Sejumlah warga di berbagai daerah di Jawa Tengah masih harus terbelenggu kerugian akibat bencana di lingkungan mereka. Aneka bencana yang timbul itu dinilai terkait dengan praktik korupsi, mulai dari penyalahgunaan wewenang, perampasan ruang hidup, hingga tak melibatkan warga dalam mengambil suatu keputusan.
Selama sekitar 20 tahun terakhir, sejumlah warga di wilayah Pegunungan Kendeng Kabupaten Rembang, Jateng, mengeluhkan kekeringan saat musim kemarau. Akibatnya, mereka yang mayoritas bergantung pada sektor pertanian merugi karena gagal panen.
Sebaliknya, di musim penghujan, banjir kerap terjadi bahkan sampai berhari-hari menggenangi sawah hingga tanaman petani rusak.
Joko Priyanto, petani asal Desa Tegaldowo, Kecamatan Gunem, Rembang, menyebut, kekeringan dan banjir yang melanda wilayahnya terjadi karena lahan yang seharusnya dilindungi karena memiliki fungsi sebagai wilayah tangkapan air beralih fungsi menjadi kawasan pertambangan.
Meski bencana kekeringan dan banjir terus berulang, Joko menilai, pemerintah tak kunjung melakukan evaluasi dan menghentikan kegiatan pertambangan. Pemerintah justru menerbitkan dan memperpanjang izin-izin pertambangan.
Restu dari pemerintah itu pun membuka lebar kesempatan bagi para penambang melakukan eksploitasi besar-besaran sampai menyebabkan kerusakan alam yang memicu bencana.
”Hari ini di Kendeng terjadi penambangan besar-besaran. Penambang mengambil semua sumber daya alam tanpa menyisakan sedikit pun untuk anak cucu kita. Menurut kami, ini bagian dari korupsi yang dilakukan pemerintah saat ini, penghidupan yang layak bagi anak cucu kita dirampas,” kata Joko di sela-sela peringatan Hari Anti Korupsi Internasional di Kota Semarang, Kamis (18/12/2025).
Joko menyebut, aktivitas pertambangan itu sering diprotes masyarakat. Dia menambahkan, penyampaian laporan dugaan korupsi berupa penyalahgunaan wewenang dalam penerbitan izin tambang juga sudah dilakukan. Sayangnya, belum ada tanggapan maupun tindak lanjut dari pihak berwajib atas laporan itu.
Sementara itu, di Roban Timur, Kecamatan Subah, Kabupaten Batang, sejumlah nelayan mengeluhkan dampak pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU). Menurut Haryono, warga setempat, sejak awal, pemerintah tidak pernah meminta pendapat warga setempat terkait pembangunan PLTU tersebut. Padahal, warga merupakan pihak yang paling terdampak dalam proyek itu.
Haryono menambahkan, ketika PLTU mulai beroperasi pada tahun 2022, warga setempat, khususnya para nelayan, merugi akibat terus menyempitnya wilayah tangkapan mereka. Hal itu karena ruang gerak para nelayan terhambat oleh aktivitas kapal pengangkut batu bara yang setiap saat mondar-mandir di wilayah tangkapan nelayan.
Tak hanya itu, Haryono juga mengaku para nelayan dirugikan karena adanya tumpahan batu bara dilaut. Menurutnya, tumpahan batu bara itu mengganggu kehidupan biota laut. Ikan, udang, rajungan, dan lain-lain yang dulu hidup dan berkembang di wilayah tangkapan nelayan, mati satu persatu karena airnya tercemar tumpahan batu bara.
“Dampaknya adalah kami harus melaut lebih jauh, yang biasanya menghabiskan bahan bakar 30 liter jadi harus menghabiskan 60 liter. Dari segi pendapatan juga menurun, dari sebelumnya pendapatan kotor kami Rp 1 juta sampai Rp 1,5 juta, menjadi Rp 800.000 sampai Rp 900.000. Bahkan, pernah dapatnya cuma pas untuk ganti biaya bahan bakar saja,” ucap Haryono.
Selain di laut, Haryono menyebut, kehidupan masyarakat di darat juga terganggu. Dia mengatakan, sejak ada proyek PLTU, air dari Sungai Roban dibendung dan dialirkan ke PLTU untuk keperluan industri. Akibatnya, warga yang menggantungkan hidupnya pada sektor pertanian mengalami krisis air. Kondisi itu pun membuat warga tak lagi bisa bertani.
Haryono menambahkan, warga juga mengeluhkan asap dari aktivitas di PLTU. Debu tebal dan hitam disebut Haryono berterbangan hingga ke permukiman dan berpotensi mengganggu kesehatan pernapasan warga. Cuaca di sekitar wilayah tersebut juga dikeluhkan warga semakin panas karena asap karbondioksida yang timbul dari aktivitas di PLTU berpotensi meningkatkan suhu bumi.
Sejak adanya pembangunan PLTU, arus laut disebut Haryono mulai berubah. Kondisi itu lantas memicu abrasi di kawasan pesisir. Dalam waktu kurang dari lima tahun, abrasi yang terjadi disebut Haryono sekitar 45 meter.
