Akhir tahun ini kembali menjadi panggung pahit bagi demokrasi lokal. Publik dikejutkan oleh rangkaian kasus korupsi yang menjerat kepala daerah hasil Pilkada serentak. Dalam tiga bulan terakhir, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap empat kepala daerah: Bupati Kolaka Timur Abdul Azis, Gubernur Riau Abdul Wahid, Bupati Ponorogo Sugiri Sancoko, dan Bupati Lampung Tengah Ardhito Wijaya. Sementara itu, Kejaksaan menetapkan Wakil Wali Kota Bandung, Erwin, sebagai tersangka dugaan korupsi.
Rentetan kasus ini bukan sekadar daftar nama, melainkan juga cermin buram yang kembali memperlihatkan satu pola lama: korupsi kepala daerah terus berulang dari satu periode Pilkada ke periode berikutnya. Mengapa sistem terus memproduksi pemimpin yang jatuh pada lubang yang sama?
Pilkada Mahal, Regulasi yang RapuhSecara normatif, aturan sebenarnya sudah tersedia. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada mengatur pembatasan dana kampanye dan kewajiban pelaporan. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah memberi kerangka pembagian kewenangan pusat dan daerah. Namun, di lapangan, biaya politik tetap melambung, sementara pengawasan justru kerap tumpul.
Pilkada mahal menciptakan insentif laten bagi kepala daerah untuk “balik modal” begitu terpilih. Ketika kekuasaan atas anggaran, proyek, perizinan, dan mutasi jabatan terkonsentrasi pada satu tangan, korupsi berubah dari penyimpangan menjadi godaan struktural.
OTT demi OTT yang dilakukan KPK berdasarkan UU Tipikor dan UU KPK, hanya membongkar lapisan terluar. Di baliknya, terdapat jejaring kepentingan yang melibatkan birokrasi, pengusaha, dan elite politik lokal.
Riau: Lingkar Kekuasaan yang Mulai TerbukaKasus Riau menjadi ilustrasi konkret. Selain penetapan tersangka terhadap Gubernur nonaktif Abdul Wahid, KPK menggeledah rumah SF Harianto, Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Riau, dan menyita dokumen serta uang tunai. Hingga kini, SF Harianto belum berstatus tersangka, tetapi penggeledahan itu menegaskan bahwa korupsi daerah jarang berdiri sendiri.
Secara hukum, penggeledahan bukan vonis. Namun, secara politik dan etik, ia menunjukkan bahwa korupsi di daerah kerap melibatkan lingkar kekuasaan yang luas, bahkan pada masa transisi pemerintahan. Posisi Plt yang secara regulasi dibatasi kewenangannya tetap rentan terseret jika tata kelola tidak transparan.
Apa yang Harus Dilakukan?Masalahnya, negara terlalu sering berhenti pada penindakan. Padahal, tanpa perbaikan sistem, OTT hanya akan menjadi ritual akhir tahun. Karena itu, setidaknya ada beberapa langkah mendesak yang perlu dilakukan.
Pertama, reformasi pembiayaan Pilkada secara serius. Selama Pilkada tetap mahal, korupsi akan terus menemukan pembenaran. Negara perlu memperkuat pembiayaan publik kampanye, memperketat audit dana kampanye, dan menindak tegas mahar politik yang selama ini dibiarkan menjadi “rahasia umum”.
Kedua, pembatasan dan distribusi ulang kewenangan kepala daerah. Konsentrasi kekuasaan yang terlalu besar membuka ruang penyalahgunaan. Pengelolaan proyek strategis dan perizinan bernilai besar harus diperkuat dengan mekanisme kolektif dan transparan, bukan bergantung pada diskresi tunggal kepala daerah.
Ketiga, penguatan pengawasan internal daerah. Inspektorat daerah harus independen dari kepala daerah, tidak sekadar menjadi perpanjangan tangan kekuasaan. Laporan hasil pemeriksaan BPK dan inspektorat harus mudah diakses publik agar pengawasan tidak hanya bersifat administratif, tetapi juga sosial.
Keempat, transparansi total pengadaan dan jabatan. Sistem e-procurement dan e-budgeting harus dijalankan secara konsisten, bukan sekadar formalitas. Demikian pula pengisian jabatan birokrasi harus berbasis merit, bukan balas jasa politik.
Kelima, konsistensi penegakan hukum dan sanksi politik. Penindakan pidana harus dibarengi sanksi politik yang tegas, termasuk pembatasan hak politik bagi pelaku korupsi. Tanpa efek jera yang nyata, korupsi akan terus dianggap sebagai risiko jabatan, bukan kejahatan serius.
Menjelang akhir tahun seharusnya tidak dirayakan sebagai sekadar keberhasilan penangkapan. Ia adalah alarm keras bahwa demokrasi lokal sedang rapuh. Regulasi ada, lembaga ada, tetapi keberanian membenahi akar persoalan masih setengah hati.
Jika korupsi kepala daerah terus berulang, yang gagal bukan hanya individu, melainkan sistem yang membiarkan kekuasaan tumbuh tanpa kontrol dan biaya politik tanpa batas. Tanpa perubahan mendasar, publik akan terus dikejutkan setiap akhir tahun dan negara akan terus membayar mahal ongkos korupsi yang tak pernah benar-benar selesai.

