Jakarta: Peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Erma Yulihastin menyampaikan perubahan iklim tidak lagi sekadar ancaman masa depan. Hal itu ditandai dengan badai tropis yang kini bergerak lebih dekat ke daratan dan menimbulkan dampak yang jauh lebih mematikan.
Ia menegaskan bahwa Indonesia harus berhenti melihat badai sebagai peristiwa langka. “Sesuatu yang dulu dianggap 100 tahun sekali, sekarang dalam lima tahun terakhir sudah terjadi dua kali badai katastrofik,” ujar Erma dikutip dari Media Indonesia, Kamis, 18 Desember 2025.
Berdasarkan pengamatan dan riset lima tahun terakhir, Erma menjelaskan bahwa badai tropis yang seharusnya menjauh dari wilayah Indonesia justru kini cenderung bergerak ke darat. Fenomena ini, menurutnya, berkaitan erat dengan kenaikan suhu permukaan laut di wilayah pesisir serta perubahan tutupan lahan di daratan.
Badai yang bergerak menuju area dengan energi panas lebih besar, tertarik ke wilayah pesisir yang suhunya kini lebih tinggi dibanding laut lepas. Baca juga: Komisi X Dorong BRIN Perkuat Inovasi Penanggulangan dan Mitigasi Kebencanaan
Lebih jauh, Erma memaparkan hasil eksperimen iklim di Teluk Meksiko yang menunjukkan bahwa tutupan hutan berperan penting dalam mengendalikan pergerakan badai. “Ketika daratan dibuat lebih dingin karena tutupan hutan yang baik, badai tetap berada di laut. Tapi ketika tutupan hutan dikurangi, badai justru bergerak ke darat,” ungkap Erma.
Temuan ini mengoreksi anggapan lama bahwa deforestasi hanya berdampak kecil pada perilaku badai.
Dari hasil proyeksi hingga 2040 menggunakan 14 model iklim, Sumatra muncul sebagai wilayah paling rentan terhadap cuaca ekstrem. Baik dari sisi angin ekstrem maupun hujan ekstrem.
“Peringkat pertama risiko cuaca ekstrem itu Sumatra. Baik angin ekstrem maupun hujan ekstremnya meningkat signifikan, terutama pada periode Desember, Januari, Februari,” ungkap Erma.
Wilayah seperti Riau dan kawasan sekitar Selat Malaka dinilai menghadapi risiko ganda. Yakni, angin ekstrem dan hujan ekstrem yang meningkat bersamaan.
Kalimantan berada di peringkat kedua, dengan peningkatan signifikan yang dikaitkan dengan Borneo Vortex. Jawa dan Sulawesi menyusul, sementara Papua menunjukkan pola berbeda, relatif stabil pada angin, namun mengalami peningkatan hujan ekstrem di musim kemarau.
Erma mengingatkan bahwa cuaca ekstrem berbasis badai tropis bersifat high frequency dan high impact, atau sering terjadi dan berdampak besar. Berbeda dengan gempa atau tsunami yang jarang, cuaca ekstrem sebenarnya bisa diprediksi dan dihitung risikonya.
“Kalau kita tahu bulan depan ada potensi kejadian besar, aset itu bisa diasuransikan. Tapi di Indonesia, sistem manajemen risiko cuaca ekstrem ini belum ada,” ujar Erma.
Ia menekankan perlunya kolaborasi lintas sektor, data beresolusi tinggi, model iklim yang kuat, serta inovasi kebijakan, termasuk asuransi cuaca ekstrem, agar Indonesia tidak terus berada dalam siklus korban.



