Bencana tak hanya menyisakan pilu dan duka, tetapi juga sunyi berkepanjangan bagi mereka yang hidup di wilayah terisolasi. Tanpa listrik, jaringan, serta air bersih dan logistik yang cukup, warga berjibaku dengan keterbatasan untuk bertahan hidup sehari-hari.
Sore itu, Cut Anwar (46) memandang gerimis dari rumah berdinding kayu di Desa Lut Jaya, Kecamatan Rusip Antara, Aceh Tengah. Namun, itu bukan rumahnya, melainkan milik kerabat yang menjadi tempat Anwar dan keluarga mengungsi sementara. Rumah pria dengan dua anak itu hanyut disapu banjir dan longsor pada 26 November lalu, hingga tak menyisakan satu pun puing untuk berteduh.
”Hampir habis. Menipis sudah,” tutur Anwar, Sabtu (13/12/2025), soal bantuan yang diterima sepekan sebelumnya. Ia sempat menerima 5 kilogram beras, 250 gram gula, dan 10 bungkus mi instan. Selanjutnya, ia hanya bisa mengandalkan warga lain yang melintas untuk menitip sejumlah kebutuhan yang dibeli di Pameu, wilayah Kecamatan Rusip Antara yang berbatasan dengan Geumpang, Kabupaten Pidie.
Perjalanan menuju Pameu pun tak mudah. Warga harus menempuh puluhan kilometer dengan banyak titik longsor. Jalanan berlumpur dan aspal yang ambles memaksa warga bertaruh nyawa. Namun, karena tak punya pilihan, warga terpaksa berjalan kaki atau mengorbankan sepeda motor mereka untuk menembus lumpur guna mencari logistik.
Perjalanan ekstrem itu turut dialami Ananda (35), warga Burni Bius, Kecamatan Silih Nara, yang berjalan kaki menuju Pameu, Kecamatan Rusip Antara. Ia berangkat dari rumahnya selepas subuh untuk menjemput adiknya di Banda Aceh. Saat ditemui pada Sabtu (13/12/2025) pukul 15.30 WIB, ia masih berada di Desa Lut Jaya yang berjarak puluhan kilometer dari Pameu dengan kondisi jalanan yang rusak.
”Ini saya menuju ke daerah Pamar (atau Pameu). Kemarin, sepeda motor saya tinggal di Pamar dan mau jemput adik di Banda (Aceh) karena enggak ada akses jalan lain,” kata Ananda sambil terengah. Ia menargetkan tiba di Pameu sebelum pukul 19.00 WIB agar dapat segera melanjutkan perjalanan ke Banda Aceh menggunakan sepeda motor.
Tak hanya Ananda, warga lain pun banyak memilih berjalan kaki karena terdesak keadaan. Kondisi medan yang ekstrem dan minimnya pasokan bahan bakar minyak memaksa mereka berjalan kaki berjam-jam atau bahkan berhari-hari untuk memenuhi berbagai kebutuhan atau menemui keluarga mereka yang tinggal di wilayah lain.
Selain akses yang terputus di segala sisi, desa-desa di wilayah Kecamatan Rusip Antara juga belum tersentuh listrik dan jaringan seluler sejak bencana terjadi. Selama hampir tiga pekan, warga hidup dalam gelap dan sunyi. Mereka hanya bisa mengandalkan genset di posko, kantor desa, atau warung untuk mengisi daya listrik perangkat elektronik mereka.
Fenomena antrean warga yang ingin mengisi daya listrik terlihat di kantor Desa Pilar Wih Kiri, Minggu (14/12/2025) sore. Warga yang didominasi ibu-ibu dan remaja perempuan tampak berkerumun di depan kantor kepala desa. Mereka berbincang dan bergurau sembari menunggu perangkat elektronik mereka—seperti ponsel, power bank, senter, dan semprotan untuk bertani—terisi penuh.
Pengurus Desa Pilar Wih Kiri memfasilitasi warga yang ingin mengisi daya listrik setiap hari Minggu dan Rabu pukul 15.00-18.00 WIB dengan tarif Rp 5.000 per dua ponsel dan gratis untuk senter. Mereka tak mampu memfasilitasi warga setiap hari karena bahan bakar minyak pun masih langka. Oleh karena itu, warga harus pandai mengatur pola pemakaian.
