Keserakahan di Tanah Sumatra : Bencana atau Musibah?

mediaindonesia.com
3 jam lalu
Cover Berita

BENCANA tanah longsor dan banjir bandang yang meluluhlantakkan Sumatra pada akhir November 2025 bukan sekadar musibah alam, melainkan keserakahan manusia yang merusak ekosistem hutan hulu DAS. Lereng-lereng yang sudah lama gundul akibat penebangan liar telah kehilangan daya tahannya setelah dibabat belasan hingga puluhan tahun.

Tanah mulai bergerak tanpa peringatan, sungai berubah menjadi arus ganas yang menyeret apa pun di jalurnya, dan dalam beberapa jam desa- desa tenggelam ditelan banjir. Hingga Selasa, 16 Desember 2025, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) telah mencatat 1.053 orang meninggal dunia, 200 hilang, dan lebih dari 5.000 luka-luka.

Keserakahan itu terlihat dari konversi hutan lindung menjadi perkebunan sawit dan tambang, yang menghilangkan penahan air alami. Akibatnya, curah hujan ekstrem dari siklon tropis Senyar berubah menjadi bencana yang mematikan.

Baca juga : Dinas PUPR Padang Terjunkan 70 Alat Berat, 350 TRC Sepanjang Masa Tanggap Darurat

Dampak bencana Sumatra

Di Aceh Tamiang, warga bertahan tanpa listrik, tanpa air bersih, dan tanpa akses medis yang memadai. Anak-anak minum air hujan, sedangkan orang dewasa memungut barang-barang yang tersisa dari reruntuhan rumah mereka. Korban mencapai 449 jiwa meninggal dunia dan 31 orang hilang.

Daerah-daerah yang terkena dampak seolah menjadi daftar area pembantaian ekologis di Aceh Utara, seperti Agam, Tapanuli Tengah, Aceh Tamiang, dan lainnya.

Di Sumatra Utara korban terbesar berasal dari Tapanuli Tengah sedikitnya 102 jiwa gugur dari wilayah yang telah lama digerogoti aktivitas ilegal penebangan hutan dan perluasan perkebunan. Demikian pula di Agam, Sumbar, sedikitnya 179 warga meninggal akibat galodo yang menghantam permukiman. 

Baca juga : BRI: Relaksasi KUR agar Nasabah Tidak Terbebani

Bekas-bekas jalur air kini terlihat jelas di lereng bukit yang telah gundul. Semua itu memperlihatkan bagaimana bencana ini memegang kepentingan ekonomi dan politik yang mengabaikan batas lingkungan pelestarian hutan.

Pemerintah pusat melalui Kementerian Kehutanan sempat menyatakan bahwa kayu gelondongan yang berserakan di aliran banjir Sumatra 'tumbang secara alami'. Namun pernyataan itu segera terbantahkan oleh sejumlah foto dan dokumentasi warga di lapangan memperlihatkan batang-batang pohon dengan potongan rapi, bukan hanya patahan alami yang jelas merupakan hasil pembalakan. 

Potongan lurus, permukaan halus, dan sudut potong yang presisi menjadi bukti bahwa pohon-pohon itu bukan roboh karena longsor, melainkan sengaja ditebang jauh sebelum bencana terjadi.

Pernyataan resmi pemerintah pun tampak tidak lebih dari upaya menutup nutupi kerusakan ekologis yang sesungguhnya sudah berlangsung lama. Pernyataan Kemenhut dianggap bukan pembelaan ilmiah, melainkan upaya meminimalisasi tanggung jawab atas pengawasan lemah terhadap pembalakan liar.

Status bencana nasional

Ironisnya, di tengah skala kehancuran yang masif, pemerintah pusat masih menunjukkan keengganan untuk menetapkan status bencana nasional. Alasan yang dilontarkan bahwa daerah masih mampu menangani terdengar sinis dan mencederai rasa kemanusiaan. 

Pernyataan tersebut kontras tajam dengan realitas di lapangan saat akses jalan yang terputus total, infrastruktur jembatan hancur lebur, listrik padam, dan bantuan logistik terlambat tiba. Keengganan ini jelas memperlihatkan bahwa respons negara terhadap tragedi kemanusiaan masih terjebak dalam pertimbangan birokrasi dan tarik-ulur administratif, alih-alih berlandaskan pada kecepatan dan urgensi kebutuhan korban.

Keserakahan ini membuat tanah Sumatra mengundang bencana buatan karena hilangnya gotong royong alam dan hutan. Ini sekaligus sebagai peringatan terakhir bahwa tanpa perbaikan tata kelola lingkungan, konservasi yang diperkuat, dan penindakan tegas terhadap perusak hutan, tragedi  hanya akan menjadi pembuka dari rangkaian bencana buatan berikutnya, bukan musibah alam. 

Kemenhut harus berhenti bersembunyi di balik narasi teknis dan mulai transparan, termasuk membuka audit kayu gelondongan yang terbukti berasal dari pembalakan liar. Kita tidak boleh lagi menerima narasi 'musibah alam' dari pemerintah yang gagal menjaga hutannya. 

Indonesia harus segera membangun paradigma kehutanan berbasis ekologi adat, bukan kapital yang rakus dan membutakan hingga keadilan sosial yang diamanatkan Pancasila tidak akan pernah terwujud. Hanya dengan begitu, Sumatra Barat, Sumatra Utara dan Aceh dapat terbebas dari malapetaka yang selama ini diciptakan tangan manusia sendiri.

 

 


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
KPK Sebut Korupsi Kuota Haji Rugikan Negara Rp 1 Triliun, Kubu Yaqut: Klaim Prematur dan Tak Berdasar
• 7 jam laluliputan6.com
thumb
Harga BBRI naik sekitar 48 kali lipat sejak melantai di BEI pada 2003
• 21 jam laluantaranews.com
thumb
Rawan Alami Lonjakan Permintaan Saat Natal, Sulut Mendapat Tambahan Elpiji 3 Kg
• 3 jam lalukompas.id
thumb
Diduga Pakai Ponsel Lipat China, Adik Kim Jong Un Bisa Dianggap Langgar Sanksi PBB
• 21 jam laluinsertlive.com
thumb
29-31 Desember Diusulkan WFA Biar Kerek Ekonomi Nataru
• 10 jam lalukumparan.com
Berhasil disimpan.