Di balik prestasi yang tampak klinis itu, ada jejak kepemimpinan yang tak banyak mendapat sorotan publik: duet Prabowo Subianto sebagai Ketua Umum PB Ikatan Pencak Silat Indonesia dan Irjen Pol. Nunung Syaifuddin sebagai manajer tim yang memimpin langsung pasukan ke Bangkok.
Capaian empat emas bukan sekadar keberuntungan yang muncul di penghujung tahun. Ia adalah buah dari konsistensi kepemimpinan yang terbangun puluhan tahun. Prabowo Subianto, yang masih menjabat Ketua Umum PB IPSI untuk periode 2021-2025, memegang posisi sentral dalam pembangunan kembali fondasi dan ekosistem pencak silat Indonesia—baik di dalam negeri maupun di pentas dunia.
Di bawah komandonya, silat tidak hanya digarap sebagai cabang olahraga; ia menjadi instrumen budaya, identitas nasional, sekaligus komoditas prestasi yang diperjuangkan Indonesia di ajang regional.
Baca Juga :
Indonesia Sabet 4 Emas Pencak Silat Sea Games, Menpora Bakal Perjuangkan Silat Dipertandingkan di Asian GamesSelain memimpin PB IPSI, Prabowo juga menjabat Ketua Umum Persilat dan Presiden IPSF, menempatkannya pada posisi strategis dalam percaturan persilatan internasional. Meski beberapa kali menyatakan ingin digantikan setelah memimpin puluhan tahun, ia tetap menjadi figur rujukan utama. Di Jakarta, roda harian IPSI dijalankan Sugiono sebagai Pj. Ketua, sementara strategi jangka panjang tetap berada di bawah kendali Prabowo. Dari ruang kebijakan inilah target empat emas di SEA Games ditetapkan—ambisius, namun terukur.
Nunung Syaifuddin, Wakil Kepala Bareskrim Polri, menjadi tangan lapangan target itu. Dengan bekal kepemimpinan organisasi dan kedisiplinan khas korps, ia memimpin para pesilat dari ruang latihan hingga arena pertandingan. Para atlet menyebutnya bukan sekadar manajer: ia mentor, psikolog, bahkan motivator. “Latihan keras tak cukup tanpa mental juara,” begitu pesan Nunung yang berulang kali dikutip para pelatih. Dan, hasilnya bicara tanpa retorika.
Emas pertama datang dari nomor seni beregu putra: Andika Dhanireksa, Rano Slamet Nugraha, dan Asep Yuldan Sani, yang memukau juri dengan harmoni gerak bertenaga dan presisi skor 9,965. Emas kedua menyusul lewat Muhammad Zaki Zikrillah Prasong, yang menang walkover ketika lawan dari Thailand memilih mundur. Sementara emas ketiga datang dari Safira Dwi Meilani di kelas B putri. Puncaknya, Tito Hendra Cipta memastikan emas keempat lewat teknik agresif dan kontrol emosi di kelas E putra.
Di pinggir arena, Nunung tak tampak sebagai pejabat tinggi Polri. Ia berdiri seperti pelatih lama yang tahu betul kapan harus menekan, kapan memberi ruang. Sedangkan di Jakarta, laporan kemenangan satu per satu tiba di meja PB IPSI. Prabowo dan para pengurus harian menyambut tiap kabar tanpa gegap gempita, hanya dengan satu pesan: evaluasi berikutnya adalah Asian Games.
Capaian itu menegaskan bahwa struktur kepemimpinan—dari menara kebijakan PB IPSI hingga arena pertandingan—bekerja. Pencak silat kembali membuktikan diri sebagai cabang unggulan Indonesia, sekaligus memperkuat posisi Merah Putih dalam klasemen keseluruhan SEA Games.
Namun bagi para pesilat, emas itu bukan sekadar prestise. Ia simbol bahwa fondasi yang dibangun puluhan tahun belum lapuk; ia masih kokoh. Dan kolaborasi Prabowo sebagai panglima kebijakan serta Irjen Nunung sebagai komandan lapangan melahirkan hasil konkret: empat emas yang membuat Bangkok kembali mendengar lantunan Indonesia Raya.
Silat datang ke Bangkok bukan hanya untuk bertanding. Ia datang membawa visi besar: mempertahankan supremasi Asia Tenggara dan mempersiapkan langkah ke panggung lebih besar. Dan SEA Games 2025 menjadi bukti nyata—bahwa ketika pasukan dipimpin oleh taktik dan visi yang selaras, bukan hanya podium yang diraih, melainkan martabat bangsa yang ditegakkan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News
(ASM)