Ketika baterai ponsel penuh, warga juga belum tentu bisa berkomunikasi dengan dunia luar karena jaringan seluler masih lumpuh. Beberapa desa menyediakan layanan internet satelit sehingga warga tetap bisa mengakses internet tanpa jaringan seluler. Namun, dengan kondisi puluhan warga berebut koneksi, internet satelit pun sering kali tidak bisa diandalkan karena jumlah pengguna melebihi kapasitas.
Bencana menjebak warga Kecamatan Rusip Antara dari segala sisi. Tidak hanya dihadang puluhan titik longsor untuk menuju ke Pameu, akses menuju Takengon pun buntu. Jembatan Pelang di Kecamatan Silih Nara yang menjadi akses utama menuju Takengon terputus. Saat ini, warga harus bertaruh nyawa dengan menyeberang menggunakan tali sling atau menerobos derasnya aliran sungai dengan berjalan kaki.
Siang itu, Minggu (14/12/2025), menjadi momen tak terlupakan bagi Sri Rahmayani (24). Ia yang baru melahirkan bayi beberapa hari sebelumnya harus menyeberangi jembatan yang putus untuk mengungsi ke rumah orangtuanya. Karena tak ada pilihan lain, Sri harus menyeberang menggunakan tong plastik yang diikat pada tali sling. Setelah ia dan suaminya menyeberang, bayinya pun terpaksa menyeberang dengan cara yang sama dalam pelukan bibinya.
Jembatan Pelang menjadi urat nadi mobilitas warga Silih Nara dan Rusip Antara untuk menuju Takengon. Secara swadaya, warga pun membangun penyeberangan alternatif penuh risiko menggunakan tali sling. Dengan cara ini, warga bisa menyeberangkan barang hingga sepeda motor dengan tarif Rp 50.000. Jika arus sungai tak terlalu deras, warga pun bisa menyeberang sungai dengan berjalan kaki.
Selain menggunakan sling, warga juga menyediakan jasa penyeberangan sepeda motor langsung melalui sungai. Jika arus sedang bersahabat, warga bergotong royong meggotong sepeda motor dengan beberapa bilah kayu hingga sampai ke seberang. Meski sangat berisiko tersapu arus sungai, opsi ini kerap dipilih warga karena lebih murah.
Hidup penuh risiko harus dijalani warga Aceh Tengah karena penanganan bencana yang belum maksimal. Hingga Selasa (16/12/2025) atau tiga pekan pascabencana, tercatat masih ada 103 titik longsor di Provinsi Aceh yang belum tertangani. Petugas masih berjibaku memperbaiki 16 jembatan yang terputus dan salah satu di antaranya sudah tersambung.
Saat ini, petugas masih fokus memperbaiki infrastruktur jembatan yang putus dan badan jalan yang ambles. Dari total 16 jembatan nasional yang putus, 5 jembatan yang menjadi akses utama antarkabupaten sedang diperbaiki. Balai Pelaksanaan Jalan Nasional (BPJN) Aceh juga masih mempersiapkan pemasangan jembatan bailey di titik-titik lain. Sebanyak 9 unit jembatan bailey sudah tiba di Aceh dan 7 unit lainnya masih dalam proses pengiriman (Kompas.id 16/12/2025).
Warga bantu warga. Setidaknya, itu yang bisa diandalkan para korban ataupun mereka yang terdampak efek domino dari runtutan bencana yang melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada akhir November 2025. Terputusnya akses membuat banyak warga terdampak krisis logistik dan terancam kelaparan. Namun, solidaritas antarwarga selalu menjadi jalan keluar di tengah lambannya penanganan bencana oleh pemerintah.
Asap selalu mengepul dari dapur umum di Desa Rusip, Rusip Antara, Aceh Tengah. Di sana, warga yang didominasi ibu-ibu bahu-membahu mengolah bahan makanan yang ada untuk para warga dan relawan yang rutin menyalurkan bantuan logistik ke desa-desa di sekitarnya, bahkan hingga ke Takengon. Lewat keberadaan dapur umum ini, warga dilarang kelaparan. Mereka menyajikan menu makanan tiga kali sehari.
Desa Rusip sendiri menjadi salah satu pos penyaluran bantuan logistik yang masuk melalui jalur Geumpang-Pameu menuju wilayah Aceh Tengah. Jalur kemanusiaan ini semakin terbuka lebar berkat kerja sama para relawan yang terdiri atas sejumlah komunitas. Mereka menyalurkan berton-ton beras, bahan bakar minyak, dan sejumlah kebutuhan pokok lain secara estafet dibantu para prajurit TNI.





