemilu yang sedang berjalan.
“Ketika putusan diketok di tengah tahapan, itu pusingnya minta ampun KPU ini. Harus cepat adaptasi dengan peraturan dan lain-lain,” kata Afifuddin saat ditemui di Mataram, Nusa Tenggara Barat, Selasa (9/12/2025) malam.
Ia menyebut, tahapan pemilihan umum (Pemilu) dan pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2024 sebagai masa “sport jantung” karena begitu mendebarkan. Putusan pengadilan, terutama dari MK, selalu menuntut respons yang cepat sekaligus tepat, sesuatu yang tidak mudah dilakukan ketika tahapan sudah bergerak.
Bagi Komisi Pemilihan Umum (KPU), setiap putusan MK bukan sekadar dokumen hukum biasa. Satu putusan dapat mengubah aturan main elektoral dan memaksa penyelenggara pemilu langsung menyesuaikan norma yang berubah. Bagaimanapun, putusan MK bersifat final dan mengikat, sehingga wajib dilaksanakan meskipun tahapan sudah berjalan jauh.
Afifuddin mencontohkan, setidaknya ada tiga putusan MK yang membuat KPU sempat kerepotan. Pertama, putusan 90/PUU-XXI/2023 tentang ketentuan usia calon presiden dan wakil presiden yang membuka peluang bagi seseorang yang belum berusia 40 tahun tetapi berpengalaman sebagai kepala daerah untuk maju sebagai capres/cawapres.
Putusan lainnya adalah putusan 60/PUU-XXII/2024 yang mengubah ambang batas pencalonan kepala daerah. Syarat yang semula mewajibkan partai atau gabungan partai memiliki 20 persen kursi DPRD kini bergeser menjadi cukup berbekal perolehan suara 6,5 persen hingga 10 persen dari total suara sah.
Selain itu, ada putusan 70/PUU-XXII/2024 yang menetapkan bahwa batas usia calon kepala daerah dihitung sejak pasangan calon ditetapkan. Putusan itu sekaligus menggugurkan putusan Mahkamah Agung yang sebelumnya menghitung usia pada saat pelantikan.
“Yang paling menantang itu selalu mempercepat tindak lanjut putusan, apalagi kalau datangnya di tengah tahapan,” kenang Afifuddin.
Padahal dalam teori demokrasi, pemilu yang sehat adalah pemilu yang proses atau tahapannya dapat diprediksi, tetapi hasil atau pemenangnya tidak dapat diprediksi. Ketidakpastian hasil adalah tanda kompetisi yang adil, tetapi ketidakpastian aturan justru menjadi sumber keruwetan.
Karena pengalaman itulah, Afifuddin merekomendasikan agar putusan MK yang lahir ketika tahapan sedang berjalan sebaiknya berlaku untuk pemilu berikutnya, bukan yang sedang berlangsung. Rekomendasi itu dapat dimasukkan dalam revisi UU Pemilu yang rencananya bakal mulai dibahas awal 2026 mendatang.
"Keberlakuan putusan MK yang diputuskan di tengah tahapan idealnya berlaku untuk pemilu atau pilkada selanjutnya," kata Afifuddin.
Ia juga berharap adanya kepastian hukum yang lebih kuat dalam penyelenggaraan pemilu dan pilkada ke depan. Ia menilai, pasal-pasal yang telah diputuskan oleh MK, termasuk seluruh pertimbangan hukumnya, harus menjadi rujukan utama dalam melakukan perubahan Undang-Undang Pemilu.
Selain itu, KPU menghadapi tantangan besar ketika harus memaknai pertimbangan MK dalam setiap putusannya. KPU kerap menemui ruang tafsir yang luas, baik dalam perkara pengujian undang-undang maupun dalam putusan perselisihan hasil pemilu dan pilkada. Belum lagi apabila terdapat perbedaan pemaknaan yang diberikan oleh Mahkamah Agung dan MK untuk satu norma yang sama.
Ketua Komisi II DPR Rifqinizamy Karsayuda menilai, persoalan pemilu Indonesia tidak bisa lagi dipandang sebagai masalah teknis semata. Setidaknya terdapat tiga masalah besar yang terus berulang dari satu pemilu ke pemilu berikutnya.
Pertama, penyelenggaraan tahapan pemilu masih buruk dan rentan terguncang setiap kali MK mengeluarkan putusan baru. Kedua, penyelenggara pemilu di berbagai tingkatan masih menghadapi persoalan profesionalitas dan integritas. Ketiga, regulasi kepemiluan semakin rumit dan berlapis-lapis sehingga menimbulkan banyak ruang tafsir.
Oleh karena itu, legislator dari Partai Nasdem itu menilai kebutuhan revisi UU Pemilu sudah tidak dapat ditunda lagi. Perubahan undang-undang tidak hanya penting untuk memperbaiki mekanisme kepemiluan, tetapi juga menjadi prasyarat untuk membangun demokrasi yang lebih partisipatif, akuntabel, dan berkeadilan.
