Perang Belum Selesai, Eropa Sudah Pasang Perangkap: Rusia Terancam Bayar Mahal

erabaru.net
2 jam lalu
Cover Berita


EtIndonesia. 
Eropa mengirimkan sinyal strategis yang sangat kuat dan mengejutkan pada 16 Desember 2025. Benua itu tidak hanya ingin memastikan Ukraina dapat hidup lebih aman setelah perang, tetapi juga secara terbuka menyatakan tekadnya untuk membuat Rusia membayar harga penuh atas agresi militer yang telah berlangsung hampir empat tahun.

Langkah ini menandai perubahan fundamental dalam pendekatan Eropa: dari sekadar dukungan politik dan bantuan terbatas, menuju keterlibatan keamanan, hukum, ekonomi, dan militer yang terstruktur serta berjangka panjang.

KTT Helsinki: Aliansi Militer Baru Eropa Utara Dibentuk

Pada hari yang sama, tiga negara Baltik—Estonia, Latvia, dan Lituania—bersama lima negara Nordik—Finlandia, Swedia, Norwegia, Denmark, dan Islandia—menggelar KTT Pertahanan Musim Dingin pertama di Helsinki, Finlandia.

Dalam pertemuan bersejarah tersebut, mereka secara resmi mengumumkan pembentukan aliansi militer baru dan menyampaikan pernyataan yang sangat tegas:

Jika Ukraina kalah dan Rusia melanjutkan ekspansi militernya, negara-negara ini siap turun langsung ke medan perang tanpa ragu.

Pernyataan tersebut menepis anggapan bahwa negara-negara kecil Eropa Utara hanyalah aktor pinggiran. Estonia dan Lituania, misalnya, telah mengalokasikan lebih dari 2% Produk Domestik Bruto (PDB) mereka untuk mendukung Ukraina—angka yang melampaui standar NATO.

Jika aliansi ini digabungkan dengan kekuatan besar seperti Inggris, Prancis, Jerman, Polandia, serta negara-negara Eropa Barat lainnya, maka terbentuklah blok militer Barat berkekuatan kelas berat, baik dari sisi personel, teknologi, maupun pendanaan.

Langkah Hukum Bersejarah: Komisi Klaim Internasional Ukraina Dibentuk

Masih pada 16 Desember 2025, Eropa melangkah lebih jauh ke ranah hukum internasional. Ukraina bersama 35 negara secara resmi mendirikan Komisi Klaim Internasional Ukraina di Den Haag, Belanda, dan menandatangani konvensi pendiriannya.

Perdana Menteri Belanda, Dick Schoof, menyampaikan pernyataan lugas yang langsung menarik perhatian dunia internasional: “Jika kita tidak menegakkan keadilan bagi jutaan warga Ukraina yang menderita akibat agresi, itu sama saja membuka pintu bagi kekerasan baru di masa depan.”

Menurut perhitungan Bank Dunia, dalam jangka sepuluh tahun ke depan, Rusia berpotensi diwajibkan membayar hingga 524 miliar dolar AS sebagai ganti rugi perang.

Pembentukan komisi semacam ini bukan formalitas simbolik. Dalam praktik internasional, komisi klaim hanya dibentuk ketika hasil konflik dinilai mulai mengerucut. Setelah proses ini berjalan, tuntutan ganti rugi dan pengadilan kejahatan perang hampir pasti menyusul.

Dari Retorika ke Perencanaan Militer Nyata

Di bidang militer, perubahan paling mencolok terlihat di Inggris. Perdana Menteri Inggris, Keir Starmer menyampaikan di parlemen bahwa Inggris kini memimpin pembentukan koalisi sukarela untuk mendukung Ukraina secara berkelanjutan.

Koalisi ini, yang diprakarsai bersama Presiden Prancis, Emmanuel Macron, melibatkan sekitar 35 negara, termasuk anggota Uni Eropa dan sekutu non-UE. Berbeda dari forum diskusi sebelumnya, koalisi ini telah menyusun rencana aksi militer konkret yang mencakup operasi darat, laut, dan udara.

Ini menandai pergeseran besar: Eropa tidak lagi berhenti pada janji politik, melainkan masuk ke tahap perencanaan militer yang dapat langsung dijalankan.

Starmer menjelaskan bahwa koalisi ini berjalan di dua jalur utama:

  1. Jalur politik, untuk menjaga kesatuan sikap dan koordinasi antar pemimpin negara.
  2. Jalur militer, di mana perencana profesional menyusun skema operasi spesifik sekaligus membangun kekuatan tempur Ukraina dalam jangka panjang.

Rencana operasi darat, laut, dan udara kini telah disusun dengan sasaran jelas dan dapat dieksekusi.

Isu Sensitif: Penempatan Pasukan Darat Inggris

Terkait kemungkinan pengerahan pasukan darat Inggris ke Ukraina, Starmer tidak menghindar. Dia menegaskan bahwa opsi tersebut tetap terbuka jika situasi menuntut, meskipun prioritas saat ini adalah mendorong tercapainya perdamaian yang adil, berkelanjutan, dan benar-benar menjamin keamanan Ukraina.

