JAKARTA, KOMPAS — Wacana pemilihan kepala daerah atau pilkada melalui DPRD dinilai menggerus demokrasi lokal. Alasan politik berbiaya tinggi, termasuk maraknya korupsi kepala daerah, dianggap tidak dapat menjadi pembenar skema tersebut. Politik berbiaya tinggi justru mencerminkan kegagalan partai politik dalam menjalankan fungsi kaderisasi dan rekrutmen.
Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Herman N Suparman dalam diskusi ”Refleksi Implementasi Otonomi Daerah Tahun 2025” di Jakarta, Rabu (17/12/2025), mengatakan, pilkada lewat DPRD akan melemahkan demokrasi lokal.
Sebab, pilkada yang semula merupakan mandat rakyat daerah akan dialihkan ke elite lokal di daerah, yang belum tentu mewakili suara rakyat di daerah tersebut. ”Ini suatu kemunduran demokrasi yang luar biasa,” ujar Herman.
Dalam diskusi itu, hadir Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Dirjen Otda Kemendagri) Akmal Malik, Kepala Pusat Riset Pemerintahan Dalam Negeri BRIN Mardyanto W Tryatmoko, Direktur Eksekutif Asosiasi Pemerintah Kota Seluruh Indonesia (Apeksi) Alwis Rustam, anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhammad Khozin, dan Dewan Pakar Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Anton J Supit.
Rakyat kehilangan mekanisme reward-punishment elektoral.
Herman menambahkan, selain pelemahan demokrasi lokal, beberapa dampak lain apabila skema pilkada lewat DPRD itu terjadi. Salah satunya, distorsi representasi DPRD. Sebab, DPRD akan lebih mewakili kepentingan partai dibandingkan masyarakat di daerah.
Hal lain adalah akuntabilitas publik akan melemah. Ketika kepala daerah dipilih DPRD, maka yang bersangkutan akan bertanggung jawab ke DPRD, bukan lagi ke rakyat. ”Rakyat kehilangan mekanisme reward-punishment elektoral,” ucap Herman.
Dampak paling serius, menurut Herman, ialah kepala daerah akan kehilangan basis mandat. Legitimasi kepala daerah menjadi lemah. Kepala daerah juga menjadi mudah ditekan oleh DPRD dan pusat.
Herman menyayangkan wacana pilkada langsung juga disampaikan Presiden Prabowo Subianto pada perayaan hari ulang tahun ke-61 Partai Golkar, 5 Desember 2025. Saat itu, Presiden menyatakan dukungannya terhadap usulan Golkar agar pilkada dilakukan kembali melalui DPRD karena sistem demokrasi Indonesia dianggap perlu menyesuaikan dengan kondisi lokal dan meminimalkan beban biaya politik yang besar.
Padahal, Herman berpandangan, akar masalah dari biaya politik yang tinggi bukanlah akibat dari pilkada langsung. Dari catatan KPPOD, biaya politik mahal merupakan buah dari kegagalan partai politik, baik terkait perekrutan, kaderisasi, dan kebijakan pendanaan parpol sendiri.
”Bayangkan kalau parpol itu sukses melahirkan kader-kader yang dikenal masyarakat, itu enggak akan membutuhkan biaya politik yang mahal. Kan, praktiknya, menjelang pilkada, baru dimunculkan calon-calon dan ini berdampak pada biaya politik tinggi. Selain itu, relasi patron client, di mana calon mendekati orang-orang bermodal, relasi itu berdampak pada relasi kuasa pacapemilihan,” kata Herman.
Hal ini terbukti dari kasus korupsi baru-baru ini yang menjerat Bupati Lampung Tengah Ardito Wijaya. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mengungkapkan, uang korupsi Bupati Ardito digunakan olehnya untuk membayar utang kampanye semasa Pilkada 2024.
