FAJAR.CO.ID, JAKARTA — Wacana Reformasi II kembali menguat di ruang publik. Hal itu disampaikan Rizal Fadillah menyusul rangkaian pertemuan dan konsolidasi sejumlah kelompok yang menilai pemerintahan saat ini belum mampu menjawab tuntutan perubahan.
Rizal menyebut, gagasan reformasi kembali menggelinding sejak digelarnya mimbar bebas Aliansi Mahasiswa UIN Jakarta di Kampus II Ciputat pada 12 Desember 2025.
Dikatakan Rizal, forum tersebut menjadi titik awal menguatnya kembali kritik terhadap kinerja rezim yang dinilai gagal menjalankan amanat ideologi dan konstitusi.
“Basis pemikirannya adalah ketidakmampuan rezim melakukan perubahan sesuai amanat ideologi dan konstitusi,” ujar Rizal kepada fajar.co.id, Kamis (18/12/2025).
Ia menganggap praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme masih marak, yang menurutnya merupakan dampak dari pemerintahan sebelumnya.
Kritik tersebut, lanjut Rizal, juga diarahkan kepada Presiden Prabowo Subianto yang dinilai belum mampu menangkap aspirasi publik.
“Prabowo tidak mampu menangkap aspirasi rakyat yang menghendaki perbaikan dan perubahan. Ia lebih banyak omon ketimbang menjalankan,” ucapnya.
Rizal mengungkapkan, gagasan Reformasi II kembali ditegaskan dalam pertemuan antara Badan Pekerja Petisi 100, Forum Purnawirawan Prajurit TNI (FPP TNI), dan Aktivis Poros Jakarta-Bandung (APJB) yang digelar di Jakarta pada 17 Desember 2025.
Ia menjelaskan, masing-masing kelompok membawa isu berbeda.
Petisi 100 dikenal dengan agenda pemakzulan putra Presiden ke-7 Joko Widodo, FPP TNI mendorong pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, sementara APJB menyerukan adili Jokowi dan makzulkan Gibran.
Lanjut Rizal, dalam pertemuan tersebut muncul fokus baru, yakni evaluasi menyeluruh terhadap kinerja pemerintahan Prabowo.
Selain isu bencana Sumatera, polemik ijazah, dan dugaan korupsi, kepemimpinan nasional menjadi sorotan utama.
“Nampak Prabowo tidak mampu menjalankan amanat rakyat dengan baik. Ketergantungan kepada Jokowi masih kuat,” ucapnya.
Ia juga menuturkan bahwa pemerintahan saat ini belum mandiri dan masih dibayangi pengaruh kekuatan lama, termasuk ketergantungan terhadap pihak asing.
Dalam pandangannya, situasi politik, ekonomi, dan hukum di dalam negeri dinilai belum menunjukkan perbaikan signifikan.
“Di dalam negeri situasi politik ekonomi dan hukum carut marut. Korupsi kejar antartika tetapi korupsi antarkita di depan mata aman-aman saja,” kata Rizal.
Rizal turut menyinggung masih dipertahankannya sejumlah figur lama di lingkar kekuasaan. Menurutnya, hal itu memperkuat kesan bahwa rezim baru belum sepenuhnya melakukan pembaruan.
“Jokowi bukannya dilepas malah terus digenggam erat, dilindungi, dijadikan guru politik,” imbuhnya.
Ia kemudian menyinggung belum adanya pergantian pimpinan di tubuh Polri yang, menurutnya, menimbulkan pertanyaan publik terkait arah kepemimpinan nasional.
Forum gabungan tersebut, kata Rizal, menilai Presiden Prabowo masih memiliki kesempatan untuk menentukan arah politiknya.
Namun, jika tidak berani mandiri dan melepaskan pengaruh lama, maka dorongan reformasi dinilai tak terelakkan.
“Prabowo masih diberi kesempatan untuk memilih apakah hendak ikut sebagai subyek reformasi bersama rakyat atau mau menjadi obyek yang direformasi,” tegasnya.
Rizal bilang, elemen masyarakat mulai dari mahasiswa, purnawirawan, buruh, hingga akademisi, mesti turut mengambil peran aktif. Sebab, 2026 merupakan momentum perubahan.
“Reformasi 1998 sebentar lagi berusia 28 tahun. Nampaknya perlu diulangi demi perbaikan negeri,” pungkasnya. (Muhsin/fajar)