Dia mengingatkan bahwa sejarah telah berulang kali membuktikan satu hal:

Perdamaian tanpa sandaran kekuatan militer hampir selalu gagal, bahkan sering kali justru memicu konflik yang lebih besar.

Ukraina Disiapkan dengan Jaminan Keamanan Setara NATO

Eropa kini juga merancang penguatan besar-besaran militer Ukraina pasca-perang. Ini bukan bantuan sementara, melainkan strategi jangka panjang. Targetnya jelas: memberikan jaminan keamanan yang mendekati Pasal 5 NATO.

Rencana tersebut meliputi:

Negara-negara Barat akan terus memasok persenjataan, sementara pasukan Eropa berfokus pada keamanan udara dan laut. Dengan demikian, keamanan Ukraina tidak lagi bertumpu pada kertas perjanjian, melainkan pada kekuatan nyata di lapangan.

Sebagai bagian dari strategi ini, Inggris juga mengumumkan paket bantuan pertahanan udara senilai 600 juta pound sterling, khusus untuk memperkuat pertahanan musim dingin Ukraina dari serangan drone Rusia.

Tekanan Menyeluruh terhadap Rusia

Dua pesan utama dari Eropa kini sangat jelas:

  1. Ganti rugi perang tidak dapat dihindari—Rusia harus bertanggung jawab.
  2. Keamanan Ukraina pasca-perang tidak bisa dikompromikan, dan Eropa telah menyiapkan langkahnya sejak dini.

Bagi Kyiv, ini adalah payung pelindung nyata sekaligus sumber kepercayaan diri strategis. Bagi Moskow, tekanan meningkat tajam di semua lini.

Ancaman Keamanan Eropa Meningkat

Menurut informasi terbaru, sekitar 360 ribu pasukan Rusia kini dikerahkan di Belarus dan sepanjang perbatasan NATO. Pakar pertahanan Bundestag Jerman, Roderich Kiesewetter, menegaskan bahwa ini bukan latihan militer, melainkan sinyal peringatan serius.

Dia menyebut Rusia masih menyimpan pasukan besar terlatih di luar front Ukraina, sehingga potensi meluasnya konflik ke daratan Eropa tetap tinggi. Para analis memprediksi periode 2026–2027 berpotensi menjadi titik ledak hubungan Rusia–Eropa.

Peringatan serupa datang dari Inggris. Kepala Staf Angkatan Udara Inggris, Richard Knighton, secara terbuka meminta publik bersiap secara mental menghadapi konflik besar dengan Rusia. Dia menyebut situasi saat ini sebagai periode paling berbahaya sepanjang karier militernya.

Saat ini, Rusia memiliki lebih dari 1,1 juta personel militer aktif dan cadangan, dengan sekitar 40% anggaran negara terserap untuk perang—dua kali lipat dibanding satu dekade lalu.

Tekanan Ekonomi dan Medan Perang Berbalik

Tekanan ekonomi terhadap Rusia juga kian terasa. Pada 16 Desember 2025, harga minyak Ural Rusia jatuh ke 40 dolar AS per barel, level terendah sejak perang dimulai—indikasi kuat dampak sanksi jangka panjang.

Di medan perang, perubahan signifikan juga terjadi. Jerman mengonfirmasi akan menyerahkan sejumlah besar rudal Sidewinder kepada Ukraina pada awal 2026. Rudal udara-ke-udara tersebut telah dimodifikasi oleh insinyur Ukraina menjadi rudal pertahanan udara darat, meningkatkan efektivitas tempur secara signifikan.

Kesimpulannya, dari hukum internasional, ekonomi, hingga perencanaan militer konkret, Eropa kini membangun sistem perlindungan Ukraina yang menyeluruh, berlapis, dan berjangka panjang. Gencatan senjata mungkin tercapai, tetapi yang sedang disiapkan Eropa bukan kompromi—melainkan perdamaian yang disokong kekuatan nyata.


Artikel Asli

Berikan komentar Anda
Lanjut baca:

thumb
BUMI Caplok Jubilee Metals Rp346,93 Miliar, Garap Tambang Emas Australia
• 5 jam lalubisnis.com
thumb
Pramono Klaim Pemprov Jakarta Terus Bantu Penanganan Bencana di Sumatera Tanpa Publikasi
• 18 jam lalurepublika.co.id
thumb
Rekonstruksi Pembunuhan Penjual Semangka di Kupang
• 22 jam lalutvrinews.com
thumb
Jimly Minta Polri Beritahu Komisi Percepatan Reformasi Polri Jika Ada Kebijakan Baru
• 14 jam lalukompas.tv
thumb
Dilema Orang Tua Menimbang Kuliah Anak, Stabilitas, dan Masa Depan
• 4 jam lalukumparan.com
Berhasil disimpan.