JAKARTA, KOMPAS – Tahun ini pemerintah menetapkan 85 cagar budaya peringkat nasional. Jumlah itu merupakan yang terbanyak sejak ditetapkan pada 2013. Penetapan status ini diharapkan tidak sebatas simbol, tetapi diikuti dengan pemanfaatan bagi masyarakat seiring dengan upaya pelestariannya.
Sejumlah 85 cagar budaya nasional yang baru ditetapkan berasal dari 27 provinsi. Dengan tambahan itu, total saat ini Indonesia mempunyai 313 cagar budaya nasional. Bentuknya beragam, seperti bangunan, struktur, situs, benda, dan kawasan yang punya nilai penting bagi sejarah, pengetahuan, dan kebudayaan.
Menteri Kebudayaan Fadli Zon mengatakan, potensi cagar budaya nasional jauh lebih banyak daripada yang telah ditetapkan. Hal itu ia sampaikan dalam “Apresiasi Cagar Budaya Peringkat Nasional 2025”, di Jakarta, Selasa (16/12/2025).
Dalam kegiatan itu, ia menyerahkan sertifikat cagar budaya nasional kepada perwakilan pemerintah provinsi. Fadli didampingi oleh Wakil Menteri Kebudayaan Giring Ganesha serta Direktur Jenderal Pelindungan Kebudayaan dan Tradisi Kementerian Kebudayaan Restu Gunawan.
“Setelah penetapan adalah bagaimana kita melakukan pelindungan, pemanfaatan, pengembangan, dan pembinaan sesuai dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2017 (tentang Pemajuan Kebudayaan),” ujarnya.
Menurut Fadli, masih banyak aset penting kebudayaan di Tanah Air yang belum teregistrasi sebagai cagar budaya nasional. Jumlahnya bukan hanya ratusan, tetapi ribuan. Oleh sebab itu, pihaknya akan mengekselerasi pendataannya.
Ia mencontohkan, Istana Maimun di Medan, Sumatera Utara dan Masjid Raya Baiturrahman di Aceh, baru ditetapkan menjadi cagar budaya nasional tahun ini. Padahal, menurut dia, keduanya sudah layak untuk mendapatkan status tersebut sejak dulu.
Salah satu kendala yang dihadapi selama ini adalah masalah administrasi. Penetapan cagar budaya nasional melalui proses di tingkat kabupaten/kota dan provinsi. Namun, belum semua daerah mempunyai tim ahli cagar budaya (TACB). Padahal, proses penetapannya membutuhkan kajian, riset, dan naskah akademik dari sejumlah ahli.
“Kuantitas (penambahan jumlah cagar budaya nasional) menurut saya penting karena memang kita ini termasuk agak tertinggal dalam pendataan cagar budaya,” ucapnya.
Menetapkan itu gampang. Setelah itu, apa berikutnya? Apakah bagi masyarakat atau pihak yang memilikinya ada nilai tambah untuk mereka?
Akan tetapi, peningkatan kualitas cagar budaya juga tak kalah penting. Salah satunya adalah dengan mengoptimalkan pemanfaatannya, termasuk mendorong ekonomi budaya. Dengan begitu, cagar budaya berdampak terhadap kesejahteraan warga lewat berbagai sektor, seperti ekonomi kreatif dan wisata.
Fadli mendorong pemerintah provinsi dan kabupaten/kota untuk membentuk TACB. Pihaknya bersedia menggelar pelatihan dan sertifikasi TACB di tingkat daerah sehingga dapat mengoptimalkan proses registrasi dan risetnya.
Dari 85 cagar budaya nasional yang baru ditetapkan, paling banyak berasal dari Provinsi DI Yogyakarta dengan 28 cagar budaya. Beberapa di antaranya adalah Museum Pusat TNI AD Dharma Wiratama, Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Daerah DI Yogyakarta, Pesanggrahan Ambarrukmo, Situs Makam Raja-Raja Mataram Islam di Imogiri, dan sejumlah arca.
Sementara itu, terdapat 10 cagar budaya nasional yang berasal dari Jawa Barat, di antaranya, struktur Jembatan Cirahong, Gedung Indonesia Menggugat, Rumah Inggit Garnasih, Aula Barat dan Aula Timur Institut Teknologi Bandung, serta Prasasti Batu Tulis. Adapun yang berasal dari Papua adalah Situs Megalitik Tutari Doyo Lama, Gereja Tua Asei, Tugu Peringatan Pendaratan Tentara Sekutu, dan Tugu MacArthur.
Ketua TACB Nasional Surya Helmi berharap status cagar budaya nasional tidak berhenti pada penetapannya. “Menetapkan itu gampang. Setelah itu, apa berikutnya? Apakah bagi masyarakat atau pihak yang memilikinya ada nilai tambah untuk mereka? Dalam UU (Cagar Budaya) disebutkan (pemanfaatannya) untuk kesejahteraan masyarakat. Itu yang belum tercapai,” jelasnya.
Surya menambahkan, penetapan cagar budaya nasional dilakukan secara selektif. Oleh sebab itu, prosesnya membutuhkan berbagai kajian dari sejumlah ahli. Keberadaan TACB tingkat daerah sangat penting untuk mendukung prosesnya. Namun, belum semua daerah mempunyai TACB.
“Baru sekitar 40 persen (kabupaten/kota) yang memiliki TACB. Selain itu, butuh kebijakan pemerintah seperti keringanan pajak (untuk memanfaatkan cagar budaya) dan dukungan untuk melestarikannya. Minimal itu dulu,” katanya.
Menurut Surya, status cagar budaya nasional menjadi kebanggan bagi pemiliknya. Status itu juga mesti dibarengi dengan tanggung jawab untuk memanfaatkannya bagi masyarakat yang sejalan dengan upaya melestarikannya.
“Perlu adanya terobosan-terobosan. Peringkat nasional itu jangan hanya sebagai simbol. Namun, bagaimana agar bisa memanfaatkan dan mengembangkannya,” katanya.
Sebelumnya, Kementerian Kebudayaan juga menetapkan 514 warisan budaya tak benda (WBTB) Indonesia 2025. Penetapan ini melalui proses penilaian yang melibatkan pemerintah daerah, komunitas budaya, akademisi, dan tim ahli WBTB Indonesia.
Dengan penetapan tersebut, total saat ini terdapat 2.727 WBTB Indonesia. Restu Gunawan berharap warisan budaya itu diusulkan kepada Kementerian Hukum untuk ditetapkan menjadi kekayaan intelektual.
“Banyaknya WBTB Indonesia tidak boleh hanya berhenti pada status penetapan saja. Ini sejalan dengan UU Nomor 5 Tahun 2017 tentang Pemajuan Kebudayaan yang mengamanatkan pentingnya tindak lanjut dan aksi nyata,” tuturnya.




/https%3A%2F%2Fcdn-dam.kompas.id%2Fphoto%2Fori%2F2025%2F12%2F13%2Fc6d6664e-6c4d-4fa5-9574-6ae861ff07b5.jpg)