Lebih jauh, ia menegaskan bahwa Komisi II DPR telah berdiskusi dengan pimpinan DPR dan pimpinan fraksi untuk memastikan agar revisi regulasi pemilu tidak berhenti pada UU Pemilu. Revisi juga harus turut menyentuh UU Pilkada, UU Partai Politik, UU tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD, serta undang-undang lain yang terkait.
Rifqi menilai kodifikasi hukum pemilu atau penyatuan seluruh norma pemilu dalam satu kitab hukum nasional merupakan langkah penting untuk mencegah fragmentasi antara UU Pemilu, UU Pilkada, dan peraturan pelaksana di bawahnya. Kodifikasi itu diharapkan mampu mengatasi sejumlah persoalan mendasar, seperti tumpang tindih kewenangan antar lembaga penyelenggara, inkonsistensi pengaturan sanksi dan pelanggaran, hingga minimnya ruang partisipasi publik dalam penyusunan peraturan KPU dan Bawaslu.
“Belum adanya kodifikasi peraturan pemilu yang utuh, sehingga dalam setiap pemilu melahirkan tafsir dan sengketa baru,” katanya.
Kodifikasi berarti proses pengumpulan dan penyatuan norma-norma hukum substantif yang tersebar dalam berbagai peraturan perundang-undangan dalam satu naskah hukum yang terpadu, sistematis, dan konsisten. Dalam konteks pemilu, kodifikasi yang dibayangkan Rifqi mencakup integrasi aturan tentang pemilu (Presiden/Wakil Presiden, DPR, DPD, DPRD), pilkada, penyelenggara pemilu (KPU, Bawaslu, DKPP), partai politik dan pendanaan, serta hak pilih dan sistem pemilu.
Model kodifikasi dalam penataan hukum pemilu juga menjadi salah satu rekomendasi Konferensi Nasional Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara dan Hukum Administrasi Negara (KNAPHTN-HAN), akhir pekan lalu. Bahkan, APHTN-HAN sudah membentuk tim kajian nasional tentang paket RUU Pemilu untuk kepentingan advokasi publik ke pembentuk undang-undang. Organisasi ini sudah menyiapkan sejumlah masukan yang siap dipaparkan ke Komisi II DPR.
"Komisi II DPR siap mengundang seluruh pihak untuk memberikan masukan terhadap revisi undang-undang di bidang pemilu. Kami akan memulai proses itu pada bulan pertama tahun depan dan menggelarnya secara intens setiap dua pekan sekali,” ujar Rifqi.
Pengajar Hukum Pemilu di Universitas Indonesia, Titi Anggraini, menilai, perubahan aturan main di tengah jalan saat Pemilu dan Pilkada 2024 tidak terhindarkan karena jelang pemilu dan pilkada itu, UU Pemilu tidak direvisi.
Padahal, banyak dinamika penyelenggaraan yang memerlukan penyesuaian agar sejalan dengan kebutuhan teknis yang ada di lapangan. Selain itu, stagnasi legislasi ini mengakibatkan masyarakat dan aktor politik mencari saluran lain untuk mengubah aturan, yakni melalui Mahkamah Konstitusi.
"Perubahan aturan di tengah jalan tidak bisa disalahkan sepenuhnya. Justru dalam banyak hal, perubahan tersebutlah yang berkontribusi menjaga kredibilitas integritas pemilu pemilu agar tidak terperosok makin dalam," kata Titi.
Ia pun mengingatkan, pembentuk undang-undang untuk belajar dari kejadian itu. Oleh karenanya, pembentuk UU perlu merevisi UU Pemilu jauh-jauh hari sebelum dimulainya tahapan pemilu. Dengan demikian, ada waktu yang cukup untuk melakukan pengujian konstitusionalitas norma tanpa mengganggu stabilitas tahapan pemilu.
Selain itu, semua Putusan MK harus diakomodir secara konsisten dan menyeluruh untuk menghindari inkonstitusionalitas norma. Pembentuk UU juga mesti berkomitmen untuk menghasilkan aturan main yang benar-benar sejalan dengan asas dan prinsip pemilu yang demokratis dan konstitusional.
Meski demikian, penundaan pemberlakuan putusan MK untuk pemilu berikutnya dimungkinkan, tetapi tidak dapat diterapkan secara menyeluruh. Pemberlakuan penundaan memungkinkan untuk putusan yang eksesnya besar dan memerlukan penyesuaian dalam skala luas. Adapun putusan yang bersifat self-executing dan dapat langsung dilaksanakan tanpa memerlukan peraturan pelaksana tambahan tetap harus langsung dilaksanakan.
Dalam praktiknya pun MK pernah beberapa kali membuat putusan yang pemberlakuannya secara langsung maupun di pemilu selanjutnya. Putusan yang berkaitan dengan syarat pencalonan mantan terpidana, persyaratan pindah memilih, maupun soal pemaknaan pemenuhan syarat usia tidak dilakukan penundaan pemberlakukan. Sedangkan putusan terkait ambang batas parlemen diberlakukan untuk pemilu selanjutnya.
"Mahkamah Konstitusi harus cermat mempertimbangkan implikasi putusannya terhadap tahapan karena beberapa perkara memang memerlukan penundaan pemberlakuan," kata Titi.



