Selama tiga pekan banjir dan longsor melanda Sumatera bagian utara, empat kali Presiden Prabowo Subianto berkunjung langsung ke lokasi. Dari Jakarta, ia terbang langsung ke tiga provinsi terdampak, yakni Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Dengan helikopter militer, ia pun menembus jalan-jalan terputus untuk menyambangi para korban di lokasi pengungsian.
Di pengungsian, Prabowo tak hanya menyapa tetapi juga menyantap hasil masakan warga dan aparat yang akan didistribukan kepada para korban. Ia meninjau proses perbaikan jalan yang terputus hingga pembangunan hunian sementara. Di lokasi bencana pula, Presiden memimpin rapat koordinasi antarmenteri dan kepala daerah untuk mempercepat penanganan dan pemulihan kehidupan warga.
Kunjungan pertama dilakukan Presiden pada 1 Desember 2025 atau sekitar sepekan setelah banjir dan longsor melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Saat itu, ia berkunjung ke Aceh Tenggara, Aceh; Tapanuli Tengah, Sumatera Utara; dan Padang Pariaman, Sumatera Barat, dalam sehari penuh.
Belum sampai satu minggu, Prabowo kembali ke Aceh, 7 Desember 2025 malam. Setelah mengunjungi beberapa lokasi pengungsian, ia memimpin rapat koordinasi antarmenteri dan kepala daerah di Banda Aceh yang membahas soal penanganan bencana. Rapat tersebut merupakan rapat pertama di era kepemimpinan Prabowo yang dibuka kepada publik sejak awal hingga tuntas.
Seusai rapat yang berlangsung sekitar dua jam, Prabowo berangkat melakukan rangkaian lawatan luar negeri ke Pakistan dan Rusia. Namun dari Rusia, Presiden langsung terbang untuk meninjau penanganan penanganan bencana di Aceh dan Sumatera Utara, 12 Desember lalu.
Terakhir, Rabu—Kamis (17—18/12/2025), Prabowo kembali mengunjungi para korban bencana di Sumatera Utara. Setelah memimpin rapat internal pada Rabu malam, ia berkelliling ke Kabupaten Agam, Padang Pariaman, dan Tanah Datar, Kamis pagi hingga siang.
“Walaupun kita semua masih prihatin, tapi kami bekerja keras supaya segera memulihkan keadaan. Saya gembira melihat rumah-rumah hunian sementara sudah mulai dibangun, bisa selesai hunian sementara sebulan supaya Bapak-bapak, Ibu-ibu, semua tidak perlu tinggal di tenda. Setelah itu, kita bangun hunian tetap,” ujar Prabowo di Agam, Kamis.
Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi yang turut mendampingi Presiden mengatakan, lokasi kunjungan Presiden merepresentasikan fokus pemerintah dalam penanganan bencana. Misalnya, kali ini Presiden menjenguk para pengungsi dan meninjau pembangunan hunian sementara (huntara) di Kabupaten Agam. Sebab, pemerintah kini berfokus membangun huntara di Sumatera Barat. Presiden pun menargetkan agar pembangunan itu tuntas dalam waktu satu bulan.
Presiden juga datang ke Desa Kayu Tanam, Kabupaten Padang Pariaman, untuk meninjau pembangunan jembatan bailey, penghubung dua wilayah di kabupaten tersebut yang terputus akibat banjir. Lewat peninjauan ini, Presiden mendorong agar pembangunan seluruh jembatan bailey yang terputus di tiga provinsi terdampak bencana bisa segera diselesaikan.
“Memang kurang lebih ada 35 jembatan bailey di seluruh wilayah yang terdampak, yang sekarang proses pengerjaannya sedang kita kebut,” ungkap Prasetyo.
Selain itu, Presiden juga mengunjungi jalan terputus di Lembah Anai, Kabupaten Tanah Datar. Di sana, Presiden meminta agar perbaikan jalan itu dipercepat, mengingat itu adalah jalur utama yang menghubungkan Padang dengan Bukittinggi.
Dengan kunjungan langsung, lanjut Prasetyo, komunikasi dan koordinasi kebutuhan penanganan bencana juga menjadi lebih mudah. Ia mencontohkan, dalam perjalanan menuju lokasi pengungsian, Presiden mendapatkan laporan dari Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) bahwa mereka membutuhkan personel tambahan dari TNI dan Polri. Tambahan petugas itu dibutuhkan untuk membantu pembersihan genangan lumpur yang masih banyak di Kabupaten Aceh Tamiang, Aceh.
Dalam berbagai kunjungan pula, Presiden menyampaikan langsung kepada para kepala daerah bahwa urusan bencana ini tidak berhenti pada langkah penanganan. Di luar itu, masih ada banyak hal yang menjadi pekerjaan rumah, mulai dari pelestarian lingkungan, penertiban kawasan hutan, hingga izin pertambangan dan pembukaan usaha di bantaran sungai.
Kendati Presiden sudah empat kali datang ke lokasi bencana dan meninjau dinamika setidaknya di 13 lokasi, penanganan bencana masih perlu dioptimalkan. Data BNPB menunjukkan, hingga Kamis sore bencana yang berdampak ke tiga provinsi dan 52 kabupaten/kota itu telah mengakibatkan 1.068 orang meninggal, 7.000 orang terluka, dan masih ada 192 orang hilang.
