EtIndonesia. Konflik militer antara Thailand dan Kamboja yang pecah pada 7 Desember 2025 kini berkembang jauh melampaui sengketa perbatasan biasa. Eskalasi ini tidak hanya ditandai oleh bentrokan bersenjata intens di garis depan, tetapi juga oleh terbongkarnya dugaan bantuan militer rahasia Partai Komunis Tiongkok (PKT) kepada Kamboja—sebuah temuan yang justru memicu krisis serius di tubuh militer Tiongkok sendiri.
Perkembangan konflik ini mulai menarik perhatian luas komunitas internasional setelah sejumlah fakta sensitif terungkap ke publik, mulai dari serangan udara presisi Thailand, penyitaan senjata strategis buatan Tiongkok, hingga indikasi jaringan kejahatan lintas negara yang disertai dugaan pelanggaran HAM berat.
Serangan Udara Thailand Ungkap Kamp Penyiksaan di Kamboja
Pada fase awal konflik, militer Thailand melancarkan serangan udara presisi terhadap sejumlah lokasi strategis di wilayah Kamboja. Operasi ini difokuskan pada fasilitas yang diduga kuat merupakan kamp penipuan daring dan pusat penyiksaan listrik, yang selama ini disebut-sebut menjadi sarang perdagangan manusia, penahanan ilegal, serta kejahatan lintas negara.
Menurut sumber keamanan Thailand, target operasi dipilih berdasarkan intelijen jangka panjang. Fasilitas-fasilitas tersebut dinilai berperan besar dalam jaringan kriminal yang melibatkan warga dari berbagai negara Asia Tenggara, Asia Timur, hingga Afrika.
Namun, perhatian dunia justru semakin tersedot setelah terjadinya perkembangan lanjutan yang jauh lebih sensasional.
Thailand Sita Rudal Antitank Generasi Kelima Buatan PKT
Pada 15 Desember 2025, Angkatan Darat Kerajaan Thailand secara resmi mengumumkan keberhasilan Korps Infanteri ke-17 dalam merebut sebuah pangkalan militer Kamboja di wilayah perbatasan.
Dalam operasi tersebut, pasukan Thailand menyita rudal antitank GAM-102LR buatan Tiongkok, sebuah sistem senjata yang dikategorikan sebagai antitank generasi kelima dengan teknologi pemandu presisi tinggi.
Rudal GAM-102LR dikenal sebagai produk industri militer strategis PKT, dilengkapi sistem pemandu canggih yang menjadikannya aset sensitif dan berada di bawah pengawasan ketat Beijing. Keberadaan senjata ini di tangan militer Kamboja memicu pertanyaan serius mengenai jalur distribusi dan peran langsung Tiongkok dalam konflik tersebut.
Sebelumnya, sejumlah media Thailand juga melaporkan bahwa pasukan Kamboja telah menggunakan sistem roket dan pertahanan udara buatan Tiongkok dalam pertempuran, memperkuat dugaan adanya dukungan militer sistematis dari PKT.
Senjata Masih Utuh: Indikasi Pengiriman Senjata Terbaru
Pengamat militer Jiang Feng menyoroti detail krusial dari rudal yang disita. Dia mencatat bahwa rudal GAM-102LR tersusun rapi, dengan plastik pelindung belum dibuka dan buku petunjuk operasional masih menggunakan bahasa Mandarin sederhana.
Temuan ini mengindikasikan bahwa senjata tersebut belum pernah digunakan di medan perang dan kemungkinan baru saja dikirim ke Kamboja dalam waktu dekat sebelum konflik pecah. Fakta ini memperkuat dugaan bahwa terdapat pengiriman senjata langsung dari Tiongkok ke Kamboja, bukan sisa persenjataan lama.
Insiden Tank VT-4: Kualitas Senjata Tiongkok Dipertanyakan
Di sisi lain, reputasi industri militer Tiongkok turut tercoreng oleh beredarnya video latihan militer Thailand yang memperlihatkan tank tempur utama VT-4 buatan Tiongkok mengalami ledakan hebat saat menjalani latihan tembak intensif.
Ledakan tersebut menyebabkan laras utama hancur total dan mengakibatkan tiga prajurit Thailand mengalami luka-luka. Padahal, berdasarkan manual resmi, tank VT-4 dirancang memiliki usia tembak hingga 500 peluru.
Namun, insiden ledakan terjadi setelah tank tersebut menembakkan sekitar 200 peluru, jauh di bawah standar yang dijanjikan. Sejumlah analis militer menyebut kejadian ini sebagai bukti lemahnya kontrol kualitas produksi senjata PKT, bahkan menyindirnya sebagai contoh nyata “proyek asal-asalan” dalam industri pertahanan Tiongkok.
Enam Pesawat Y-20 dan 42 Kontainer Senjata
Skandal ini semakin menguat setelah munculnya informasi dari intelijen Thailand. Sejak Juni 2025, atau beberapa minggu sebelum konflik pecah, aparat intelijen Thailand telah memantau enam pesawat angkut strategis Y-20 milik PKT yang mendarat di Bandara Sihanoukville, Kamboja, selama tiga hari berturut-turut.
Pesawat-pesawat tersebut diduga membawa 42 kontainer senjata, mencakup roket, amunisi artileri, serta rudal antitank GAM-102LR yang kini jatuh ke tangan Thailand. Temuan ini memperkuat dugaan adanya operasi logistik militer berskala besar yang dilakukan secara diam-diam.
Sisi Gelap Konflik: Kamp Penyiksaan dan Dugaan Pengambilan Organ
Di luar medan tempur, konflik ini membuka tabir sisi gelap kemanusiaan di Kamboja. Kesaksian para korban menyebutkan adanya lebih dari 50 kamp besar dan ratusan kamp kecil yang berfungsi sebagai pusat penipuan dan penyiksaan, dengan tingkat kelangsungan hidup korban yang sangat rendah.
Lebih mengejutkan lagi, daftar kerja sama Institut Ilmu Kehidupan Kamboja yang bocor ke publik mengungkap dugaan keterlibatan dalam praktik pengambilan organ hidup. Daftar tersebut menyeret nama sejumlah rumah sakit di Tiongkok, termasuk Rumah Sakit Xiangya.
Warganet kemudian menemukan bahwa Rumah Sakit Xiangya II memiliki helipad di atap gedung, dengan aktivitas helikopter yang dilaporkan berlangsung hampir setiap hari. Temuan ini memicu pertanyaan publik: apakah helikopter tersebut murni untuk evakuasi medis, atau justru menjadi jalur transportasi organ?
Kegelapan isu ini semakin dalam setelah terungkap bahwa pada tahun 2024, seorang dokter magang bernama Luo Shuaiyu dilaporkan tewas jatuh dari gedung setelah mencoba mengungkap dugaan praktik pengambilan organ hidup di rumah sakit tersebut.
Krisis Regional dan Tekanan Internasional
Rangkaian temuan ini menjadikan konflik Thailand–Kamboja bukan lagi sekadar konflik bilateral, melainkan krisis regional dengan implikasi geopolitik luas. Dugaan keterlibatan PKT, kualitas senjata yang dipertanyakan, serta isu pelanggaran HAM berat telah menempatkan Beijing dalam sorotan tajam komunitas internasional.
Seiring konflik memasuki fase yang semakin kompleks, tekanan diplomatik terhadap semua pihak diperkirakan akan terus meningkat, sementara stabilitas Asia Tenggara kini berada dalam ujian serius.