Atas semua pertimbangan tersebut, KPPOD menolak wacana pilkada lewat DPRD. KPPOD merekomendasikan pilkada tetap langsung. Namun, tetap diperlukan reformasi tata kelola partai, demokratisasi internal, kaderisasi berjenjang, desentralisasi struktur partai, serta pendanaan parpol.
”Kami tetap percaya pemilihan langsung oleh masyarakat sebetulnya menjaga satu-satunya harta karun negara kita sekarang. Di penyelenggaraan pemerintahan daerah, yang aksesnya sudah tertutup dari masyarakat, satu-satunya yang dimiliki masyarakat adalah pemilihan langsung,” ujar Herman.
Direktur Eksekutif Apeksi Alwis Rustam juga menyatakan penolakan serupa. Ia khawatir, jika pemilihan bupati dan wali kota nantinya lewat DPRD, ke depan gubernur akan dipilih oleh presiden. Senada dengan Herman, menurut Alwis, skema pilkada lewat DPRD ini tidak menjawab problem politik berbiaya tinggi saat ini.
”Padahal, problem kita di sistem. Harusnya yang perlu dipikirkan, bagaimana biaya politik kita tidak boros, jangan culas. Untuk sampai ke sana, ya dibahas bersama, ya buka dialog,” tegas Alwis.
Kepala Pusat Riset Pemerintahan Dalam Negeri BRIN Mardyanto W Tryatmoko juga tidak sepakat dengan wacana pilkada lewat DPRD. Jika dicermati pelaksanaan pilkada langsung sejak 2004, justru pelembagaan sistem semakin matang. Di Papua, misalnya, dahulu banyak daerah masih menerapkan sistem noken dan kini berangsur semakin berkurang.
Di sisi lain, lanjut Mardyanto, yang mesti diperkuat ke depan adalah penguatan demokrasi. Oleh karena itu, pilkada langsung harus dipertahankan.
”Bagi kami, kami tidak mungkin setback ke belakang akibat kepala daerah dipilih lewat DPRD. Jika ingin ada perbaikan, artinya bagaimana memperbaiki problemnya di parpol. Kemudian, bisa juga dengan mempermudah syarat bagi calon independen. Dengan begitu, saya kira, mungkin bisa memperbaiki persoalan money politic,” tutur Mardyanto.
Sementara itu, Dirjen Otda Kemendagri Akmal Malik mengatakan, pilkada lewat DPRD dimungkinkan di UUD 1945. Artinya, pilkada bisa langsung atau dipilih secara demokratis. Demokratis bisa terbuka dua hal, dipilih secara langsung atau perwakilan.
”Nah, terserah bagaimana nanti kebijakan pimpinan negara ini. Karena, kami, kan, diminta proses (pengkajian), mau begini, mau begini. Delapan fraksi (partai di DPR) pasti akan bertanya ke pimpinannya semua. Jadi, kita lihat arah politiknya. Kami menyesuaikan saja,” ujar Akmal.
Kemudian, terkait biaya politik mahal, menurut Akmal, hal ini juga merupakan persoalan besar yang harus dituntaskan dari setiap pilkada. Ia menyebut, masyarakat sekarang memang masih permisif terhadap politik uang. Mereka justru menanti ”serangan fajar” di setiap jelang pilkada.
”Pertanyaanya, apakah kita mau melanjutkan pola seperti ini dengan cost besar. Kemarin baru ditangkap Bupati Lampung Tengah. Saya nggak menolerir korupsi, tetapi saya mengapresiasi kejujurannya yang mana dia mengaku uang korupsinya untuk membayar hutang-hutang semasa kampanye. Ada kejujuran. Mau kayak Lampung Tengah terus? Terserah,” kata Akmal.
Akmal menilai, jika kepala daerah dipilih oleh DPRD, maka lebih mudah mengurusnya. Hal ini dibandingkan jika harus mengurusi masyarakat yang masih sangat permisif terhadap politik uang.