Haryono menilai, rentetan kejadian yang merugikan warga Roban Timur itu tergolong sebagai bencana. Hal itu disebut Haryono tak bisa dilepaskan dari kebijakan-kebijakan pemerintah yang tidak melibatkan maupun mempertimbangkan kerugian yang bakal ditanggung warga akibat pembangunan tersebut.
Adapun di Kampung Tambakrejo, Kecamatan Semarang Utara, Kota Semarang, puluhan warga yang digusur karena proyek normalisasi Banjir Kanal Timur masih bertahan di tengah ketidakpastian. Pada 2019, warga yang rumahnya terdampak proyek infrastruktur penanggulangan banjir di Semarang itu sempat ditawari untuk direlokasi oleh Pemerintah Kota Semarang ke rumah susun sederhana sewa di Kecamatan Genuk.
Namun, sebagian menolak karena rusun itu jauh dari laut yang merupakan tempat mereka mencari penghidupan. Di samping itu, mereka juga khawatir apabila harus meninggalkan kapal dan peralatan melautnya tanpa pengawasan. Akhirnya, pemerintah membangun hunian sementara bagi mereka di kampung itu dengan menerapkan sistem sewa.
Abdullah Marzuki, nelayan dari Tambakrejo, menyebut, tahun ini, kontrak sewa mereka di hunian sementara itu telah habis. Ia dan warga lain masih belum tahu bagaimana nasib mereka ke depan. Apalagi, hunian sementara tersebut berpotensi kembali tergusur dengan adanya proyek pembangunan Tol Tanggul Laut Semarang-Demak yang digadang-gadang jadi solusi mengatasi banjir rob.
“Kita sebagai warga negara kan punya hak yang harus dijamin negara, salah satunya perumahan. Tapi ini kan tidak. Menurut saya, ini termasuk korupsi,” ujar Marzuki.
Sementara itu, Sekretaris Jenderal Transparency International Danang Widoyoko menyebut, sumber daya alam yang melimpah di Indonesia menjadi berkah sekaligus kutukan. Menjadi kutukan karena maraknya suap dan praktik korupsi lain. Oleh karena itu, akuntabilitas atas konsesi tambang dan perkebunan harus menjadi tuntutan publik.
Danang menambahkan, korupsi berdampak besar pada timbulnya bencana, khususnya yang terjadi akibat ulah manusia. Selain di Jateng, bencana yang terjadi akibat ulah manusia juga disebut Danang baru-baru ini terjadi di Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Bencana yang merenggut ratusan jiwa itu terjadi karena alih fungsi hutan menjadi perkebunan dalam skala raksasa.
”Pertanyaannya kan bagaimana mungkin hutan berubah dalam skala raksasa begitu? Nah, ini berarti ada persoalan pada tata kelolanya. Kemudian, bagaimana sebenarnya memastikan sebetulnya kan aturan alih fungsi lahan atau aturan soal hutan itu kan harusnya ketat. Mengapa bisa berubah semua dengan kecepatan sangat tinggi dan kemudian ada banyak gelondongan kayu dalam banjir itu?” kata Danang.
Kita sebagai warga negara kan punya hak yang harus dijamin negara, salah satunya perumahan. Tapi ini kan tidak. Menurut saya, ini termasuk korupsi
Ke depan, Danang berharap, pemerintah bisa lebih memperhatikan kelestarian lingkungan. Agenda-agenda yang berpotensi merusak lingkungan, seperti wacana pembukaan lahan sawit besar-besaran di Papua, hendaknya ditinggalkan.
Danang juga berharap, pemerintah selalu melakukan konsultasi publik sebelum menetapkan suatu kebijakan, termasuk melakukan pembangunan. Apalagi jika hal tersebut berdampak pada kehidupan masyarakat.
Perlu ada perencanaan yang dihitung dengan baik untung dan ruginya, untuk kemudian baru diputuskan. Apabila tidak mendapatkan dukungan dari masyarakat, hendaknya program itu tidak dipaksakan karena berpotensi menimbulkan kerugian.
Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Periode 2011-2015, Busyro Muqoddas, yang juga hadir di Semarang, menyebut, pembukaan sektor ekstraktif kerap menjadi pintu masuk bagi korupsi baru yang menguntungkan elite. Namun, warga harus menanggung kerugian karena rusaknya lingkungan mereka, bahkan tak jarang harus tergusur dari ruang hidupnya sendiri.
Busyro mengatakan, krisis iklim yang melanda dunia seharusnya disikapi pemerintah dengan berbagai upaya. Masukan dari lembaga yang profesional sedianya menjadi petunjuk bagi pemerintah untuk mencegah dampak dari krisis iklim agar tidak menjadi bencana.
”Janganlah sinyal dari lembaga profesional ini kemudian diterjang dengan memberikan izin usaha tambang dan proyek-proyek lain sejenisnya. Ini political corruption,” kata Busyro.




