Tanpa Ini, Danantara Berisiko Jadi Entitas Politis yang Gilas Pengusaha Lokal

kumparan.com
22 jam lalu
Cover Berita

Round Table Discussion (RTD) Nagara Institute dan Akbar Faizal Uncensored (AFU) bertajuk ‘Menghitung Risiko dan Harapan Superholding BUMN Danantara’ menghasilkan serangkaian desakan kritis dari para tokoh kunci nasional.

Diskusi ini mengungkap bahwa perancangan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara), harus didasarkan pada konteks fiskal dan tata kelola yang realistis, serta menjamin ruang gerak bagi sektor swasta lokal.

Ketua Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), H. Mukhamad Misbakhun, S.E., M.H., menyoroti isu paling fundamental dalam kebijakan Sovereign Wealth Fund (SWF) di Indonesia, yakni kegagalan membedakan antara negara dengan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) surplus dan defisit.

Menurutnya, diskursus di Indonesia selama ini hanya mencontoh model SWF negara surplus (seperti Timur Tengah), padahal Indonesia masih menjalankan APBN dalam kondisi defisit.

“Ada dua model sovereign wealth fund yang jarang diteliti orang, kita jarang mempelajari yang sovereign wealth fund defisit,” ungkapnya, dalam keterangan tertulis, Kamis (17/12).

“Ini yang sering luput kita bicarakan sedangkan kita APBN-nya defisit, modeling-nya berbeda atau tidak?,” sambungnya.

Mukhamad Misbakhun menekankan bahwa pendekatan pengelolaan dana investasi negara seharusnya kembali ke kerangka besar APBN.

Ia mencontohkan Amerika Serikat, negara dengan APBN defisit, yang mengelola dana investasi melalui pendekatan pooling fund dari pasar keuangan, bukan dari surplus anggaran klasik.

“Kita harus berani jujur melihat posisi kita, jangan hanya bicara soal sovereign wealth fund negara surplus, sementara struktur APBN kita berbeda,” tuturnya,

Ketua Komisi XI DPR RI ini pun mendesak agar desain BPI Danantara benar-benar menjawab kebutuhan ekonomi nasional, bukan sekadar mengikuti tren global.

Dari sisi akademisi, Prof. Wihana Kirana Jaya, M.Soc., Ph.D., selaku Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gadjah Mada (FEB UGM) menekankan bahwa tata kelola (governance) BPI Danantara adalah kunci keberhasilan yang harus diprioritaskan di atas orientasi profit semata.

Wihana Kirana menilai, BPI Danantara sebagai ‘global engagement produk Indonesia’ harus mengikuti world class regulation dan menempatkan checks and balances secara kuat.

“Dalam membangun Danantara ini, saya merasakan ada persoalan governance atau tata kelola yang harus ada checks and balances,” ujarnya.

“Bukan dominan seorang politisi, governance, civil society, semua harusnya menciptakan tata kelola yang namanya checks and balances,” tambahnya.

Ia lantas mengusulkan pembentukan ‘Delivery Unit’ atau tim independen yang bertugas mengawal dan memastikan BPI Danantara tidak hanya fokus pada profit dan teknokrasi, tetapi juga mendukung social impact dan target pertumbuhan ekonomi 8%.

Kekhawatiran praktisi mengenai dampak hadirnya BPI Danantara datang dari sektor swasta. Ekawati Rahayu Putri yang merupakan Ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia Daerah Istimewa Yogyakarta (HIPMI DIY) menyuarakan keresahan pengusaha lokal terhadap potensi persaingan dengan entitas super holding tersebut.

Ia menyoroti bahwa jika usaha-usaha besar dan strategis semua diambil oleh Danantara, maka pengusaha lokal-terutama di daerah seperti Yogyakarta-akan terancam.

“Saya tertarik dengan statement ‘Yogyakarta dapat apa?’, itu sebenarnya pertanyaan yang memang menggugah hati saya. Apakah kita sebagai mitra ataukah berkompetisi? Karena usaha-usaha besar dan strategis semua diambil oleh Danantara,” tanya Ekawati.

Ia menekankan bahwa pengusaha lokal dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) tidak akan mampu bersaing dengan Danantara yang memiliki modal jauh lebih besar.

Oleh karena itu, Ketua HIPMI DIY ini menegaskan perlu adanya kejelasan posisi bagi sektor swasta Indonesia.

“Kita ini seperti apa sebagai pengusaha? Mau di posisi apa? Apakah kita mau ikut China yang ekonomi sosialis, atau kita tetap dengan ekonomi Indonesia yang Pancasila. Apakah kita akan menjadi mitra atau justru kompetitor Danantara?,” pungkasnya.

Nagara Institute berharap kajian mendalam yang dihasilkan RTD ini dapat menjadi masukan konstruktif bagi Presiden dan BPI Danantara untuk menjamin keberlanjutan dan kesehatan keuangan superholding BUMN tersebut.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Awas Senyum-Senyum Sendiri, Rekomendasi 5 Drama China Tentang Cinta Monyet Ini Sukses Bikin Penonton Salting Brutal
• 21 jam lalugrid.id
thumb
CMNP Terpojok, Ahli Beberkan Laporan Keuangan Perusahaan yang Sudah Diaudit: Sah oleh Negara
• 23 jam laludisway.id
thumb
Media Vietnam Soroti Pemecatan Indra Sjafri, Sebut Timnas U22 Indonesia Gagal meski Punya Skuad Kuat
• 16 jam lalukompas.tv
thumb
Komunikasi Bencana; Merespon Bencana dengan Tepat dan Empatik
• 22 jam lalufajar.co.id
thumb
Jimly Sebut Polri Bisa Cabut Perpol 10/2025: Tapi Ini Tidak Bisa Dipaksa
• 19 jam lalukompas.com
Berhasil disimpan.