Podium Media Indonesia: Menghidupkan Meritokrasi

metrotvnews.com
12 jam lalu
Cover Berita

APA yang hari-hari ini sedang dipertontonkan para atlet Indonesia di ajang SEA Games 2025 Thailand tentulah amat membanggakan. Prestasi demi prestasi, podium demi podium, medali demi medali terus mereka torehkan dengan perjuangan yang tak mengenal batas. Perjuangan yang bukan semata untuk memenuhi target individu, melainkan juga demi menggemakan nama Indonesia di kancah dunia.

Hingga kemarin, paling tidak sudah 80 kali lagu kebangsaan Indonesia Raya berkumandang mengiringi kibaran bendera Merah Putih di arena SEA Games 2025. Itu sekaligus menandai laju perolehan medali emas kontingen Indonesia yang cukup impresif sejak hari pertama perhelatan kompetisi multievent antarnegara Asia Tenggara tersebut.

Tidak cuma medali, sejumlah rekor, mulai rekor nasional, rekor SEA Games, rekor Asia, hingga rekor dunia, dicatatkan para atlet Tanah Air. Capaian itu merupakan 'hadiah' tak terbantahkan dari ribuan jam latihan yang keras, otot yang kadang dipaksa melampaui batas, serta guliran peluh dan air mata yang tak pernah berhenti mengiringi pergulatan mereka.
 

Baca Juga :Atlet Panahan Univesitas Budi Luhur Sumbang Emas untuk Indonesia di SEA Games


Kita akan selalu bangga dan terharu menyaksikan perjuangan para pahlawan di arena olahraga tersebut. Prestasi mereka rajut bukan dengan retorika, melainkan dengan kerja keras yang sunyi, dengan mental yang ditempa lewat kekalahan dan kegagalan. Di situlah kemenangan menemukan maknanya.

Mereka ialah pejuang dalam arti sesungguhnya: menang karena tangkas, unggul karena jujur. Jujur menjadi poin penting karena di gelanggang olahraga, garis finis tak bisa dinegosiasi. Wasit yang memihak ialah aib dan kecurangan ialah tiket menuju kematian karier.

Namun, situasi dan perasaan yang begitu membanggakan itu akan langsung berubah total manakala kita mengalihkan pandangan dari stadion yang riuh dengan degup sportivitas itu ke ruang-ruang kekuasaan dan politik yang cenderung sunyi dan gelap.

Ada sebuah kontradiksi yang menyakitkan. Di seberang sana atlet kita berdarah-darah menjaga kehormatan Merah Putih dengan spirit sportivitas. Di sini, di panggung politik, kita melihat sekelompok elite yang justru tega menggerogoti bangsa dengan tabiat mereka yang gemar menabrak etika dan menerabas aturan main.

Dalam olahraga, rule of the game ialah sesuatu yang sakral. Namun, dalam lanskap politik belakangan ini, kita malah kerap dipertontonkan akrobat pengangkangan hukum yang vulgar. Bukan aturan, melainkan ambisi yang jadi panglima. Jika aturan menghalangi ambisi, aturan itu seolah boleh tidak ditaati, bahkan diganti. Garis finis bisa dimajukan, persyaratan diubah di tengah laga, wasit pun dijinakkan.

Di dunia olahraga, atlet yang tidak menjunjung sportivitas, tidak menghormati aturan dan etika permainan, apalagi yang ketahuan berbuat curang, akan menunduk layu. Selain karier hancur, mereka bakal dihantui rasa bersalah seumur hidup. Begitu juga wasit yang kedapatan memihak, ia akan dicemooh dunia dan kariernya tamat.

Namun, di dunia politik kekuasaan, berbeda. Etika kian sering dipinggirkan. Kecurangan bukan pula dianggap hal tabu. Lihat saja, elite kita yang menabrak rambu hukum dan etika masih bisa tampil dengan wajah tanpa dosa di layar kaca. Pejabat yang ditangkap dan menjadi tersangka karena melakukan korupsi masih sempat melempar senyum paling lebar di depan sorot kamera.

Dalam olahraga, sistem meritokrasi hidup sepenuhnya. 'Tidak peduli siapa bapakmu, jika catatan waktumu lambat, kamu kalah'. Begitulah kira-kira kita menggambarkan hidupnya meritokrasi di jagat olahraga. Podium juara semata ditentukan dari prestasi dan kompetensi, bukan yang lain-lain. Karena itu, olahraga menjadi ruang yang relatif steril dari nepotisme.

Sebaliknya, di dunia politik, meritokrasi kerap hanya jadi slogan kosong. Kita melihat bagaimana politik dinasti tumbuh subur, bahkan dirayakan. Jabatan publik diwariskan seperti keluarga. Kompetensi menjadi aksesori, bukan syarat utama. Padahal, jika praktik semacam itu terjadi di lintasan atletik, hasilnya pasti satu: diskualifikasi.

Data berbagai lembaga internasional selama bertahun-tahun menunjukkan korelasi yang jelas, negara dengan indeks korupsi tinggi hampir selalu lemah dalam penegakan meritokrasi dan supremasi hukum. Suka tidak suka, Indonesia tampaknya sedang dalam proses menuju ke arah situ. Ironisnya, justru para elite politik yang menjadi mentornya.

Mahatma Gandhi pernah mengingatkan perihal tujuh dosa sosial yang menghancurkan peradaban. Salah satunya ialah politik tanpa prinsip. Politik semacam itu tidak hanya merusak institusi, tetapi juga membunuh harapan publik, terutama generasi muda. Mereka berharap ada kompetisi yang adil, ada meritokrasi, tapi yang muncul justru adu lobi dan koneksi.

Dewan Redaksi Media Group Ahmad Punto/MI

Di sekolah, di dunia olahraga, anak-anak muda selalu diajari bahwa hasil maksimal akan datang dari sebuah proses panjang yang melibatkan kerja (latihan) keras dan ketekunan. Namun, realitas politik justru kerap mencontohkan yang sebaliknya, kedekatan dan kekerabatan sering kali lebih menentukan.

Apa yang ditunjukkan para atlet di SEA Games kiranya memberi kita cermin yang jujur. Bahwa bangsa ini bisa unggul ketika aturan dihormati dan kejujuran dijaga. Jika olahraga mampu mempraktikkan meritokrasi tanpa tawar-menawar, mengapa politik tidak? Jika stadion bisa dijaga dari praktik kecurangan, seharusnya arena politik pun bisa.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
Antisipasi Lonjakan Trafik Nataru, Telkomsel Optimalkan 94.000 BTS di Wilayah Timur
• 8 jam lalubisnis.com
thumb
IHSG Menguat di Akhir Pekan, Sentimen Global Jadi Penopang
• 8 jam lalumedcom.id
thumb
Pengusaha Respons Imbauan WFA 29-31 Desember: Ada Jenis Pekerjaan yang Tak Bisa
• 4 jam lalukumparan.com
thumb
Jaringan Internet di Aceh Belum Pulih Total, Kemkomdigi Kirim Genset
• 3 jam laluidntimes.com
thumb
Geger Ledakan di Jalan Sunu Makassar, Polisi: Diduga Tabung Gas
• 22 jam lalumetrotvnews.com
Berhasil disimpan.