Dalam kehidupan sehari-hari, sehat sering dimaknai secara sederhana: tubuh berfungsi “normal”, mampu bekerja penuh, dan tidak bergantung pada orang lain. Definisi ini terdengar netral, tetapi sesungguhnya sangat eksklusif. Ia secara tidak langsung menyingkirkan penyandang disabilitas dan orang dengan penyakit kronis dari kategori “manusia sehat”, meski mereka mampu menjalani hidup secara aktif dan bermakna.
Standar sehat semacam ini lebih banyak mencerminkan kebutuhan sistem, seperti pasar kerja, produktivitas, dan efisiensi daripada realitas tubuh manusia yang beragam. Akibatnya, perbedaan kondisi tubuh tidak dilihat sebagai variasi, melainkan sebagai kekurangan.
Disabilitas Bukan Selalu Tentang SakitPenting untuk ditegaskan: tidak semua penyandang disabilitas berada dalam kondisi sakit. Banyak dari mereka hidup stabil dengan kondisi tubuhnya, memiliki rutinitas, pekerjaan, dan peran sosial yang jelas. Namun, masyarakat kerap menyamakan disabilitas dengan ketidakmampuan dan penderitaan yang terus-menerus.
Penyamaan ini problematik. Ia membuat penyandang disabilitas harus terus-menerus “membuktikan” bahwa mereka mampu, atau sebaliknya, merasa harus menampilkan kondisi sakit agar kebutuhan dan batasannya dianggap sah. Di titik ini, disabilitas bukan hanya persoalan fisik, melainkan juga soal pengakuan sosial.
Penyakit Kronis dan Peran Sosial sebagai “Orang Sakit”Berbeda dengan penyakit akut yang memiliki awal dan akhir yang jelas, penyakit kronis hadir dalam jangka panjang, bahkan seumur hidup. Kondisi ini menantang cara masyarakat memahami peran “orang sakit”. Seseorang dengan penyakit kronis bisa tampak sehat hari ini, tetapi sangat terbatas keesokan harinya.
Masalah muncul ketika peran sosial “orang sakit” hanya diakui saat gejala terlihat. Ketika penderitaan tidak kasatmata—seperti nyeri kronis, kelelahan ekstrem, atau gangguan saraf—pengalaman tersebut sering dianggap berlebihan atau tidak nyata. Penyandang disabilitas dengan penyakit kronis akhirnya terjebak dalam posisi ambigu: tidak cukup sakit untuk dimaklumi, tetapi tidak cukup sehat untuk dituntut normal.
Antara Akomodasi dan StigmaStatus sakit sebenarnya bisa membuka akses pada bantuan, akomodasi kerja, dan layanan kesehatan. Namun, pada saat yang sama, status ini juga membawa stigma. Penyandang disabilitas kerap diperlakukan seolah tidak mampu mengambil keputusan sendiri, selalu membutuhkan perlindungan, atau tidak layak diberi tanggung jawab besar.
Dalam dunia kerja, misalnya, permintaan fleksibilitas jam atau penyesuaian tugas sering dibaca sebagai kurangnya komitmen. Padahal, bagi mereka yang hidup dengan penyakit kronis, akomodasi bukan bentuk keistimewaan, melainkan syarat dasar agar dapat berpartisipasi secara setara.
Menggeser Cara Pandang tentang SehatJika kesehatan terus dipahami sebagai kondisi tubuh yang “sempurna”, penyandang disabilitas akan selalu ditempatkan di pinggir. Padahal, sehat juga bisa dimaknai sebagai kemampuan mengelola kondisi, menjaga keseimbangan hidup, dan tetap terlibat dalam relasi sosial.
Perspektif ini menuntut perubahan dari sekadar pendekatan medis menuju pendekatan sosial. Bukan hanya bertanya “apa yang salah dengan tubuh seseorang”, tetapi “apa yang perlu diubah dari lingkungan dan sistem agar semua orang bisa hidup layak”.
Menuju Kesehatan yang Lebih InklusifMembicarakan disabilitas dan penyakit kronis bukan soal belas kasihan, melainkan soal keadilan. Kesehatan yang inklusif mengakui bahwa tidak semua orang akan pernah “sembuh”, tetapi semua orang berhak hidup bermartabat.
Selama masyarakat masih memaksakan satu definisi sehat, penyandang disabilitas akan terus berhadapan dengan stigma, penilaian moral, dan eksklusi sosial. Mengubah cara pandang ini adalah langkah awal untuk memastikan bahwa perbedaan kondisi tubuh tidak lagi menjadi alasan untuk membatasi partisipasi seseorang dalam kehidupan bersama.