Di luar itu, korban meninggal di pengungsian terus berjatuhan. Di Aceh, misalnya, Juru Bicara Pos Komando Tanggap Darurat Bencana Hidrometeorologi Aceh Murthalamuddin mengatakan, ada puluhan warga terdampak bencana yang akhirnya meninggal di tenda-tenda pengungsian karena tidak mendapatkan layanan medis dan obat-obatan (Kompas, 17/12/2025).
BNPB juga mencatat, banjir dan longsor merusak 147.236 rumah, 1.600 fasilitas umum, 219 fasilitas kesehatan, 967 fasilitas pendidikan, 434 rumah ibadah, 290 gedung/kantor, serta 145 jembatan. Namun, hingga saat ini setidaknya di Sumatera Barat, pemerintah mulai membangun setidaknya 100 huntara. Jembatan bailey yang tengah digencarkan pun masih 35 unit.
Krisis pangan dan energi juga terjadi, tidak hanya di wilayah terdampak tetapi juga meluas ke daerah yang tidak terdampak bencana secara langsung. Di Banda Aceh yang relatif aman dari banjir dan longsor, misalnya, terjadi krisis listrik, air bersih, dan kelangkaan gas. Masyarakat harus mengantre belasan jam untuk mendapatkan gas elpiji, harga bahan makanan pun naik dua hingga tiga kali lipat (Kompas, 18/12/2025).
Dihubungi terpisah, dosen di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara, Jakarta, Yanuar Nugroho, mengatakan, kehadiran berulang Presiden ke lokasi bencana, bahkan memimpin rapat koordinasi di sana memang memiliki arti simbolik dan politis yang penting. Sekalipun demikian, dalam tata kelola kebencanaan modern kehadiran fisik pemimpin tidak bisa serta merta menjadi faktor yang meningkatkan efektivitas penanganan di lapangan. Sebab, indikator efektivitas kepemimpinan di masa darurat tidak ditentukan oleh frekuensi kehadiran fisik tetapi perubahan nyata kerja pemerintah setelah kehadiran pemimpin.
“Fakta bahwa setelah kunjungan berulang masih banyak korban belum ditemukan, daerah menyatakan kewalahan, warga kekurangan pangan dan energi, bahkan sampai mengibarkan bendera putih, menunjukkan bahwa masalahnya bukan pada niat atau atensi politik, tapi pada kapasitas dan mekanisme eksekusi negara,” tutur Yanuar.
Oleh karena itu, menurut dia, kehadiran Presiden untuk menginspeksi lapangan dan mengadakan rapat koordinasi di lokasi bencana saja belum cukup. Kepemimpinan dalam darurat bencana menuntut langkah yang lebih struktural dan operasional. Misalnya, secara tegas menerapkan sistem komando darurat yang bekerja 24 jam dengan mandat lintas kementerian/lembaga dan lintas tingkat pemerintahan. Jika ada pemerintah daerah yang menyatakan tidak mampu menangani bencana, maka pemerintah pusat pun harus mengambil alih fungsi-fungsi kritis tanpa birokrasi yang rumit.
“Langkah riil lain yang krusial adalah mobilisasi sumber daya secara penuh, bukan setengah hati. Ini bisa mencakup pengerahan maksimal TNI, Basarnas, Polri, dan perangkat yang dibutuhkan; pembukaan jembatan udara dan laut ke wilayah terisolasi; penggunaan cadangan pangan dan energi nasional; serta pembiayaan darurat yang cepat dan fleksibel dari APBN,” ujar Yanuar.
Terlepas dari sejumlah langkah darurat yang dilakukan untuk jangka pendek, ia mengingatkan bahwa Presiden perlu menunjukkan kepemimpinannya dengan mengakui akar persoalan yang berakibat pada bencana di Sumatera.
Presiden perlu mengakui secara jujur bahwa bencana yang berulang dan mematikan ini bukan semata-mata disebabkan cuaca ekstrem melainkan juga akibat keputusan pembangunan jangka panjang. Hal itu terkait dengan tata ruang yang diabaikan, kerusakan lingkungan, dan pelemahan kapasitas kelembagaan kebencanaan.
“Tanpa pengakuan ini, bencana dan penderitaan warga akan berulang,” ujar Yanuar.
Berulangnya bencana pun sudah tampak dari banjir bandang yang kembali terjadi di Batu Busuak, Kota Padang, Sumatera Barat, akhir pekan lalu. Air bah kembali menghantam rumah dan memutus akses jalan sehingga akses terputus dan ratusan warga terisolasi (Kompas, 17/12/2025).
Di tengah konteks itu, rangkaian kunjungan Presiden ke lokasi bencana menjadi simbol terpenting ihwal kehadiran negara di tengah penderitaan warga. Namun, kehadiran dimaksud hendaknya tidak berhenti pada seremoni. Warga membutuhkan bantuan dan langkah riil dari negara, tidak hanya untuk menangani bencana yang sudah terjadi, tetapi juga mengantisipasi bencana lain yang senantiasa mengintai.



