JAKARTA, KOMPAS.com – Meski berbagai upaya hukum telah ditempuh melalui mekanisme yudisial, penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat di masa lalu, hasilnya masih jauh dari harapan untuk memberikan keadilan substantif bagi korban dan keluarganya.
Hingga kini, tidak ada satu pun pelanggar HAM berat yang dijatuhi hukuman dalam sejumlah perkara yang telah disidangkan. Hal ini menegaskan adanya hambatan struktural dan teknis yang sangat besar dalam penegakkan kasus hukum terhadap pelaku pelanggar HAM berat di Tanah Air.
Nihil Vonis: Kegagalan Empat KasusKementerian Hak Asasi Manusia (KemenHAM) mengungkapkan, hingga kini Indonesia telah menguji empat kasus pelanggaran HAM berat melalui mekanisme peradilan. Keempat kasus itu yakni tragedy Timor Timur, Abepura, Tanjung Priok dan Paniai.
Namun, seluruh proses peradilan terhadap keempat kasus tersebut berakhir tanpa adanya vonis bersalah kepada pelaku.
Baca juga: KemenHAM: Diakui atau Tidak, Kasus Pelanggaran HAM Berat hingga Kini Belum Selesai
Direktur Jenderal Pelayanan dan Kepatuhan HAM KemenHAM, Munafrizal Manan menyoroti persoalan ini dalam peluncuran dan publikasi peta jalan penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat di Jakarta, Senin (15/12/2025).
var endpoint = 'https://api-x.kompas.id/article/v1/kompas.com/recommender-inbody?position=rekomendasi_inbody&post-tags=KemenHAM, keadilan korban, Penegakan Hukum, pelanggaran HAM berat&post-url=aHR0cHM6Ly9uYXNpb25hbC5rb21wYXMuY29tL3JlYWQvMjAyNS8xMi8xNi8xMjI2MTY3MS9tZW5nYXBhLXBlbmFuZ2FuYW4ta2FzdXMtaGFtLWJlcmF0LWRpLWluZG9uZXNpYS1zZWxhbHUtZ2FnYWwtaHVrdW0tcGVsYWt1&q=Mengapa Penanganan Kasus HAM Berat di Indonesia Selalu Gagal Hukum Pelaku?§ion=Nasional' var xhr = new XMLHttpRequest(); xhr.addEventListener("readystatechange", function() { if (this.readyState == 4 && this.status == 200) { if (this.responseText != '') { const response = JSON.parse(this.responseText); if (response.url && response.judul && response.thumbnail) { const htmlString = `“Nah, kita ini untuk Indonesia, kita menghadapi suatu kondisi (yaitu) sudah pernah memulai penyelesaian yudisial untuk 4 kasus,” kata Munafrizal.
“Tapi, penyelesaian yudisial yang pada akhirnya tidak ada pelaku yang dihukum,” imbuhnya.
Diakuinya, kondisi ini memunculkan pertanyaan serius dari korban dan keluarganya atas keadilan yang seyogyanya mereka terima dari ruang sidang.
Meskipun negara telah melaksanakan prosedur hukum formal sesuai mekanisme yang berlaku, namun akhirnya pengadilan belum mampu menjawab harapan korban dan keluarganya.
“Artinya, itu pun dalam perspektif keadilan, orang-orang dan keluarganya juga mungkin akan bertanya,apakah penyelesaian yudisial seperti itu,” ujarnya.
Standar Pembuktian Tinggi Jadi Hambatan UtamaMunafrizal menyebut persoalan pembuktian menjadi tembok penghalang terbesar dalam penyelesaian kasus pelanggaran HAM berat. Sebagai tindak pidana khusus (extraordinary crime), perkara HAM berat menuntut standar pembuktian yang tinggi, jauh melampaui keraguan yang wajar (beyond reasonable doubt).
“Untuk bisa menghukum orang itu kan harus beyond reasonable doubt, jadi tidak boleh ada keraguan. Nah, lembaran pembuktian itulah yang dihadapi oleh penegak hukum, sulit ya,” jelasnya.
Baca juga: Keluarga Korban Minta Komnas HAM Tetapkan Tragedi Kanjuruhan Sebagai Pelanggaran HAM Berat
Kesulitan pembuktian ini diperparah oleh waktu, mengingat peristiwa pelanggaran HAM berat umumnya terjadi puluhan tahun silam. Bukti-bukti peristiwa pun kerap hilang, saksi kunci yang menua bahkan meninggal dunia, hingga pembuktian rantai komando atau tanggung jawab atasan membuatnya persoalan ini kian kompleks.
Persoalan inilah yang kemudian menjadi factor utama 12 kasus pelanggaran HAM berat masa lalu hingga kini masih menggantung, baik oleh Kejagung maupun Komnas HAM.
“Lagi-lagi persoalannya itu adalah kalau kita simak apa yang dismpaikan, baik oleh Komnas HAM maupun oleh Kejaksaan Agung, yang kita sebut dengan istilah perkara itu, ujung-ujungnya soal pembuktian,” ucapnya.





